Jakarta, CNN Indonesia --
Baiq Nuril, seorang perempuan mantan pegawai honorer di SMA Negeri 7
Mataram masih berjuang atas kasus hukum yang menjeratnya hingga hari ini. Secercah harapan mulai tampak ketika ada kabar
Kejaksaan Agung menunda eksekusi vonis kasasi enam bulan penjara serta denda Rp500 juta padanya, Senin (19/11).
Baiq mendapat vonis kasasi dari Mahkamah Agung (MA) atas kasus pelanggaran Undang Undang Informasi Teknologi Elektronik (ITE). Baiq disebut menyebarkan percakapan tak senonoh mantan Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim.
Tak terima, Muslim lalu melaporkan Baiq yang telah merekam perbincangan telepon keduanya itu ke polisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari dokumen putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Mataram disebutkan bahwa Baiq hanya memberitahukan rekaman itu kepada rekan kerjanya yakni Imam Mudawin. Baiq pun membantah menyebarkan rekaman itu dalam sidang di PN Mataram di hadapan majelis hakim: Albertus Usada, Ranto Indra Karta, dan Ferdinand M Leande.
Setelah Baiq dinyatakan bebas di PN Mataram pada 26 Juli 2017, jaksa penuntut yakni Ida Ayu Putu Camundi Dewi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan nomor 265/Pid.Sus/2017/PN Mtr. Hasilnya, majelis hakim kasasi MA yang terdiri atas tiga hakim agung: Sri Murwahyuni (ketua), Maruap Dohmatiga Pasaribu, dan Eddy Army menyatakan Baiq divonis bersalah. Kasasi atas Baiq yang diputuskan pada 26 September 2018 itu direkam dengan nomor 574K/PID.SUS/2018.
Pilih PK atau Bantuan Presiden
Kasus ini mencuat ke publik karena posisi Baiq yang disebut seharusnya menjadi korban pelecehan seksual.
Di tengah masa penundaan eksekusi, Baiq melaporkan balik Muslim dengan pasal pelecehan, sembari menunggu proses pengajuan Peninjauan Kembali (PK).
Di lain pihak, koalisi masyarakat sipil telah menyerahkan petisi ke Kantor Staf Presiden (KSP) yang memohon kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memberikan amnesti.
Sementara itu, pada hari yang sama di tempat terpisah, Jokowi menyatakan mendukung Baiq mencari keadilan lewat PK. Jika jalur itu tak mendapatkan hasil, Jokowi pun mempersilakan Baiq mengajukan permohonan kepadanya.
Guru Besar Hukum dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menyatakan secara konseptual ada dua langkah yang dapat ditempuh orang pada umumnya untuk bebas. Pertama dengan PK dan kedua jalur permohonan kepada presiden baik dengan meminta grasi, amnesti atau abolisi.
"Jalur PK memang seringkali memakan waktu yang relatif lama. Jika melalui permohonan kepada presiden bisa diputuskan lebih cepat," kata Asep kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (21/11).
Namun, sambungnya, perlu diperhatikan baik grasi, amnesti, dan abolisi, menandakan terpidana mengakui atas kesalahan yang membuatnya mendapatkan vonis berkekuatan hukum tetap.
"Meski baik grasi, amnesti, dan abolisi harus terlebih dahulu diputus bersalah. Pertanyaannya apakah Bu Baiq mau menerima vonis bersalah? Kalau tidak ya disarankan jalannya ke PK," ujar Asep. "Kalau sudah diputuskan oleh MA, ya cuma PK kalau mau berupaya untuk dibebaskan. Atau mengajukan amnesti ke presiden, dan itu artinya harus diakui atau menerima putusan bersalah."
Penggagas Petisi Koalisi Save Ibu Nuril meletakkan kotak petisi permohonan amnesti untuk Baiq Nuril di atas sepeda dengan patung Presiden Jokowi, Jakarta, 19 November 2018. Mereka menyerahkan petisi #AmnestiUntukNuril yang terkumpul 80 ribu suara pendukung meminta Presiden Joko Widodo memberikan Amnesti kepada Baiq Nuril. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Senada, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa menyarankan Baiq bisa menempuh jalur PK. Dalam kasus Baiq, ia menduga hakim telah salah menjatuhkan vonis kepada Baiq.
"Saya menduga hakim salah menerapkan hukum. Oleh karenanya putusan ini harus diperbaiki dengan pengajuan PK," kata Eva.
Eva mengatakan ada fakta yang tidak diperhitungkan hakim dalam memberikan vonis kepada Baiq. Satu di antaranya adalah soal pelaku fisik yang benar-benar mengunggah konten rekaman itu.
"Jadi harus dibuktikan dulu, apa dia (Baiq) benar melakukan pengunggahan konten. Kalau tidak dia tidak bisa dikenakan hukum ITE itu," kata Eva.
Menurut dia, posisi Baiq sedianya berada pada posisi bukan pelaku utama. Kata Eva, Baiq juga tidak bisa diposisikan sebagai pihak yang dinyatakan turut serta atau membantu.
"Karena ia tidak punya pengetahuan sama sekali terhadap fakta itu. Sehingga dalam putusan, posisi Baiq Nuril yang sebagai pelaku fisik padahal kan bukan dia," ujarnya.
Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan PK tetap bisa berjalan dengan atau tanpa bukti baru (
novum). Putusan hakim pun, sambungnya, tetap bisa ditinjau kembali dengan menguji pasal-pasal yang dikenakan kepada Baiq.
"Saya pikir PK tetap bisa dilaksanakan dan harus ada pembuktian, jika tidak maka Baiq harusnya bisa bebas dari jeratan hukum," tutur dia.
Baiq sendiri, baik melalui kuasa hukumnya maupun dirinya pribadi, menyatakan akan tetap berjuang bebas melalui PK.
"Tidak (campur tangan presiden lewat amnesti),"kataBaiq di Gedung DPR,Jakarta, Rabu (21/11).
Salah satu anggota kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, mengatakan PK yang pihaknya pilih untuk ditempuh itu untuk membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah.
"Kami
concern kepada perlawanan hukum dalam bentuk PK," ujar Joko, Senin (19/11), "Sedangkan upaya yang kita lakukan supaya menghindari Bu Nuril tidak masuk penjara adalah penundaan eksekusi (oleh kejaksaan agung). Itu yang kami lakukan."
Joko mengatakan pihaknya tidak ikut campur terkait dengan desakan penggunaan hak amnesti presiden untuk Baiq. Karena pihaknya masih merasa terganjal dengan definisi amnesti.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Pasal 1 disebutkan bahwa presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
Joko mengatakan frasa "kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana" itulah yang membuat pihaknya tidak ikut campur. Karena bisa dimaknai bahwa Baiq Nuril membenarkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dilaporkan Muslim.
"Tim hukum tetap pada pendirian bahwaBuNuril tidak bersalah. Langkah yang dilakukan adalah PK,"kataJoko.
Sementara itu, MA menyatakan putusan PN Mataram yang membebaskan Baiq Nuril dalam kasus pelanggaran UU ITE keliru. "Menurut putusan MA, bahwa putusan Pengadilan Negeri Mataram keliru membebaskan (Nuril). Kemudian, diluruskan MA dengan putusan MA," kata Juru Bicara MA, Suhadi saat dihubungi, Rabu.
Di tingkat kasasi, MA memutuskan Baiq melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pasal tersebut menyatakan, 'Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan'.
Suhadi menerangkan majelis sidang kasasi menilai Nuril terbukti mentransmisikan rekaman pembicaraan dengan mantan kepala SMAN 7 Mataram, Muslim. Secara umum, kata Suhadi, mentransmisi berarti memindahkan.
Dalam konteks kasus Nuril, rekaman yang sebelumnya disimpan sendiri kemudian berpindah tangan ke orang lain. Selanjutnya, rekaman tersebut tersebar luas. "Memberikan
handphone kepada itu (ImamMudawin) dan waktu itu faktanya dia (Nuril) berada di situ. Jadi bisa dipastikan bahwa itu akan berpindah kepada orang lain. (Pemindahan) kan bisa oleh dia sendiri, bisa juga dikuasakan oleh dia atau bisa melalui agen IT (teknologi informasi) sendiri,"kataSuhadi soal kasus yangmenjeratBaiqNuril.