Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana dari anggota Dewan Pembina Golkar Fahmi Idris untuk menguji materi Undang Undang Dasar 1945 demi meloloskan Jusuf Kalla menjadi calon wakil presiden, disebut tak bisa diterapkan.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyatakan wacana itu tak bisa diterapkan karena dalam UUD 1945, wewenang MK terbatas pada menguji undang-undang atas UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
"Kalau UUD 1945 diuji materi, apa yang jadi pengujinya," kata Feri saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (28/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana uji materi dimunculkan untuk menyiasati konstitusi dan aturan turunannya yang melarang seseorang menjabat presiden dan wakil presiden untuk periode ketiga.
Ketetapan itu diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, dan ditegaskan dalam Pasal 169 huruf (n) UU Pemilu. Kata Feri berdasarkan aturan itu, JK jelas tak bisa kembali mencalonkan diri menjadi wakil presiden dalam pemilu mendatang karena sudah dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden.
Sebelum mendampingi Jokowi, JK pernah menjabat wakil presiden era Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009.
 Feri Amsari. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Feri pun berharap tak ada pihak-pihak lain yang kebablasan untuk bergerak di luar spirit reformasi yang diwujudkan dalam amendemen pertama UUD 1945.
"Spiritnya kan dibatasi masa jabatan agar menghilangkan
absolute power," tegas dia.
Dia melanjutkan, spirit reformasi juga mendorong regenerasi kepemimpinan, dalam arti memberi kesempatan kepada anak-anak bangsa yang lebih berpotensi untuk menduduki kursi presiden atau wakil presiden.
"Oleh karena itu, pak JK harus dewasa, juga para pendukungnya agar tidak memaknai konteks di luar UUD 1945," kata Feri.
Dihubungi terpisah, juru bicara MK Fajar Laksono membenarkan pendapat Feri bahwa lembaganya tak berwenang atas uji materi UUD 1945.
"Tidak ada saluran dan mekanisme untuk uji materi," ujar Fajar kepada
CNNIndonesia.com.
Fajar menyebut upaya mengubah ketentuan UUD 45 hanya bisa dilakukan lewat amendemen. Adapun mekanisme amendemen, kata peneliti dari Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, hanya bisa dilalui dan ditetapkan lewat sidang MPR.
Prosesnya pun tidak sebentar. Dengan kata lain, upaya memajukan JK baik lewat uji materi UUD 45 atau melalui amendemen, dipastikan tak mungkin terwujud.
"Kalau dikaitkan dengan amendemen kelima, kayaknya terlalu jauh karena proses amendemen butuh waktu yang panjang. Sementara, jadwal pendaftaran capres/cawapres semakin dekat," ujar Hasanuddin hari ini.
Regenerasi KepemimpinanNama JK memang masih cukup menjual di panggung politik nasional. Dalam riset terkini, JK memiliki elektabilitas mumpuni sebagai calon wakil presiden.
Survei Alvara yang dirilis 23 Februari lalu menemukan elektabilitas JK sebesar 13,1%, ada di urutan ketiga di bawah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (15,2%) dan Agus Harimurti Yudhoyono (17,2%).
JK bahkan masih lebih unggul dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (9,3%) dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (8,9%).
 Jusuf Kalla. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Tetapi aturan konstitusi membuat JK tak bisa kembali menjadi cawapres. Meski demikian JK masih diperbolehkan untuk maju sebagai capres.
Itu pun dibenarkan jubir MK, Fajar Laksono, "Ya bisa maju capres karena dia belum pernah jadi presiden. Kalau wapres kan sudah dua kali," katanya.
JK sendiri sudah merespons hal itu sejak bulan lalu.
JK menegaskan tak akan maju dalam pilpres 2019 karena dua alasan. Selain alasan usia, JK tak ingin seperti Soeharto yang menjabat sebagai presiden RI lebih dari dua periode masa jabatan.
"Ada yang mengusulkan saya ikut lagi, saya terima kasih. Kalau mengkaji UUD, tentu tak ingin lagi terjadi (seperti) masa lalu waktu Orba, Pak Harto tanpa batas," ucapnya pada Februari lalu.
Di sisi lain, Feri menyebut wacana majunya JK di Pemilu 2019 mencerminkan buruknya pengkaderan di internal partai-partai politik di Indonesia.
Partai tak hanya gagal mencetak calon pemimpin nasional, tetapi juga pemimpin tingkat daerah.
Feri lantas mencontohkan yang terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah. Sejumlah partai mengusung calon yang bukan berasal dari partai.
Seharusnya, sambung Feri, partai mempersiapkan kadernya untuk menang, bukan semata menarik bakal calon dengan tingkat kepopuleran atau harta tinggi.
"Mestinya partai-partai itu betul-betul mengelola orang-orang yang berasal dari tubuh partai, dan belajar untuk menjadi pemimpin bangsa. Bagaimanapun juga parpol itu adalah kawah candradimuka dengan sistem pengkaderannya," kata Feri.
(wis)