Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Tunggal Cepi Iskandar, pada Jumat (29/9), akan memutuskan sah atau tidaknya penetapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto atau Setnov sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kontroversi soal sosoknya mengemuka, namun harapan dari KPK dan pihak Setnov tetap ada pada bukti-bukti yang diajukan.
Selama sidang berlangsung tim kuasa hukum Setnov melakukan beberapa hal serupa dengan praperadilan Hadi Poernomo dan Budi Gunawan (BG). Dua tersangka korupsi yang berhasil lolos dari jerat hukum KPK lewat praperadilan.
Saat sidang keempat, pada Senin (24/9), kedua pihak memberikan bukti. Kuasa hukum ketua umum Partai Golkar itu membawa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap KPK pada tahun 2009-2011 115/HP/XIV/12/2013 tanggal 23 Desember 2013 sebagai bukti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukti itu pernah dipakai Hadi saat sidang praperadilan. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam penyalahgunaan wewenang atas keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) sebanyak Rp 5,7 triliun pada 1999. Hadi yang saat itu menjabat sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan diduga mengubah keputusan sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.
Keberatan atas penetapan tersangka, Hadi mengajukan praperadilan ke PN Jaksel. Menurut Ketut, Hadi menggunakan LHP tersebut sebagai bukti dalam persidangan. Pada 26 Mei 2015 Hakim Tunggal Haswandi mengabulkan permohonan Hadi serta mencabut statusnya sebagai Tersangka dengan nomor putusan 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
KPK melawan dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun Mahkamah Agung (MA) menolak karena jaksa tidak berwenang mengajukan PK.
 Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo hadir dalam sidang lanjutan lanjutan praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (Setnov), belum lama ini. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Kuasa hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana menjelaskan, dalam LHP itu ada standar operasional prosedur (SOP) penyidikan KPK. Ia ingin menjadikan LHP sebagai alat bukti karena menilai selama ini masyarakat belum mengetahui SOP KPK.
"Makanya kita berupaya cari sumber informasi KPK, dibuktikan ada nomor LHP-nya. Kita buktikan, kita uji apakah SOP yang dari KPK sudah sesuai urutan yang sudah ditentukan SOP," kata Ketut di PN Jaksel, Senin (24/9).
Ketut mengaku LHP tersebut masih dalam format konsep. Namun sudah ditandatangani oleh pejabat berwenang.
Saat sidang kelima pada Selasa (25/9) lalu, kuasa hukum Setnov menghadirkan tiga ahli. Mereka adalah pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana Chairul Huda, dan pakar hukum tata negara dan administrasi I Gde Pantja Astawa.
Tiga ahli tersebut bukan orang baru di dunia praperadilan. Mereka pernah bersaksi dalam sidang praperadilan yang diajukan BG karena dijadikan tersangka oleh KPK atas dugaan penerimaan hadiah dan janji saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Polri pada 2003-2006.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, BG mengajukan praperadilan. Pada Februari 2015, Hakim Sarpin Rizaldi menyatakan penetapan tersangka atas BG tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Tim kuasa hukum Setnov mengaku mengajukan tiga ahli tersebut karena keahliannya. Bukan karena ahli tersebut pernah bersaksi dalam sidang BG.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menolak LHP dijadikan bukti lantaran masih dalam format konsep. Ia yakin bukti itu tak akan memenangkan Setnov, begitu juga dengan saksi ahli yang diajukan.
"Kan konteksnya beda, masalahnya beliau (Setnov) dengan BG ini kan berbeda. BG ada enggak masalah proyek? Tidak ada," kata Setiadi di PN Jaksel, Kamis (28/9).
Ketua KPK Agus Rahardjo berharap hakim Cepi dapat menolak praperadilan Setnov ini. Meski Agus kecewa rekaman yang menjadi bukti kuat keterlibatan Setnov di kasus e-KTP ditolak diputar oleh hakim Cepi.
Di sisi lain, Humas PN Jaksel Made Sutrisna mengatakan putusan praperadilan tidak bisa dinilai berdasarkan bukti atau ahli yang sama pada praperadilan sebelumnya. Sidang praperadilan bertujuan menguji proses penyelidikan, penyidikan sampai penetapan tersangka yang pada setiap perkara prosesnya bisa berbeda.
"Para pihak itu mestinya juga membatasi bukti apa yang layak dan releven dalam pembuktian dalil dalam praperadilan. Kalau ajukan ahli atau saksi tidak salah, tapi sifatnya hanya bunga-bunga saja, menguatkan dalil saja. Tinggal penilaian hakim itu saja bagaimana nanti terhadap keterangan ahli, relevan atau tidak," kata Made saat ditemui CNNIndonesia.com di PN Jaksel, Kamis (28/9).
Made menjelaskan, tepat atau tidak putusan hakim bisa dilihat dari pertimbangan karena pertimbangan adalah dasar sebuah putusan. Hakim tidak bisa bermain dengan fakta dalam pertimbangan, fakta yang 'dimainkan' akan terlihat pada putusan.
Made pun menyayangkan, pelaporan Cepi kepada Komisi Yudisial oleh kader muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia dan Tim Advokasi Pejuang Anti Korupsi (TAPAK) atas dugaan pelanggaran etik dalam sidang putusan sela Jumat (22/9) lalu.
Koordinator TAPAK, Irvan Pulungan, mengatakan dalam sidang tersebut hakim Cepi melakukan skors hingga 2,5 jam sebelum membuat keputusan. Ia menduga Cepi melakukan pertemuan dengan Ketua PN Jakarta Selatan Aroziduhu Waruwu untuk berdiskusi sebelum menjatuhkan putusan.
"Pelapor tidak pernah konfirmasi ke saya. Pak Cepi tidak bertemu pak ketua PN, karena beliau sedang ke Nias untuk acara keluarga selama empat hari sampai Senin (25/9). Setelah laporan itu Pak Ketua tunjukkan surat izin tidak masuk dari ketua PT DKI," kata Made.
Made berharap publik tidak selalu berpikir negatif ketika PN Jaksel menangani praperadilan tersangka korupsi. Menurut dia, semua putusan, baik itu memenangkan atau menolak gugatan, merupakan putusan yang baik selama didasari bukti dan pertimbangan yang kuat.
 Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) hadir memberikan dukungan untuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto sebagai tersangka korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang mengajukan praperadilan di PN Jaksel, Selasa (12/9). (CNN Indonesia/M Andika Putra) |
Hakim SeniorCepi bukan hakim 'anak kemarin sore'. Pengalaman selama 25 tahun sebagai 'Wakil Tuhan' membuatnya dikategorikan sebagai hakim senior di dunia peradilan. Pria kelahiran Jakarta, 15 Desember 1959 itu sekarang menjabat sebagai hakim utama madya di PN Jaksel dengan pangkat Pembina Madya Utama golongan IV/D.
Cepi pertama kali menjadi Calon Hakim di PN Cianjur dan diangkat pertama kali menjadi hakim di PN Kuala Simpang (Aceh). Setelah itu Cepi pernah menjadi Wakil Ketua PN Depok, Hakim PN Bandung, Ketua PN Purwakarta, dan kemudian hakim PN Jaksel.
Made menjelaskan, Cepi sudah teruji menangani kasus besar. Ia pernah menolak gugatan praperadilan Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) atas penetapannya sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.
Dalam kasus korupsi, Cepi pernah meloloskan terdakwa kasus korupsi Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Jawa Barat Joko Sulistyo. Padahal kasus korupsi tersebut diduga merugikan negara Rp5,1 miliar. Vonis itu sempat menuai kontroversi.
Made mengatakan, setiap kasus yang ditangani punya konteks yang berbeda. Proses di sidang dalam setiap kasus pun berbeda. Wajar, kalau putusan hakim berbeda-beda dalam tiap kasus yang ditangani.
"Setiap kasus konteksnya berbeda, keyakinan, cara, dan fakta juga berbeda. Sehingga putusan hakim tidak ada yang sama walau dalam tindak pidana yang sama," kata Made.