Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kembali menjadi sorotan masyarakat. Yang terbaru adalah lomba penulisan artikel dengan mengangkat dua tema, yakni 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam'.
Alih-alih menarik simpati, tema penulisan artikel itu menuai kritik dan bahkan dorongan pembubaran lembaga dari sejumlah tokoh.
Sebetulnya, ini bukan pertama kali BPIP menuai kontroversi. Setidaknya, ada empat kontroversi BPIP berdasarkan catatan CNNIndonesia.com dalam setahun terakhir. Berikut daftarnya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lomba artikel 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam'
Untuk memperingati HUT RI ke 76, BPIP mengadakan lomba menulis artikel dengan dua tema, yakni Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam'.
Lomba ini memicu polemik dari berbagai kalangan. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengkritik lomba tersebut. Dia menilai tema yang diangkat menunjukkan kegagalan BPIP dalam memahami Islam dan Pancasila
"Tema lomba BPIP ini menunjukkan betapa dangkalnya BPIP memahami Islam dan Pancasila," kata Fadli dalam akun twitter @fadlizon.
revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP).
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas pun mendorong pembubaran lambaga yang sebelumnya bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP) itu.
Sementara, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud menganggap biasa lomba penulisan artikel BPIP itu tanpa tendensi tertentu karena disesuaikan dengan Hari Santri dan menjelang 17 Agustus.
Ucapan Kepala BPIP soal agama musuh Pancasila
Februari 2020, Kepala BPIP Yudian Wahyudi pernah menyampaikan pernyataan yang membenturkan agama dengan Pancasila. Bahwa, ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
"Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," kata Yudian.
Ucapan itu sontak memicu kritik dari masyarakat. Pernyataan tersebut memancing perbincangan di Twitter. Netizen meramaikan perbincangan soal Pancasila dan mempopulerkan tagar #BubarkanBPIP.
Tak hanya itu, sejumlah organisasi mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, hingga sejumlah politikus, mempertanyakan pernyataan tersebut.
Politikus PKS Hidayat Nur Wahid juga menganggap pernyataan Ketua BPIP radikal dan historis. Sebab, Bung Karno dan Presiden Suharto saja tidak menjadikan agama musuh Pancasila.
Imbas dari kejadian itu, Yudian memilih berhenti menyampaikan pernyataan kepada media massa selama kurang lebih setahun. Gantinya, ia menunjuk juru bicara.
Pada Mei 2020, lembaga ini kembali menerima hujan kritik dari masyarakat. Pasalnya, BPIP bersama dengan MPR, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggelar konser amal penggalangan dana penanganan Covid-19, namun tidak mematuhi protokol kesehatan.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan mengkritisi sikap para tokoh yang hadir dalam konser lantaran tak menjaga jarak satu sama lain. Dia mengetahui itu lewat foto yang diunggah anggota BPIP Benny Susetyo.
"Nyuruh rakyat untuk cegah penyebaran virus corona dengan jaga jarak, tapi dari foto konser MPR-BPIP ini sama sekali tidak diterapkan physical distancing," ujarnya lewat akun Twitter @OssyDermawan.
Alhasil, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta maaf kepada publik atas penyelenggaraan konser penggalangan dana yang digelar bersama BPIP tak mematuhi jaga jarak (social distancing).
Bamsoet, sapaan akrabnya, mengatakan foto bersama yang dilakukan tanpa mengindahkan social distancing dilakukan secara spontan. Sebab semua pihak yang terlibat saat itu tengah bergembira karena konser berhasil digelar.
"Saya mohon maaf. Itu semua salah saya yang tidak bisa menolak permintaan spontan teman-teman kru TV untuk berfoto bersama dengan saya dan musisi senior Sam dan Acil Bimbo," kata Bamsoet kepada wartawan.
Wacana TNI-Polri di BPIP
Draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memperbolehkan anggota TNI dan Polri aktif bisa menjabat sebagai Dewan Pengarah BPIP. Berbeda dari aturan sebelumnya yakni Perpres No. 7 tahun 2018 tentang BPIP, presiden hanya membolehkan purnawirawan mengisi jabatan tersebut.
Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berisi sebelas orang atau berjumlah gasal. Bagian itu juga merinci dua unsur yang diperbolehkan menjabat sebagai Dewan Pengarah BPIP.
"Unsur Pemerintah Pusat; unsur tentara nasional Indonesia, kepolisian negara Republik Indonesia, dan aparatur sipil negara, atau purnawirawan/pensiunan," bunyi pasal 47 ayat (2) RUU HIP dalam salinan yang diterima CNNIndonesia.com.
Namun, lembaga pemerhati hak asasi manusia (HAM), Imparsial meminta pemerintah meninjau ulang rencana pelibatan anggota perwira TNI-Polri aktif menjadi Dewan Pengarah BPIP. Pasalnya, keterlibatan TNI-Polri di BPIP dikhawatirkan hanya akan menyerupai wajah Orde Baru dan meninggalkan pemaknaan Pancasila.
Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri khawatir rencana itu justru akan memicu 'pendekatan sekuritisasi' dalam pemaknaan dan pembinaan ideologi pancasila kepada masyarakat.
"Di masa Orde Baru kan kayak gitu. Ada peninggalan makna Pancasila yang dikonstruksi kekuasaan Orde Baru. Dan secara praktik itu dilakukan melalui P4," kata dia.