Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengingatkan masyarakat agar lebih jeli dalam memilih pemimpin daerah saat pemilihan kepala daerah (pilkada), baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Hal itu disampaikannya setelah menangkap Bupati Klaten Sri Hartini yang terlibat kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Sleman.
"Saya harap kepada masyarakat untuk lebih jeli dan pintar untuk cari pemimpin baru, karena kita akan ada pilkada lagi tidak akan lama lagi," ujar Laode dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (31/12).
Laode memaparkan, sepanjang 2016 ini, KPK telah menggelar 17 kegiatan operasi tangkap tangan (OTT). Dari 17 operasi itu, lembaga antirasuah menangkap empat kepala daerah, yakni Bupati Subang Ojang Sohandi pada April, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian pada September, Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija pada Desember, dan terakhir Bupati Klaten Sri Hartini pada Jumat (30/12) kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laode pun berpandangan, kepala daerah yang berasal dari sebuah dinasti politik di suatu daerah biasanya berpotensi untuk melakukan korupsi. Sri Hartini sendiri merupakan istri mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang ditetapkan tersangka kasus pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 miliar dan kasus penggunaan dana APBD untuk perjalanan ke luar negeri.
"Perlu kita lihat bahwa Bupati Klaten ini suaminya pernah jadi bupati, wakil bupati Klaten yang sekarang ini juga suaminya pernah menjadi bupati. Jadi kondisi-kondisi seperti ini, dari pengalaman KPK, yang melibatkan pemimpin daerah biasanya sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi," ujarnya.
Ia menegaskan, "Oleh karena itu, kami mohon masyarakat pilih pemimpin daerah yang betul-betul dinilai kapabel, bukan berdasarkan hubungan-hubungan yang sifatnya seperti tadi, yang keluarga."
Laode menuturkan, KPK juga memohon kepada Kementerian Dalam Negeri untuk memperhatikan secara serius terkait promosi dan mutasi jabatan dalam kaitan pengisian Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Ia meminta Kemendagri benar-benar memonitor secara langsung proses seleksi orang-orang yang akan menduduki pos-pos baru itu.
Menurutnya, peraturan tersebut menyebabkan banyak formasi baru harus dibentuk di lingkungan pemerintahan daerah. Sementara hal itu bisa berpotensi menimbulkan tindakan jual-beli jabatan di daerah lain di Indonesia, seperti yang terjadi di Klaten.
"Kami juga harapkan penempatan orang-orang pada posisi-posisi tersebut melalui sistem assessment atau mekanisme pengangkatan transparan dan teruji, jadi jangan hanya ditunjuk saja dan berdasarkan dari berapa jumlah setoran dari masing-masing orang yang ingin menduduki jabatan atau eselon tertentu di kabupaten maupun di provinsi," katanya.
Laode menggarisbawahi bahwa KPK juga akan melakukan koordinasi dengan tim sapu bersih pungli untuk menanggulangi fenomena jual-beli jabatan di daerah. Ia yakin bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Klaten saja.
Sarjana Universitas Hasanuddin ini pun berharap agar masyarakat segera lapor kepada Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) secara langsung jika menemui atau mengalami sendiri kejadian yang berhubungan dengan membayar pejabat untuk mendapatkan posisi tertentu.
"Terakhir, kami harap praktik seperti ini harus dihentikan, khususnya untuk daerah Jawa Tengah. Kami agak menyesal karena yang ditangkap ini pernah menandatangani pakta integritas di kantor ini, tapi, terus terang, apa yang dilakukan sekarang sangat bertentangan dengan pakta integritas yang telah ditandatanganinya," ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Klaten Sri Hartini diringkus setelah tertangkap tangan tengah melakukan transaksi jual-beli jabatan di rumah dinasnya. Selain Sri, KPK juga mengamankan tujuh orang lainnya, yakni staf PNS Suramlan (SUL), staf PNS berinisial NP, staf PNS berinisial BT, Kabid Mutasi berinisial SLT, staf honorer berinisial PW, serta dua orang swasta SKN dan SNS.
Di sana, diamankan pula barang bukti berupa uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan rupiah dan uang valuta asing senilai US$5.700 dan S$2.035. Selain uang tersebut, tim KPK juga mengamankan sebuah buku catatan penerimaan uang dari tangan NP.
Sri Hartini dkk yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara Suramlan diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001.
(obs/obs)