Jakarta, CNN Indonesia -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menilai kebijakan lima hari sekolah atau
Full Day School akan menciptakan anak-anak yang radikal karena minimnya pengetahuan soal agama Islam. Peraturan soal lima hari sekolah itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016.
Ketua Tanfidziyah PBNU KH Marsyudi Syuhud mengatakan kebijakan Mendikbud itu bisa berisiko menciptakan anak yang radikal karena porsi pendidikan agama yang minim.
Dia mengatakan Pada pasal 5 Permendikbud disebutkan, Madrasah Diniyah termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan berada di nomor 'buntut' atau nomor 10. Kebijakan itu akan membuat anak berada di sekolah seharian.
Marsyudi menilai, hal ini seakan Madrasah Diniyah hanya punya porsi 10 persen dalam kegiatan sekolah. Selain itu, kegiatan ini masih dibagi lagi menjadi beberapa kegiatan, termasuk ceramah agama dan pesantren kilat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika demikian, yakinlah, orang memahami agama Tauhid-nya saja, nanti belum benar, jangan salahkan nanti jika Tauhid-nya belum benar, maka akan jadi anak-anak hanya memacu senang beragama, tapi tidak tahu agama dengan benar. Akan menakutkan, menjadi orang-orang radikal," ujarnya dalam satu diskusi pada Sabtu (17/6).
Porsi keagamaan yang sedikit itu, lanjutnya, tak akan membuat anak memahami akidah dengan benar. Pada pasal 5 memang dijelaskan mengenai pembagian kegiatan sekolah yakni intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Intrakurikuler adalah pemenuhan kurikulum. Kokurikuler adalah penguatan pendalaman kompetensi dasar, pengayaan, kegiatan ilmiah,dan budaya.
Sedangkan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diawasi oleh sekolah untuk mengembangkan potensi yakni bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, kemandirian, kegiatan krida, karya ilmiah, serta terakhir, keagamaan.
Pasal 5 ayat 7 menyatakan kegiatan keagamaan seperti yang dimaksud ayat 6 meliputi atau bisa disebut Madrasah Diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, hingga baca tulis Al Quran dan kitab lainnya.
Dia menjelaskan kurikulum sekolah Madrasah Diniyah yang menerapkan jam belajar serta jumlah mata pelajaran minimalis. Kendati minimalis, ia menilai delapan mata pelajaran yang diterapkan di sana mampu membuat anak punya akidah yang baik serta mampu beradaptasi.
Mengkebiri Pendidikan AgamaKoordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kebijakan kementerian itu justru mengkebiri pendidikan agama.
Apalagi, kata dia, belakangan ini ada indikasi pendangkalan pembelajaran agama di sekolah.
“Ini mengakibatkan banyak peserta didik dan juga gurunya mempunya paham keagamaan yang intoleran, bahkan tak sedikit yang terlibat di ormas radikal,” kata Ubaid dalam keterangannya.
JPPI dalam hal ini mendesak agar kebijakan itu ditangguhkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata dia, harus berkoordinasi dengan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama.
Dia menuturkan sekolah bukan segala-galanya sehingga lembaga itu perlu bersinergi dengan instansi lainnya untuk melakukan revolusi mental di sektor pendidikan.
Sementara itu,menanggapi hal ini, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemdikbud, Ari Santoso mengatakan, pasal ini bukan soal hitung-hitungan.
"Bukan hitung-hitungan ini ada 10 kemudian 10 persen. Pada pasal 5 ayat 6, ada kata "termasuk" itu artinya bahwa kalau sekolah itu milih keagamaan, maka keagamaan sudah full di situ, bukan hitung-hitungan matematik," kata Ari.