Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak akan meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR saat memeriksa anggota DPR.
Sebab, kewenangan MKD yang tertuang dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) hasil revisi itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan lembaga antirasuah pun sudah memiliki UU tersendiri.
"Kami sudah jelas dalam UU KPK. [Pemanggilan pemeriksaan anggota dewan] itu tidak perlu izin untuk itu. Dan itu sudah kami lakukan berkali-kali," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, DPR mensahkan revisi sejumlah pasal UU MD3, Senin (12/2). Salah satunya, tentang penambahan kewenangan MKD DPR.
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR dalam kasus pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD. Ayat (2) pasal tersebut mengecualikan, salah satunya, pemeriksaan dalam tindak pidana khusus.
Soal kewenangan izin MKD dalam pemeriksaan terhadap anggota DPR sendiri telah dibatalkan oleh MK lewat putusan Nomor 76/PPU-XII/2014 pada 2015. MK memutuskan perizinan pemeriksaan anggota dewan hanya ada pada Presiden.
Dia menyatakan, kewenangan MKD memberi izin pemeriksaan anggota dewan itu tidak berlaku karena MK telah menyatakan bahwa hal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
"Menurut saya UU MD3 itu bertentangan dengan putusan MK sebelumnya," lanjut Laode.
Dia menyatakan izin MKD untuk memeriksa anggota DPR bertentangan dengan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law). Setiap warga negara tidak boleh mendapat keistimewaan di mata hukum.
Bahkan, katanya, pimpinan KPK dan Presiden pun tidak memiliki ketentuan soal perlunya perizinan dari pihak manapun jika hendak diperiksa dalam suatu tindak pidana.
"Tidak boleh ada keistimewaan. Saya, Pak Agus [Rahardjo, Ketua KPK], Bu Basaria [Panjaitan, Wakil Ketua KPK] tidak perlu ada izin siapapun kalau dipanggil Kepolisian. Presiden pun tidak membetengi dengan imunitas seperti itu," cetus Laode.
Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, perubahan UU MD3 untuk mengakomodasi keterlibatan MKD DPR dalam izin pemeriksaan anggota dewan rentan diuji materi dan dibatalkan.
"Dalam pandangan MK, kalaupun [pasal] itu disahkan, sebagai produk legislasi itu sah. Tapi ini potensial diuji [materi] dan dinyatakan inkonstitusional [oleh MK] besar," ujarnya, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (8/2).
Sebelum dibatalkan MK, pada 2015, pasal itu menyebut bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD.
Putusan MK kemudian mengubah pasal itu menjadi keharusan mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Pertimbangannya, di antaranya, potensi konflik kepentingan karena MKD diisi oleh anggota DPR juga, MKD tidak terkait dengan sistem peradilan pidana, dan mekanisme
checks and balances antara legistalitif dan eksekutif.
Kini, DPR kembali menghidupkan ketentuan tersebut dengan memasukkan aturan izin MKD, selain izin Presiden, dalam UU MD3.
(arh/gil)