Jakarta, CNN Indonesia -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghayat kepercayaan belum membuat penganut kepercayaan setara hak-haknya dengan warga negara lain. Sebab, belum ada kepastian diakomodasinya putusan itu pada ranah di luar administrasi kependudukan.
“Setelah putusan itu, apakah terpenuhi kesetaraan yang lain bagi penganut kepercayaan? Seperti hak untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, pekerjaan dan lain-lain,” kata Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (7/11).
Menurutnya, indikasi belum setaranya penganut kepercayaan dengan agama adalah pembinaan kepercayaan masih berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di bawah naungan Kementerian Agama seperti agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penempatan status pembinaan dalam birokrasi tata negara baginya sangat penting karena akan berimplikasi pada kehidupan sehari-hari.
“Agama lain mendapatkan fasilitas menjalankan ibadah. Di Kementerian Agama, seharusnya kepercayaan juga masuk (ke sana),” kata Khoiron.
Meski begitu, dia mengapresiasi langkah MK yang mengakomodasi kepentingan penganut kepercayaan. Ia berharap ada tindak lanjut setelah putusan tersebut agar kepercayaan benar-benar setara dengan agama.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan para penganut kepercayaan yang menggugat aturan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Para penganut kepercayaan kini bisa mengisi kolom agama di e-KTP.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Selasa (7/11).
Para pemohon yang berasal dari sejumlah penganut kepercayaan sebelumnya menggugat Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU 23/2006 juncto Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan itu memuat ketentuan bahwa penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan peraturan UU atau penganut kepercayaan tidak diisi dalam Kartu Keluarga (KK) tapi tetap dilayani dalam database kependudukan. Sementara dalam Pasal 64 mengatur tentang ketentuan yang sama namun dalam pengosongan kolom agama di e-KTP.
Pemohon menilai ketentuan itu diskriminatif dan tidak memberikan jaminan pengakuan sebagai warga negara yang bebas memilih kepercayaan dan agama.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28e dan 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin kebebasan bagi tiap penduduknya untuk memeluk agama masing-masing.
(arh/djm)