Waktu berlalu dan Febri semakin limbung. Dia bertahan hidup dengan pekerjaan tak menentu, sementara kabar dari keluarganya tak pernah sampai ke telinga.
Di tengah frustrasi, Febri mulai mencari tahu geliat perkembangan informasi tentang ISIS di Suriah melalui internet.
Sepanjang penelusurannya di situs-situs pro ISIS, Febri mendapati betapa kelompok militan yang berniat mendirikan negara Islam itu telah mengalami kemajuan pesat.
Febri takjub saat mengetahui fasilitas yang ada di basis kelompok ISIS sudah sangat memadai. Galeri foto dan video di situs-situs pro ISIS menunjukkan sebuah peradaban mandiri dengan tata kelola permukiman yang modern.
"Sejak itu saya mulai meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan keluarga saya itu benar," ujar Febri.
Harapan Febri berkumpul dengan keluarga di ISIS terkabul setelah tanpa kesengajaan bertemu seorang mantan karyawan yang pernah bekerja di salah satu perusahaan pamannya --yang bangkrut sepeninggal ke Suriah.
Orang itu mengajak Febri untuk menyusul keluarganya dan siap memodali ongkos berangkat ke Suriah.
"Saya ditawari, masih mau tetap di sini atau ikut ke sana," kata dia.
Tak pikir panjang lagi, Febri memilih berangkat. Bersama mantan rekan bisnis pamannya, dia bertolak sebagai turis yang pelesiran ke Turki dengan memanfaatkan musim liburan Idul Adha, pertengahan September 2016.
Setibanya di Istanbul, Turki, Febri mesti menunggu lima hari untuk diperbolehkan masuk ke Provinsi Hatay yang berbatasan langsung dengan wilayah Allepo, Suriah.
Dia harus menempuh jalur darat dengan menggunakan bus carteran untuk menuju wilayah perbatasan Turki-Suriah. "Ada sekitar 50 orang dalam satu bus itu. Dari Eropa segala macam," kata Febri.
Saat itu bukan sekadar jarak tempuh lebih dari 1.000 kilometer yang harus dilalui Febri dari jantung kota Turki ke wilayah perbatasan Suriah. Kelak Febri memaknai perjalanan bus itu telah mengantarnya menembus dunia yang lebih mengejutkan dari yang pernah dia bayangkan.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Kondisi Suriah saat kedatangan Febri berbeda dengan tahun sebelumnya. Rombongan keluarga Febri pada 2015 mendapat akses terbuka untuk menyeberang dari Kilis, Turki ke wilayah Suriah karena kekuatan ISIS masih diperhitungkan. Perbatasan Raqqa masih minim penjagaan dan hampir tanpa hadangan atau perlawanan.
Febri datang ketika konflik di Suriah semakin meningkat. Kekuatan ISIS sejak deklarasi Negara Islam turut diiringi kehadiran sejumlah kelompok dan faksi perjuangan dengan latar belakang, ideologi dan kepentingan misi yang beririsan.
Setibanya di Hatay, Febri diminta menanggalkan seluruh identitas yang menunjukan statusnya sebagai WNI. Agen penyelundup di perbatasan kemudian mengarahkan sopir bus agar menempuh perjalanan memutari jalur selatan Suriah, menghindari Aleppo yang berbatasan langsung dengan Raqqa.
Para imigran ilegal kemudian beralih menggunakan kendaraan kecil digiring dari Hatay, Turki, melalui jalan tikus ke Kota Idlib dan Hama sebelum tiba di Raqqa. Jarak tempuh ditaksir lebih dari 800 kilometer.
Belum juga masuk Kota Idlib, kendaraan sudah dicegat kelompok Jabhat al-Nusra. Semua penumpang dipaksa turun, Febri ikut diinterogasi dan diperiksa kelengkapan identitasnya --yang sudah dia buang di perbatasan Turki.
Jabhat al-Nusra adalah salah satu faksi yang memberontak dari pemerintahan Presiden Suriah Bashar Assad namun menolak melebur dengan ISIS. Kelompok milisi ini memilih tetap menginduk ke Al-Qaeda.
Kedatangan Febri dan rombongan memicu bulan-bulanan pertanyaan. Febri bungkam mengungkap tujuan menuju Raqqa untuk bergabung ISIS. Rombongan Febri kompak berdalih datang ke Suriah sebatas untuk menjadi warga sipil.
Mereka akhirnya ditahan karena gelagat mencurigakan. Jabhat al-Nusra sejak itu intens mendatangi rombongan Febri di rumah tawanan dan kerap memberikan intimidasi, baik secara verbal maupun todongan senjata. Kelompok militan itu memaksa rombongan Febri bergabung dengan perjuangan mereka.
"Selama sebulan saya ditahan, ditanya, dan dipaksa bergabung dengan mereka. Ada intimidasi secara verbal kalau tidak mau bergabung bakal ditembak dan segala macam," kata Febri.
Setelah negosiasi alot selama satu bulan, salah seorang dari rombongan mendapat akses berkomunikasi dengan orang di Idlib yang bisa menjembatani koordinasi dengan ISIS. Baru kemudian Jabhat al-Nusra melepas rombongan Febri menuju Idlib.
Pencegatan itu hanyalah satu dari beberapa kejadian yang dialami oleh rombongan Febri selama perjalanan ilegalnya. Febri dan rombongan seiring waktu menghadapi beberapa pengecekan di sepanjang jalur penyelundupan orang tersebut.
"Ketika saya masuk wilayah Suriah itu sudah dikuasai faksi-faksi lain. Saya sempat ke beberapa kota di sana dan sempat tertangkap faksi jihadis lain," kata dia.
Setibanya di Idlib, Febri harus menunggu beberapa bulan sementara agen penyelundup berkoordinasi dengan pihak ISIS. Mereka menunggu instruksi melanjutkan perjalanan dari Idlib ke Kota Hama, sebelum masuk jantung pertahanan ISIS di Raqqa.
"Hingga akhirnya Februari 2017, saya bisa masuk ke wilayah ISIS di Kota Raqqa," kata Febri.
Di Raqqa, Febri mendapati kondisi lebih mengerikan dari perjalanan berbulan-bulan menyinggahi kantong-kantong faksi kelompok milisi.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Setibanya di Raqqa, Febri selama beberapa hari ditampung di Maktab Hijrah, semacam kantor imigrasi ISIS. Dia lantas bertanya tentang keberadaan keluarganya setelah mendapati salah satu petugas di kantor itu warga Indonesia.
Petugas itu langsung mengenali keluarga yang dimaksud Febri karena kedatangan rombongan WNI itu telah membuat heboh orang-orang di Raqqa.
Dari petugas itu Febri mendapat informasi bahwa hanya 19 orang dari 26 anggota rombongan yang berhasil masuk Raqqa. Selebihnya sudah dideportasi sejak masuk Turki dengan alasan beragam.
Petugas itu lantas membawa Febri ke sebuah daerah permukiman padat penduduk dengan pemandangan bangunan hancur sepanjang jalan. Keluarga Febri tinggal di sebuah bangunan berbentuk rumah susun menyerupai apartemen.
Luapan emosi pun mengharu-biru saat Febri bertemu keluarganya. Tapi perasaan sedih bercampur suka cita itu tak bertahan lama. Alih-alih senang dijumpai anak bungsunya, ibunda menyesalkan Febri menyusul ke Raqqa.
"Ngapain kamu ke sini. Kita ini sudah lama ingin pulang. Di sini semua bohong, propaganda, tidak dapat apa-apa, pemimpin Baghdadi juga tidak jelas juntrungannya ke mana," ujar Febri mengenang perkataan ibunya.
 Latihan militer para kompatan ISIS. (Dok. Al Hayat Media Center) |
Keluarga Febri rupanya merupakan rombongan yang 'terabaikan' karena menolak ikut pelatihan militer ISIS --setelah beberapa pekan digembleng pendidikan agama.
Mereka menolak masuk militer dengan alasan jauh-jauh datang ke 'ibu kota Negara Islam' untuk sepenuhnya menjadi warga sipil, bekerja, dan mendapat penghasilan.
Pejabat ISIS setempat berang mendengar penolakan tersebut. Mereka yang menolak pelatihan militer kemudian ditahan, sampai akhirnya rombongan WNI itu dicampakkan tak mendapat fasilitas yang dijanjikan.
Selebihnya adalah teror dan trauma. Ledakan dan rentetan tembakan terjadi setiap hari, menghantui keluarga Febri yang bertahan hidup dengan keterbatasan dana dan tenaga.
Mereka pernah menyaksikan bagaimana mayat digantung dengan kepala terpisah, sementara badannya ditandai dengan tulisan Arab.
"Kepalanya dimainkan sama anak kecil, ditendang-tendang. Di ISIS itu dibilang penjahat, intel musuh, orang kafir harus dibunuh," kata Febri.
 Pasukan ISIS mengeksekusi tentara Suriah di Palmyra. (Footage) |
Situasi semakin kacau ketika Raqqa menjadi sasaran serang kelompok yang berselisih dengan ISIS. Salah satu kerabat Febri bahkan meninggal akibat terkena serpihan ledakan dari bom yang jatuh di luar area permukiman mereka.
"Rutin dalam 10-15 terdengar suara ledakan. Pintu rumah sempat hancur kena getaran akibat ledakan. Om saya meninggal di sana terkena serpihan bom dari pesawat hingga sekarat," kata dia.
Selain Paman Febri, seorang kerabat sepuh berusia 80 tahun juga meninggal karena tak mampu lagi bertahan dari sakit-sakitan.
Total anggota rombongan tersisa 18 orang, termasuk Febri yang belakangan menyusul.
Febri sejak dua hari kedatangannya sudah didatangi oleh semacam katibah atau anggota pasukan yang berkeliling menyisir lokasi permukiman Raqqa untuk perekrutan militer.
Orang itu meminta Febri mengikuti pendidikan agama sebelum berlatih perang demi berjihad mempertahankan kekuatan Negara Islam di Suriah.
Pihak keluarga pun cemas. Mereka menyiasati segala cara demi menghindarkan Febri dari perekrutan militer setiap kali kombatan ISIS menyatroni rumahnya.
"Sampai saya pura-pura sakit, bahkan disuntik sampai sakit beneran," kata Febri.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Keluarga Febri sudah setahun diam-diam mengontak pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriah di Damaskus agar membantu mengeluarkan mereka dari Raqqa.
Namun pemerintah Indonesia tak bisa mengambil risiko mengirim orang ke wilayah konflik. Keluarga Febri disarankan terlebih dulu menjauh dari Raqqa hingga batas aman sebelum dijemput oleh pihak KBRI.
Hingga Febri datang, rombongan keluarga itu tak pernah berhasil kabur dari Raqqa.
Keluarga Febri belakangan disarankan warga untuk sesegera mungkin keluar dari markas ISIS dan menyerahkan diri ke pihak Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di perbatasan bagian utara Raqqa. Itu jadi satu-satunya cara bagi mereka keluar dari cengkeraman kontrol ISIS.
SDF adalah faksi kelompok oposisi pemerintahan Suriah yang mendapat dukungan dari negara Barat terutama Amerika Serikat. ISIS saat kedatangan Febri dalam kondisi tertekan oleh gempuran mereka.
 Pasukan SDF menginvasi Raqqa. (REUTERS/Erik De Castro) |
Kegentingan itu membuat pasukan ISIS berfokus merekrut pemuda yang bisa 'dipaksa' jadi prajurit tempur, ketimbang mengurusi orang yang (pura-pura) sakit semacam Febri.
Kegentingan itu pula yang membuat keluarga Febri memantapkan tekad untuk tak lagi berlama-lama hidup trauma di jantung konflik perang, namun juga dengan konsekuensi nyawa jadi taruhan.
"Keluar dari sana itu susah. Kalau tertangkap, bisa dibunuh semua," kata Febri.
Kekuatan ISIS di Raqqa semakin terkikis menyusul kekalahan mereka di Kota Tua Mosul Irak. Basis pertahanan mereka di Suriah sejak itu dibuat berantakan. Sejumlah pasukan berpencar dan menarik diri ke persembunyian di wilayah timur dan barat daya Suriah.
Bersamaan dengan kekacauan itu, momentum yang dinanti keluarga Febri tiba. Suatu hari pada pertengahan 2017, penduduk yang amanah memenuhi janjinya mengantar mereka keluar dari Raqqa.
 Perempuan dan anak-anak yang menjadi bagian rombongan Febri. (AFP PHOTO / Ayham al-Mohammad) |
Teror tak cuma membayangi jejak pelarian yang mereka tapak, karena setiap langkah yang dipijak semakin mendekatkan mereka ke arah pasukan SDF. Sebab bagaimanapun, keluarga Febri saat itu menyandang status simpatisan ISIS.
Setidaknya pelarian keluarga Febri berjalan lancar sampai sederet peluru menyasar ke arah mereka.
"Kami ditembaki SDF. Kami dikira musuh," ujar Febri.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Ketegangan merundung keluarga Febri ketika mereka dikepung pasukan SDF. Beruntung orang-orang bersenjata itu memahami miskomunikasi yang terjadi setelah mereka diberi pengertian tentang posisi para WNI yang mencari perlindungan.
Mereka akhirnya dibawa ke markas pertahanan SDF untuk ditanyai lebih mendetail. Bukan satu-dua hari mereka ditahan. Proses interogasi oleh pasukan SDF memakan waktu hingga dua bulan.
Belakangan rombongan WNI itu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok perempuan dan anak-anak dibawa ke Ain Issa. Sementara laki-laki di bawa ke Kobane, wilayah barat laut Suriah yang berbatasan dengan Turki.
Selama dua bulan itu mereka diinterogasi oleh interpol. Kelompok perempuan diwawancara oleh wartawan asing, yang kemudian memberitakan tentang pengakuan mereka kerap diajak menikah oleh para kombatan ISIS.
Setelah interogasi panjang dan melelahkan itu, semua kelompok kembali dipertemukan dan diantar ke perbatasan Irak untuk dijemput pemerintah Indonesia.
Di Irak, mereka kembali diinterogasi secara maraton oleh tim intelijen sebelum dibawa ke Qatar untuk transit perjalanan pulang.
"Akhirnya sampai di Indonesia Agustus 2017," kata Febri.
 Tentara SDF menyerang benteng pertahanan terakhir ISIS di Baghouz. (BULENT KILIC / AFP) |
Kepulangan Febri ke Indonesia membuat geger seantero Indonesia. Sorotan tak cuma datang dari publik nasional, media asing pun turut memberi perhatian tentang keterlibatan 18 WNI yang berujung nekat kabur setelah dikibuli ISIS.
Kondisi Suriah sementara itu semakin kacau. ISIS digempur habis-habisan oleh pasukan yang mendapat dukungan penuh negara Barat. Pemerintah AS mencatat hingga 2017 ISIS telah kehilangan sekitar 60 ribu kombatan, 78 persen di antaranya mereka yang berjuang di Irak dan 58 persen di teritori Suriah.
SDF berhasil menguasai Raqqa pada Oktober 2017. Pasukan ISIS bersama ratusan simpatisannya dipukul mundur. Mereka bermigrasi ke sebuah desa kecil bernama Baghouz dekat Sungai Eufrat --berjarak sekitar 280 kilometer arah tenggara dari Raqqa, dekat perbatasan Irak.
Baghouz menjadi markas terakhir ISIS di Suriah. Pada Maret 2019, SDF mengumumkan 'kekalahan total' ISIS di Suriah setelah mereka menaklukkan Baghouz.
Intelijen pemerintah Indonesia belakangan mencatat ada sekitar 31 ribu pejuang dan simpatisan ISIS asing yang bergabung di Suriah dan Irak. Dari jumlah tersebut, sekitar 700 orang dari Indonesia.
Para kombatan kini menyebar bersembunyi di perbatasan dan perbukitan dengan sisa kekuatan yang semakin melemah. Baghdadi sementara itu masih dalam perburuan dengan banderol sekitar Rp370 miliar hidup atau mati. Dia diduga bersembunyi di padang tandus Al Anbar, Irak.
Di luar para kombatan, lebih dari 11 ribu anggota keluarga ISIS dari negara asing, termasuk sekitar 200 WNI, kini berkumpul di kamp pengungsian Al Hawl, Suriah. Mereka kebanyakan orang sepuh, janda yang ditinggal suami kombatan, serta anak-anak yang dibawa hijrah orang tuanya.
 Ratusan anggota keluarga ISIS menyelamatkan diri dari pertempuran di Baghouz. Banyak dari mereka kini ditampung di kamp pengungsian Al Hawl tanpa kepastian nasib. Fadel SENNA / AFP) |
Nasib ratusan simpatisan dan anggota keluarga ISIS yang terjebak di Suriah kini menjadi permasalahan utama. Mereka tidak seberuntung rombongan Febri yang bisa kabur dari Suriah dan diterima pulang ke Indonesia.
Pemerintah dilema menyikapi kepentingan kemanusiaan dan keamanan. Sampai-sampai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu 'kerepotan' mengurusinya. "Lebih baik tak usah kemari. Kalau mau berjuang, berjuang saja di sana," kata dia.
Ekses dari penyikapan dilematis ini seperti yang menimpa Shamima Begum, mantan simpatisan ISIS yang dicabut kewarganegaraannya oleh Inggris dan ditolak negara asal orang tuanya, Bangladesh.
Peneliti mencatat masalah keterlibatan WNI dalam kelompok radikal seperti ISIS sangat kompleks. Kebanyakan mereka yang terlibat tidak pernah berniat untuk membunuh untuk berperang.
Para WNI nekat hijrah karena frustasi mencari kehidupan dan penghidupan agar bisa bangkit dari kesengsaraan ekonomi di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan keluarga Febri.
Di sisi lain program deradikalisasi pemerintah tak menjamin bisa menghapus ideologi mereka yang terpapar radikalisme. Penelitian teranyar mengungkap hanya 30 persen narapidana terorisme yang insaf setelah menjalani program deradikalisasi.
Febri sepulangnya di Indonesia menjalani program deradikalisasi dan konseling selama lebih dari sebulan. Hanya 15 dari mereka yang dipulangkan usai karantina. Tiga lainnya ditahan untuk menjalani proses hukum atas dugaan keterlibatan terorisme.
Setelah mengikuti program deradikalisasi itu Febri mulai menata persepsi. Dia mengaku telah keliru menafsirkan ajaran Islam dan berujung pada tendensi kebencian berdasar sentimen.
"Stres dan depresi juga membuat mereka menyangka sistem di sini katanya tak sesuai. Kafir segala macam. Padahal menurut saya Pancasila itu normanya dipetik dari Alquran juga," kata Febri.
[Gambas:Video CNN]