Ketegangan merundung keluarga Febri ketika mereka dikepung pasukan SDF. Beruntung orang-orang bersenjata itu memahami miskomunikasi yang terjadi setelah mereka diberi pengertian tentang posisi para WNI yang mencari perlindungan.
Mereka akhirnya dibawa ke markas pertahanan SDF untuk ditanyai lebih mendetail. Bukan satu-dua hari mereka ditahan. Proses interogasi oleh pasukan SDF memakan waktu hingga dua bulan.
Belakangan rombongan WNI itu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok perempuan dan anak-anak dibawa ke Ain Issa. Sementara laki-laki di bawa ke Kobane, wilayah barat laut Suriah yang berbatasan dengan Turki.
Selama dua bulan itu mereka diinterogasi oleh interpol. Kelompok perempuan diwawancara oleh wartawan asing, yang kemudian memberitakan tentang pengakuan mereka kerap diajak menikah oleh para kombatan ISIS.
Setelah interogasi panjang dan melelahkan itu, semua kelompok kembali dipertemukan dan diantar ke perbatasan Irak untuk dijemput pemerintah Indonesia.
Di Irak, mereka kembali diinterogasi secara maraton oleh tim intelijen sebelum dibawa ke Qatar untuk transit perjalanan pulang.
"Akhirnya sampai di Indonesia Agustus 2017," kata Febri.
![]() |
Kepulangan Febri ke Indonesia membuat geger seantero Indonesia. Sorotan tak cuma datang dari publik nasional, media asing pun turut memberi perhatian tentang keterlibatan 18 WNI yang berujung nekat kabur setelah dikibuli ISIS.
Kondisi Suriah sementara itu semakin kacau. ISIS digempur habis-habisan oleh pasukan yang mendapat dukungan penuh negara Barat. Pemerintah AS mencatat hingga 2017 ISIS telah kehilangan sekitar 60 ribu kombatan, 78 persen di antaranya mereka yang berjuang di Irak dan 58 persen di teritori Suriah.
SDF berhasil menguasai Raqqa pada Oktober 2017. Pasukan ISIS bersama ratusan simpatisannya dipukul mundur. Mereka bermigrasi ke sebuah desa kecil bernama Baghouz dekat Sungai Eufrat --berjarak sekitar 280 kilometer arah tenggara dari Raqqa, dekat perbatasan Irak.
Baghouz menjadi markas terakhir ISIS di Suriah. Pada Maret 2019, SDF mengumumkan 'kekalahan total' ISIS di Suriah setelah mereka menaklukkan Baghouz.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Intelijen pemerintah Indonesia belakangan mencatat ada sekitar 31 ribu pejuang dan simpatisan ISIS asing yang bergabung di Suriah dan Irak. Dari jumlah tersebut, sekitar 700 orang dari Indonesia.
Para kombatan kini menyebar bersembunyi di perbatasan dan perbukitan dengan sisa kekuatan yang semakin melemah. Baghdadi sementara itu masih dalam perburuan dengan banderol sekitar Rp370 miliar hidup atau mati. Dia diduga bersembunyi di padang tandus Al Anbar, Irak.
Di luar para kombatan, lebih dari 11 ribu anggota keluarga ISIS dari negara asing, termasuk sekitar 200 WNI, kini berkumpul di kamp pengungsian Al Hawl, Suriah. Mereka kebanyakan orang sepuh, janda yang ditinggal suami kombatan, serta anak-anak yang dibawa hijrah orang tuanya.
![]() |
Nasib ratusan simpatisan dan anggota keluarga ISIS yang terjebak di Suriah kini menjadi permasalahan utama. Mereka tidak seberuntung rombongan Febri yang bisa kabur dari Suriah dan diterima pulang ke Indonesia.
Pemerintah dilema menyikapi kepentingan kemanusiaan dan keamanan. Sampai-sampai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu 'kerepotan' mengurusinya. "Lebih baik tak usah kemari. Kalau mau berjuang, berjuang saja di sana," kata dia.
Ekses dari penyikapan dilematis ini seperti yang menimpa Shamima Begum, mantan simpatisan ISIS yang dicabut kewarganegaraannya oleh Inggris dan ditolak negara asal orang tuanya, Bangladesh.
Peneliti mencatat masalah keterlibatan WNI dalam kelompok radikal seperti ISIS sangat kompleks. Kebanyakan mereka yang terlibat tidak pernah berniat untuk membunuh untuk berperang.
Para WNI nekat hijrah karena frustasi mencari kehidupan dan penghidupan agar bisa bangkit dari kesengsaraan ekonomi di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan keluarga Febri.
Di sisi lain program deradikalisasi pemerintah tak menjamin bisa menghapus ideologi mereka yang terpapar radikalisme. Penelitian teranyar mengungkap hanya 30 persen narapidana terorisme yang insaf setelah menjalani program deradikalisasi.
[Gambas:Twitter]
Febri sepulangnya di Indonesia menjalani program deradikalisasi dan konseling selama lebih dari sebulan. Hanya 15 dari mereka yang dipulangkan usai karantina. Tiga lainnya ditahan untuk menjalani proses hukum atas dugaan keterlibatan terorisme.
Setelah mengikuti program deradikalisasi itu Febri mulai menata persepsi. Dia mengaku telah keliru menafsirkan ajaran Islam dan berujung pada tendensi kebencian berdasar sentimen.
"Stres dan depresi juga membuat mereka menyangka sistem di sini katanya tak sesuai. Kafir segala macam. Padahal menurut saya Pancasila itu normanya dipetik dari Alquran juga," kata Febri.