ANALISIS

Tuntutan Reformasi Polri dan Budaya Buruk yang Sulit Digerus

CNN Indonesia
Sabtu, 30 Okt 2021 08:21 WIB
Perilaku buruk anggota polisi dari  bintara hingga jenderal yang terpampang beberapa waktu terakhir dinilai jadi sinyal genting daruratnya reformasi Polri.
Ilustrasi polisi sedang melakukan penertiban di Jakarta. (CNN Indonesia/ Damar Iradat)
Jakarta, CNN Indonesia --

Polisi tembak polisi; polisi pacaran di mobil dinas; polisi terlibat dalam perampokan mobil mahasiswa; polisi banting mahasiswa; polisi ditangkap saat pesta narkoba; korban pemukulan preman jadi tersangka polisi; polisi cabuli istri tersangka.

Itu semua merupakan sedikit contoh kasus dari banyak kabar buruk Korps Bhayangkara dalam satu dua bulan terakhir yang membuat geleng kepala rakyat Indonesia.

Beberapa bulan sebelum itu, dua perwira tinggi Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo diproses hukum lantaran terlibat dalam kasus suap buron Djoko Tjandra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perilaku buruk sejumlah oknum polisi dari pangkat tamtama hingga jenderal itu dianggap masyarakat sipil sebagai tanda sinyal genting daruratnya reformasi Polri. Hal yang salah satunya diejawantahkan publik lewat tagar #PercumaLaporPolisi dan sempat trending beberapa waktu lalu di media sosial.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebutkan beberapa di atas sudah menjadi model dan budaya di internal kepolisian. Ia menyebut peristiwa itu tidak bisa lagi disebut perbuatan oknum belaka.

"Jangan-jangan berbagai penyimpangan itu atau yang dibilang abuse itu sesuatu yang selama ini ada. Karena diturunkan dari senior ke junior, ada juga yang melihatnya sebagai modelling. Sudah jadi model bekerja sehingga muncul police culture yang kalau enggak diikuti malah aneh," ujar Adrianus kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (27/10).

"Alhasil kemudian kalau memang ini yang terjadi, ini bukan oknum. Ini adalah kecenderungan lembaga yang kebetulan saja ada beberapa orang ketahuan lalu mencuat dan dianggap oknum," sambung mantan anggota Ombudsman RI tersebut.

Adrianus mengatakan meski reformasi Polri sebagian besar sudah dijalankan pada aspek struktural dan instrumental, tapi masih ada persoalan laten yakin terkait kultur di dalam korps tersebut. Hal itu, menurut Adrianus, terlihat dari masih mengakarnya penyimpangan yang dilakukan.

Oleh karena itu, dirinya menilai langkah Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menyatakan penegakan hukum secara menyeluruh terhadap anggota yang melanggar menjadi evaluasi jangka pendek yang tepat.

Sementara untuk jangka panjang, lanjut Adrianus, adalah memperkuat beberapa regulasi dan penegakan kode etik serta penegakan hukum tanpa pandang bulu.

"Jangan sampai misalnya yang bawah saja kena, yang atas enggak," kata dia yang juga pernah menjadi anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tersebut.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini melebur jadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar, mengatakan upaya untuk melakukan reformasi dalam tubuh Polri secara fisik memang ada. Dia menilai saat ini secara kelembagaan Polri dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan masa orde baru.

"Akan tetapi, dari segi perilaku dan mental anggota masih cenderung belum banyak berubah," tulis Sarah dalam artikelnya bertajuk Evaluasi 10 Tahun Reformasi Polri yang diterbitkan 2016 silam.

Peneliti bidang keamanan politik BRIN tersebut mengizinkan agar pendapatnya dalam artikel itu dikutip CNNIndonesia.com,karena menurutnya masih relevan dengan kondisi 2021 ini.

Sarah menilai reformasi Polri yang masih berjalan secara konvensional bisa terlihat dari sejumlah indikasi, seperti belum ada sinkronisasi antara kebijakan dengan implementasi dan penerapan kebijakan masih bersifat atas ke bawah (top-down).

Mabes Polri, kata dia, hanya merumuskan konseptual secara sepihak sedangkan polisi di wilayah sekadar menjalankannya saja. Padahal, menurutnya di bawah kondisi masing-masing daerah selalu berbeda--baik kondisi wilayah, permasalahan, hingga pola gangguan keamanan.

Indikasi berikutnya yakni tumpang tindih kendali dalam pelaksanaan tugas rutin dengan amanat reformasi Polri; hingga tidak ada penghargaan dan sanksi bagi pelaksana upaya reformasi yang berhasil maupun yang tidak berhasil.

Oleh karena itu, terang Sarah, pekerjaan rumah utama Polri dalam membangun citra positif dan dukungan masyarakat adalah dengan kembali pada kemampuan mewujudkan polisi yang profesional.

Adapun indikatornya antara lain Polri yang ahli dan memiliki pengetahuan tentang kepolisian, tunduk pada ketentuan hukum dan sumpah jabatan, independen, tidak berpolitik dan berbisnis, serta akuntabel.

"Upaya-upaya ini tentu saja membutuhkan waktu serta kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah, DPR, internal Polri, dan dukungan masyarakat," tulis Sarah.

Di sisi lain, saat merespons temuan banyaknya pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian di lapangan baru-baru ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan anggotanya yang melanggar aturan harus segera diproses dengan tegas.

Buntut dari temuan itu, Listyo lantas menerbitkan surat telegram yang ditujukan untuk seluruh Kapolda di Indonesia. Telegram itu bernomor ST/2162/X/HUK2.9/2021 dan ditandatangani Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo atas nama Kapolri.

Aspek Kultural dalam Reformasi Polri

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER