Jakarta, CNN Indonesia -- Buldoser sibuk mengeruk lumpur di sekitar kawasan
Waduk Rawa Rorotan, Cakung, Jakarta Timur. Kerukan lumpur menggunung tak jauh dari permukiman. Sebagian warga hanya bisa menyaksikan aktivitas alat berat tersebut.
Tanah kering merekah terbentang di pinggiran waduk yang airnya kehijauan. Batang-batang pohon baru ditanam di taman setengah jadi. Sebuah papan bertuliskan larangan bermain di danau, tak lagi berdiri tegak.
Di lokasi yang sama, beberapa buruh masih mengerjakan pembangunan trotoar dan jalan di sekitar proyek waduk yang belum selesai. Sementara para petugas keamanan mengawasi lingkungan dari balik pos satpam.
Waduk Rawa Rorotan berada di jantung kawasan Jakarta Garden City (JGC), kompleks hunian yang dikembangkan PT Modernland Realty Tbk. Lokasinya hanya berjarak 30 meter dari permukiman warga di luar kompleks.
Di balik proyek pembangunan waduk, ada sengketa yang masih gelap hingga sekarang. Pemerintah dan warga saling klaim memiliki lahan di kawasan Waduk Rawa Rorotan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah warga melayangkan gugatan hukum hingga ke pengadilan. Sebagian lainnya menggalang kekuatan politik di lembaga legislatif.
Belakangan, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Sub Direktorat II Harta Benda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Teguh diduga melakukan perusakan atau memasuki pekarangan tanpa izin berdasarkan pasal 170 KUHP, di kawasan yang kini menjadi Waduk Rawa Rorotan seluas 25 hektare.
 Pengerjaan proyek Waduk Rawa Rorotan bersebelahan dengan rumah warga, Cakung, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Penetapan tersebut dilakukan setelah gelar perkara pada 20 Agustus 2018. Meski demikian, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta menyatakan penyelidikan kasus yang menjerat Teguh belum selesai.
Nico enggan membeberkan kasus tersebut. Menurutnya, penjelasan sengketa di Rawa Rorotan akan terang setelah Teguh diperiksa penyidik pada 12 September lalu, meskipun kemudian batal.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono pun enggan menjelaskan perkara itu. Namun menurutnya, penyidik telah mengantongi bukti permulaan yang cukup untuk menjerat Teguh sebagai tersangka.
Bukti tersebut, kata Argo, berupa keterangan saksi, ahli, dan petunjuk. Dia tak tahu apakah Teguh sudah diperiksa pihak kepolisian.
"Saya belum dapat informasi lengkap dari penyidik. Kalau diperiksa, itu haknya penyidik," kata Argo saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jumat (14/9).
Teguh sebelumnya pernah dipanggil Polda untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada 27 Agustus lalu. Agenda tersebut ditunda karena yang bersangkutan sibuk dengan pekerjaannya.
 Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan. (CNN Indonesia/Mesha Mediani) |
Anak buah Gubernur Anies Baswedan ini heran dengan penetapan status tersebut. Teguh merasa tindakannya benar karena sesuai tugasnya sebagai kepala dinas, yaitu mengamankan aset pemerintah daerah.
Kepala Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta Achmad Firdaus pun menegaskan lahan di Waduk Rawa Rorotan merupakan aset Pemprov DKI dan sudah tercatat dalam Kartu Inventaris Barang BPAD.
"Iya, itu terdaftar di asetnya Dinas Sumber Daya Air," kata Firdaus akhir Agustus lalu.
Namun dia mengakui pemerintah belum memiliki sertifikat atas aset tersebut. Meski demikian, Firdaus mengatakan Dinas SDA selaku pemilik berkewajiban mengamankan aset dan berhak menggunakan lahan itu.
Adalah Felix Tirtawidjaja, pihak yang melaporkan Teguh ke Polda Metro Jaya hingga berujung penetapan status tersangka. Dia mengklaim lahannya telah diserobot Dinas SDA DKI Jakarta di bawah pimpinan Teguh.
Bukan hanya Felix yang mengklaim kepemilikan lahan di rawa yang kini telah 'disulap' jadi sebuah waduk. Banyak orang lainnya juga mengaku berhak atas lahan tersebut.
 Salah satu warga menunjukkan bukti yang menjadi pegangan untuk menuntut hak mereka. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Ramai-ramai Klaim TanahTeguh menjelaskan tanah di Rawa Rorotan pada awalnya masuk wilayah Bekasi, Jawa Barat. Situasi berubah setelah ada pemekaran wilayah Provinsi DKI Jakarta medio 1970-an.
Pada 1975, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan hak milik kepada warga setempat, yaitu Mana bin Main dan 241 orang, atas bidang tanah yang dikuasai negara. Namun mereka diwajibkan membayar uang pemasukan negara kepada bendahara Sub Direktorat Agraria Kabupaten Bekasi.
Lewat batas waktu yang ditentukan yakni satu tahun, Mana bin Main dan ratusan petani penggarap ternyata tak juga memenuhi kewajiban itu. Tanah tersebut akhirnya menjadi milik negara.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 353 Tahun 1977 menyatakan semua bukti tanda garapan tanah negara di wilayah Jakarta tak berlaku lagi.
Mana bin Main telah meninggal dunia. Namun Saumuh, keponakan Mana, tak bisa terima begitu saja. Kepada
CNNIndonesia.com, dia menunjukkan beberapa lembar berkas sebagai bukti tanda garapan tanah negara di Rawa Rorotan.
 Dokumen milik warga Rawa Rorotan, Cakung, Jakarta Timur terkait sengketa tanah. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Salah satunya kopian surat hasil verifikasi tanah garapan seluas 24,8 hektare. Dalam surat itu, 124 nama tercatat dengan tulisan tangan sebagai penggarap lahan. Surat garapan itu ditandatangani pada 12 Agustus 1977 oleh petugas verifikasi dan Lurah Cakung serta dibubuhi stempel kelurahan.
Menurut Saumuh, surat verifikasi yang telah lusuh itu jadi bukti untuk menuntut gant rugi sesuai hak garapan lahan yang kini diklaim sebagai aset Pemprov DKI Jakarta.
"Jadi jumlah tanah garapan ini ada datanya. Kalau dia [Pemprov DKI] bilang tanah garapan enggak ada suratnya, itu bohong. Cuma di samping itu juga, ada girik garapan, girik merah. Di atasnya distempel tanah pemerintah, tapi yang mengurus masyarakat," kata Saumuh di Cakung, Jakarta Timur, Kamis (30/8).
Mana bin Main diklaim sebagai pimpinan petani penggarap yang biasa mengurus legalitas lahan. Menurut Saumuh, saat itu warga enggan membayar kepada negara karena kondisi lahan masih berupa rawa.
Pada 23 Mei 1983, terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan status tanah di Rawa Rorotan kembali dikuasai negara. Keputusan tersebut menimbang bahwa Mana bin Main dan kawan-kawan tak bisa memenuhi syarat pemberian hak milik.
Ada lagi, Sutiman. Pria yang kini tinggal di Cakung Barat itu mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 60 hektare lahan di area Waduk Rawa Rorotan. Dia mengaku sebagai ahli waris Ayub, ayahnya.
Sutiman menunjukkan kepada
CNNIndonesia.com beberapa bundel surat kepemilikan lahan Ayub di Rawa itu. Salah satunya, surat tertanggal 9 September 1994, Badan Pertanahan Nasional telah mengukur 58 hektare tanah milik Ayub dengan biaya Rp127,6 juta.
"Saya punya datanya semua inventarisasi, tadinya 119 hektare dari SK Jawa Barat oper alih ke DKI Jakarta tahun 1975-1976. Di SK tersebut enggak berlaku lagi, tapi bisa diperbarui. Saya pernah
ngajuin juga ke BPN Jakarta Timur, dibilang dipersilakan membuat sertifikat," ucap Sutiman saat ditemui di rumahnya.
 Seorang warga Rawa Rorotan, Cakung, mengklaim berhak atas ganti rugi tanah yang dijadikan waduk. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Sama seperti Saumuh cs, Sutiman tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas lahan yang ia klaim. Namun Sutiman menyebut Saumuh sebagai mantan anak buah ayahnya. "Mafia semua itu. Saya berani terang-terangan," kata Sutiman.
Sutiman juga bercerita, Bakti Tedja Surya yang pernah memimpin PT Taman Gapura Indah Jaya, sempat berniat memborong tanah Ayub seluas 85 hektare pada 1980-an. Namun rencana itu gagal.
Ayub merasa tak sanggup mengelola puluhan hektare lahan sendirian. Dia kemudian bekerja sama dengan Bakti mengelola lahan.
Namun setelah Ayub meninggal pada 1998, status lahan mulai jadi rebutan. Sutiman menyebut Bakti terus berupaya mengambil alih lahan.
"Dia minggu-minggu ini minta ketemu, tadi telepon, 'Man kamu harus ketemu saya, jangan sampai kamu jadi tersangka.' Ancam lapor polisi. Saya tersangka karena apa? Orang yang
nyerobot tanah saya, saya yang mau dijadiin tersangka," ucapnya.
Bakti belum memberi klarifikasi terkait pernyataan Sutiman.
CNNIndonesia.com berusaha menelepon dan mengirim pesan kepada Bakti, namun tak mendapat jawaban.
Perebutan hak atas tanah di Rawa Rorotan bukan hanya melibatkan Sutiman, Saumuh dan pemerintah. Felix Tirtawidjaja juga mengklaim memiliki lahan di kawasan tersebut.
Felix pernah membeli sebagian lahan dari Ayub, ayah Sutiman. Lahan itu sekarang telah menjadi waduk aset Pemprov DKI Jakarta. Kini, Felix sedang beperkara dengan Teguh, Kadis SDA DKI Jakarta.
Berdasarkan penelusuran, Felix merupakan Direktur Utama PT Taman Gapura Indah Jaya. Hingga saat ini yang bersangkutan belum bisa dikonfirmasi terkait kasus ini.
CNNIndonesia.com juga berusaha menelusuri alamat PT Taman Gapura Indah Jaya di Jalan Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Namun tak ada tanda-tanda kantor Taman Gapura, melainkan Rumah Makan Masakan Padang.
Suasana pengerjaan proyek Waduk Rawa Rrootan, Cakung, Jakarta Timur. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Gejolak Warga Di era kepemimpinan Fauzi Bowo, terbit Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada 23 Oktober 2009. Isinya berupa Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas kurang lebih 1.661.069 meter persegi kepada PT Mitra Sindo Makmur, anak usaha PT Modernland Realty Tbk yang mengembangkan Jakarta Garden City.
Di sisi lain, Sutiman dan kawan-kawan mulai menggugat Pemprov DKI Jakarta hingga ke meja hijau pada 2011. Mereka mengklaim memiliki lahan seluas 60 hektare di Waduk Rawa Rorotan.
Tahun berikutnya, tepatnya 12 Juni 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memenangkan gugatan warga dan menolak klaim Pemprov DKI atas lahan di waduk tersebut.
Namun pada 7 Januari 2014, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Putusan itu diperkuat di tingkat kasasi pada 19 Juli 2017, Mahkamah Agung memutuskan Pemprov DKI Jakarta adalah pemilik sah atas tanah tersebut.
Penguasaan tanah di tempat itu terus berlanjut. Berdasarkan Surat Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah nomor 4053/-1.793.43 tertanggal 28 Oktober 2015, Mitra Sindo Makmur diwajibkan membangun waduk seluas 25 hektare.
Sebelum membangun waduk, warga menuntut pembebasan lahan yang selama bertahun-tahun telah digarap.
Salah satu warga, Markasih mengatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, pernah memerintahkan Saefullah membayar Rp103 miliar untuk mengganti rugi hak warga sebelum membangun waduk.
 Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta Saefullah. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Namun, Saefullah membantah klaim Markasih. Ia juga menyatakan bahwa Ahok tak pernah memerintahkan jajarannya untuk membebaskan lahan di sana.
"Bukan pembebasan lahan. Kalau ada persoalan di antara mereka, selesaikan di antara mereka. Kita jangan terlibat," kata Saefullah kepada
CNNIndonesia.com di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (4/9).
Dia pun menegaskan lahan di Waduk Rawa Rorotan merupakan aset Pemprov DKI Jakarta. Karena itu, kata Saefullah, Teguh perlu dibela. Dia juga meminta para pihak yang tak puas bisa menempuh jalur hukum.
"Tuntut saja ke pengadilan," ujarnya.
Perintah Ahok Pada sebuah rapat pimpinan tahun 2016, Gubernur Basuki memerintahkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mengamankan aset Pemprov DKI Jakarta. Ahok, sapaan Basuki, baru saja kehilangan aset bekas Kantor Wali Kota Jakarta Barat yang jatuh ke tangan swasta karena tak tertib aset.
"Saya perintahkan kepada seluruh SKPD, kamu orang harus pertahankan. Bahkan kalau harganya Rp300 ribu pun kamu harus pertahankan mati-matian. Saya tidak mau terulang aset-aset kita berpindah tangan atau diserobot oleh orang," kata Teguh menirukan ucapan Ahok saat ditemui
CNNIndonesia.com di STIA LAN, Jakpus, Jumat (31/8).
 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Teguh segera mengamankan aset seluas 25 hektare di Waduk Rawa Rorotan. Dia menyatakan tak ada uang untuk pembebasan lahan karena tanah itu tercatat oleh BPAD DKI sebagai aset Dinas SDA dengan nomor 11.05.11.00.00.00.000.1996-01.07.02.01.00011.
Proyek tersebut mulai dikerjakan setelah Dinas SDA DKI Jakarta menerbitkan surat pemberitahuan pelaksanaan pembangunan Waduk Rawa Rorotan kepada Wali Kota Jakarta Timur pada 24 Maret 2016. Akhirnya Mitra Sindo Makmur membangun Waduk Rawa Rorotan.
Ingatan Sutiman masih jelas ketika warga menggelar aksi penolakan proyek pembangunan waduk. Saat itu pihak Kelurahan, Kecamatan, hingga Biro Hukum Wali Kota Jakarta Timur datang ke lokasi dengan pengawalan Satuan Polisi Pamong Praja, bahkan Brimob dan tentara.
Meski ada surat perintah pengerjaan proyek waduk, Sutiman merasa pemerintah belum membebaskan lahan miliknya. Sutiman dan beberapa orang lainnya berusaha menggagalkan proses penggalian waduk kala itu.
"Tetap digali juga, waktu itu masyarakat mau masuk enggak berani karena dijaga tentara. Saya masyarakat kecil, ya enggak mampu lawan mereka," kata Sutiman.
Setelah proyek pembangunan waduk berjalan, Sutiman ikut melaporkan pihak Pemprov DKI Jakarta ke Polda Metro Jaya.
"Felix Tirtawidjaja bos spekulan tanah yang bernama Ayub. Kini berduet dengan Sutiman bin Ayub melaporkan Teguh Hendarwan," kata Habib Wangsa, kuasa hukum salah satu warga, via pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com, Minggu (2/9).
Pada 20 Agustus lalu, waduk itu telah rampung dan diserahkan kembali ke Pemprov DKI. Wali Kota Jakarta Timur mengeluarkan Berita Acara Serah Terima Nomor 2605/-1.793.43 dan 58/MSM-DIRUT/BAST/VIII/2018.
 DPRD DKI Jakarta menyebut kasus sengketa tanah di Rawa Rorotan super kusut. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Dewan Angkat Tangan DPRD DKI Jakarta berusaha mengurai benang kusut dari sengketa lahan di Waduk Rawa Rorotan. Pada April 2018, Komisi A sempat menggelar rapat untuk mendengarkan keluhan warga Rawa Rorotan yang mengaku memiliki hak kepemilikan tanah di sana.
Tiga pihak dihadirkan, yaitu PT Taman Gapura Indah Jaya, ahli waris Chairul, dan ahli waris Haji Soleh. Ketiganya mengklaim berhak atas ganti rugi tanah tersebut. Namun setelah itu, tidak ada lagi kelanjutan dari DPRD untuk menyelesaikan sengketa.
"Saya cuma komentar singkat saja. Masalahnya super kusut, sehingga Komisi A tidak menindaklanjuti dengan rapat selanjutnya," kata Sekretaris Komisi A Syarief kepada
CNNIndonesia.com di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (4/9).
"Kemarin yang mengaku di sini [rapat di DPRD] tiga. Mungkin kalau di sana bisa sepuluh yang mengaku-ngaku," tambahnya.
Sementara itu, Gubernur Anies Baswedan mengatakan Teguh telah melapor kepada dirinya. Dia juga telah berkonsultasi dengan pelaksana tugas Badan Kepegawaian Daerah Budihastuti terkait hak dan kewajiban para aparatur sipil negara yang terlibat kasus hukum.
Namun Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Yayan Yuhanah hanya bisa memberikan bantuan konsultasi hukum kepada Teguh yang kini berstatus tersangka. Pihaknya tak bisa memberikan bantuan pendampingan pengacara.
"Kalau pidana harus ada pendampingan pengacara. Nah, kami enggak bisa Biro Hukum," kata Yayan.
Sengketa lahan di Rawa Rorotan belum juga terang di tengah proses penyelesaian pembangunan waduk yang terus dikebut.