Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi menyatakan keluarnya Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) atas rekomendasi Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Sjamsul mendapat 'surat sakti' itu dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung pada April 2004 silam.
"Ya, itu enggak ada masalah, KKSK enggak ada masalah. Itu diberikan (SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim)," kata Laksamana usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laksamana hari ini diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin. Menteri era Presiden Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri itu merupakan salah satu anggota KKSK.
Lembaga tersebut dibentuk di era Presiden BJ Habibie untuk mengawasi kerja BPPN dalam mengejar pengembalian pinjaman para obligor penerima BLBI.
Saat pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, KKSK diketuai oleh Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dengan anggota Menteri Keuangan Boediono, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno serta Laksamana sendiri.
 Kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim juga menyeret bekas Menteri Keuangan era Presiden BJ Habibie, Bambang Subianto. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Salah satu kewenangan KKSK adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana induk penyehatan perbankan yang disusun BPPN. Kerja KKSK itu pun diperkuat dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002, yang dikeluarkan Megawati.
Laksamana menyebut ada sejumlah mekanisme pembayaran tagihan utang para obligor BLBI. Pemerintah ketika itu, kata dia, memilih menyelesaikan permasalahan utang obligor BLBI di luar jalur hukum.
Setidaknya ada tiga mekanisme yang ditawarkan pemerintah, di antaranya Master Of Settlement And Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
"Pada waktu itu juga diharapkan penyelesaian yang cepat karena perekonomian dan kondisi keuangan kita lagi parah. Mungkin anda masih kecil tahun 99," tutur Laksamana.
Mekanisme pembayaran tagihan utang dengan mekanisme MSAA, salah satunya dipilih oleh Sjamsul Nursalim. Bos PT Gajah Tunggal Tbk itu diketahui mendapat kucuran BLBI sebesar Rp28,40 triliun.
Laksamana menuturkan, keputusan penyelesaian menarik utang para obligor BLBI di luar jalur hukum terus dilakukan dari era Habibie hingga Megawati.
Pemerintah pun ketika itu mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR/2001 hingga terbitnya Inpres Nomor 8/2002, untuk mengejar obligor BLBI.
Menurut Laksamana, aturan-aturan tersebut dibuat agar presiden konsisten menerapkan mekanisme MSAA kepada para obligor BLBI, salah satunya Sjamsul Nursalim.
"Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum dan tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi berantakan," ujarnya.
Penerbitan SKL Kebijakan PolitisLaksamana melanjutkan, setelah para obligor menyelesaikan utangnya dengan mekanisme MSAA, atau dua mekanisme lainnya itu, mereka harus diberikan kepastian hukum.
Kepastian hukum ini diberikan BPPN lewat SKL.
Sjamsul Nursalim merupakan salah satu obligor BLBI yang mendapat SKL dari BPPN. Kasus hukum yang menjerat Sjamsul Nursalim pun langsung dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah memperoleh SKL.
Laksamana menyebut, keputusan menyelesaikan utang para obligor BLBI di luar proses hukum ini merupakan pilihan politik pemerintah ketika itu. Pasalnya, menurutnya, bila dipaksakan membawa masalah utang para obligor ke pengadilan, pemerintah bisa kalah.
"Iya, sudah merupakan keputusan politis yang diambil pemerintah, didukung oleh IMF. Sehingga mereka menyerahkan aset dan semua dilakukan penjualan dengan cepat," tuturnya.
Laksamana enggan berkomentar soal dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim. Dia menyatakan bahwa masalah penyimpangan yang kini tengah diusut merupakan kewenangan KPK.
"Itu tugas KPK. Saya nggak bisa ngomong. Sudah cukup ya," ujarnya.
KPK diketahui tengah menelusuri dugaan penyimpangan dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim yang dilakukan BPPN. Lembaga antirasuah itu menemukan indikasi kerugian negara dalam penerbitan SKL yang dilakukan Syafruddin itu sebesar Rp3,7 triliun.
Berdasarkan temuan KPK, Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban sejumlah Rp4,8 triliun. Pria yang kini sudah menetap di Singapura itu dinilai baru membayar tagihan lewat penyerahan aset, yang nilainya hanya Rp1,1 triliun.
KPK baru menetapkan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dugaan korupsi penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim. Tindakan Syafruddin dianggap merugikan negara hingga Rp3,7 triliun.
Syafruddin memberikan SKL ke Bos PT Gajah Tunggal Tbk itu pada April 2004 silam. Penerbitan SKL dilakukan selang beberapa hari sebelum BPPN benar-benar mengakhiri tugasnya per 30 April 2004, berdasarkan Keppres Nomor 15/2004, yang diteken Megawati.
KPK juga sudah melayangkan surat panggilan untuk Sjamsul Nursalim dan Istrinya Itjih Nursalim. Namun keduanya yang sudah tinggal lama di Singapura mangkir dari pemeriksaan tersebut.