Kubu Ahli Waris Sebut Penggusuran Pancoran Langgar Hukum
Kuasa hukum ahli waris Mangkusasmito Sanjoto, Edi Danggur mengatakan tindakan Pertamina melalui anak perusahaannya PT Pertamina Training & Consulting (PTC) menggusur rumah warga yang tinggal di Buntu II, Pancoran Jakarta Selatan merupakan pelanggaran hukum.
Sebab, menurut Edi, tindakan Pertamina melakukan eksekusi penggusuran dan membangun pagar beton yang mengepung warga Buntu II itu tidak memiliki dasar putusan pengadilan. Padahal, tanah di Buntu II Pancoran tengah berada dalam sengketa.
"Eksekusi kan harus berdasarkan penetapan pengadilan dan di bawah pimpinan ketua pengadilan," kata Edi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/3) sore.
Edi mengatakan kepemilikan ahli waris Sanjoto atas tanah tersebut telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung No.1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977.
Sementara, mengenai keberadaan warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di tanah kliennya sudah berlangsung sejak 1970-1980 an. Saat itu, tidak sedikit perantau, baik pejabat maupun tuna wisma yang meminta belas kasih Sanjoto agar diizinkan tinggal di tanahnya.
Sanjoto kemudian mengizinkan mereka menempati tanah tersebut.
"Anak-anak merekalah yang sekarang ada di sana. Ya boleh," kata Edi.
Selain itu, tindakan PT PTC memberika kerohiman atau ganti rugi kepada warga yang menempati lahan itu juga dinilai melanggar hukum. Sebab, menurut Edi, PT PTC tidak memiliki wewenang atas lahan tersebut.
Di sisi lain, warga yang menerima uang kerohiman juga salah karena pembayaran dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang.
"Kan belum diputuskan di pengadilan dia (Pertamina) berhak atau tidak," tegas Edi.
Sebelumnya diketahui Pertamina telah membeli tanah yang sedang menjadi sengketa antara Sanjoto dengan rekan bisnisnya, Anton Partono CS pada dekade 1970 an. Sanjoto kemudian menggugat ke pengadilan negeri dan menang.
Proses hukum ini terus berlanjut hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
"Pembeli yang beriktikad buruk. Sehingga sertifikat-sertifikat mereka itu batal demi hukum," kata Edi.
Edi menyayangkan tindakan Pertamina yang datang merangsek masuk dan melakukan penggusuran dengan dikawal polisi dan ormas pada November lalu. Plang kepemilikan ahli waris atas tanah itu juga dibongkar paksa oleh pihak PT PTC.
Menindak persoalan itu, ahli waris keluarga Sanjoto memutuskan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2 Desember 2020.
Dalam gugatan tersebut, ahli waris Sanjoto meminta agar Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang menjadi dasar Pertamina mengklaim tanah Buntu II dibatalkan demi hukum. Selain itu, mereka juga meminta agar semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
"Tindakan perampasan, pemagaran itu, kemudian membuldozer rumah-rumah warga, itu kan tindakan melanggar hukum," protesnya.
Edi mengatakan ahli waris dan warga yang telah 40 tahun tinggal di tanah tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung menolak hengkang. Mereka hanya mau meninggalkan tanah tersebut jika pengadilan menyatakan ahli waris tidak berhak atas tanah Buntu II.
"Tapi kalau tidak ada penetapan pengadilan ya nggak boleh dong. Itu namanya main hakim sendiri," kata Edi.
Hingga saat ini proses di pengadilan masih berlangsung. pihaknya akan mendapat jawaban dari pihak pertamina melalui persidangan pada 24 Maret mendatang. Ia meminta agar Pertamina berhenti membujuk warga agar menerima kerohiman.
"Apalagi sekarang sedang ada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hargai dong persidangan. Jangan lakukan penghinaan terhadap pengadilan," tambah Edi.
Sebelumnya, Pertamina melakukan penggusuran terhadap sejumlah rumah, lapak barang bekas, dan kontrakan warga di lahan Buntu II, Pancoran. Mereka mengklaim memiliki 25 SHGB yang diterbitkan pada 1973.
Pnggusuran dilakukan terhadap warga yang menerima kerohiman atau uang ganti rugi. Menurut keterangan warga, sengketa lahan ini diwarnai intimidasi.
"Secara hukum, hak kepemilikan Pertamina atas lahan tersebut dikuatkan melalui 25 sertifikat Hak Guna Bangunan [HGB] yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Selatan 11 Badan Pertanahan Nasional dan Akta Pelepasan Hak No. 103 Tahun 1973," kata Legal Manager PT PTC Achmad Suyudi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/3).
(niam/agt)