Jakarta, CNN Indonesia --
Papa saya berambisi menjadi atlet badminton, namun memutuskan sekolah karena keterbatasan ekonomi saat itu. Tidak dipungkiri olahraga ini membutuhkan modal dari kantong sendiri.
Kakak saya, Aryanto Susanto, menjadi pertama yang berhasil jadi atlet nasional dengan masuk PB Djarum. Tetapi karena Peristiwa Mei 1998, kakak akhirnya memutuskan ke Palembang untuk meneruskan sekolah.
Lantaran ambisi Papa masih besar melihat salah satu anaknya jadi atlet dan melihat saya punya minat dan semangat, akhirnya saya yang mencoba melanjutkan perjuangan Papa dan kakak saya. Saya ingin mengangkat nama keluarga saat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski orang tua sangat berambisi memiliki anak yang jadi atlet, tetapi pilihan selalu diberikan kepada anak-anak. Jadi orang tua saya tidak mengekang, tetapi membantu mengarahkan.
Sejak saya memutuskan menjadi atlet dan tidak menempuh pendidikan, tentu saja banyak tantangannya. Salah satunya dipandang sebelah mata dan dianggap akan memiliki masa depan yang tidak jelas.
Namun keluarga selalu percaya saya tidak pernah menyerah dengan apapun hasil yang saya dapatkan. Dari situ makin timbul motivasi untuk bisa berhasil di badminton. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa berhasil dan mempunyai masa depan yang bagus di olahraga ini.
 Debby Susanto meneruskan cita-cita warisan sang ayah menjadi atlet badminton. (CNNIndonesia/Putra Tegar) |
Saya pergi ke Jakarta pada Juni 2004 setelah menyelesaikan ujian kelulusan SMP di Palembang. Di Jakarta saya ikut klub Tangkas selama 1,5 tahun.
Waktu itu saya ikut klub tetapi harus biaya sendiri seperti bayar tempat tinggal, makanan, asrama, serta pertandingan masih biaya sendiri. Selain itu, pelatih yang menangani saya saat itu sedang hamil sehingga latihan tidak intensif bahkan bisa dibilang seringkali latihan dan buat program latihan sendiri.
Di titik itu saya berpikir, 'Mau jadi apa saya kalau begini? Sudah meninggalkan pendidikan tetapi prestasi nanggung'. Di saat bersamaan Papa memberi pilihan, saya harus bisa berprestasi atau pulang ke Palembang.
Pada saat bersamaan saya membayangkan betapa berat beban orang tua harus membiayai saya selama di Jakarta, sedangkan mereka juga masih harus membiayai dua kakak dan satu adik. Terus bagaimana saya bisa pulang tanpa gelar apapun dan hanya membebani keluarga.
Dari situ saya bertekad harus berhasil dan tidak akan pulang sebelum mengangkat nama keluarga. Saya harus melakukan yang terbaik, termasuk latihan tiga kali lebih berat dibandingkan teman saya.
Saya bertekad masuk PB Djarum sehingga bisa meringankan beban orang tua dan demi mendapatkan hasil serta prestasi yang lebih baik. Dengan sarana dan fasilitas yang dibiayai, dalam arti tak perlu bayar makan, tempat tinggal, dan pertandingan, saya bisa fokus untuk prestasi.
Sebagai atlet yang masih usia belasan, yang tersulit adalah terus fokus pada hal yang diprioritaskan. Pergi ke Jakarta saat usia menginjak 15 tahun adalah masa krusial untuk menentukan pergaulan karena tanpa pengawasan penuh dari orang tua.
Saya juga harus bisa memotivasi diri untuk tak malas serta tetap fokus pada tujuan. Saya harus rela mengorbankan waktu untuk bermain bersama teman dan keluarga. Saya harus meninggalkan masa remaja dan dituntut harus hidup mandiri.
Saya akhirnya bisa masuk PB Djarum di awal 2006. Sebenarnya usia saya terbilang terlambat untuk berkarier di badminton, karena biasanya yang menekuni karier sebagai atlet sudah fokus terjun di usia 10 tahun.
Sedangkan saya sudah menginjak 15 tahun baru benar-benar fokus masuk klub. Pertama kali masuk klub saya bahkan bisa dibilang lawan anak 12 tahun saja kalah dan tak bisa mengimbangi.
Di titik itu, saya berusaha kerja ekstra keras melebihi yang lain untuk mengejar ketertinggalan saya. Perlahan hal itu semua terbukti ketika di 2006 saat sudah masuk PB Djarum saya sudah bisa juara Kejurnas dan tahun 2008 sudah bisa masuk Pelatnas Pratama.
Kalau dipikir-pikir, dalam waktu sangat singkat, hanya dalam empat tahun di Jakarta saya sudah bisa masuk pelatnas PBSI. Padahal saya terbilang telat dari segi usia. Hal itu membuktikan bahwa kerja keras yang ekstra dibandingkan lain bisa terbayarkan dan tak sia-sia.
[Gambas:Video CNN]
Sejak awal saya memang tidak bermain di sektor tunggal putri dan lebih tertarik ke nomor ganda campuran. Di ganda putri, saya juga kurang minat karena tak terlalu suka dengan ritme permainannya. Saya suka ritme permainan yang cepat dan itu saya dapatkan di nomor ganda campuran.
Tetapi saya pertama kali dipanggil Pelatnas setelah menjuarai Asia Junior di sektor ganda putri ketika masih berstatus pemain klub PB Djarum. Namun karena saat itu belum siap, saya tidak mengambil kesempatan tersebut.
Saya memilih tetap di klub sampai akhir tahun bisa juara Kejurnas dan akhirnya mengikuti panggilan seleksi nasional untuk masuk pelatnas.
Masuk sebagai pemain muda di pelatnas, kesan pertama saya takut dan tegang. Karena semua yang di sana senior dan tidak kenal. Jadi awal-awal itu tegang banget mau, lewat saja kalau bisa muter jauh jadi tidak ada orang. Begitu juga waktu makan, belakangan menunggu senior sudah selesai makan.
Terus juga ada perasaan minder di awal karena merasa jauh banget perbedaan kemampuan saya dengan senior. Tetapi hal itu juga jadi acuan, saya harus bisa pelan-pelan menyamakan kemampuan dengan senior. Waktu pertama masuk, sepertinya seram semuanya namun seiring berjalan waktu semuanya baik.
Saya melihat Kak Richard Mainaky, pelatih ganda campuran sebagai sosok yang sangat disiplin. Tetapi di saat bersamaan, Kak Richard bersedia tukar pikiran secara terbuka dengan atlet. Kak Richard juga sosok yang selalu 100 persen turun tangan langsung ke lapangan
Pada saat pratama, saya masih di ganda putri berpasangan dengan Komala Dewi sedangkan di ganda campuran pasangan saya belum tetap. Ketika promosi ke utama, saya dikasih kesempatan dan kepercayaan berpasangan dengan Kak Muhammad Rijal.
Awalnya pasti canggung karena saya juga tidak terlalu kenal dan Kak Rijal sudah termasuk pemain senior serta pernah juara. Di awal tentu butuh penyesuaian dan saya banyak berterima kasih pada Kak Rijal karena bisa sabar menghadapi dan membimbing hingga komunikasi kami berjalan baik.
Banyak suka-duka berpasangan dengan Kak Rijal, banyak kegagalan yang dilewati. Tapi juga bisa mendapat hal yang sesuai keinginan seperti juara SEA Games, juara di beberapa turnamen dan beberapa kali bisa menginjak semifinal All England dan super series. Saat itu persaingan tiap negara sangat ketat dan menembus perempat final sangat susah.
Terkait SEA Games 2013, banyak hal yang terjadi karena saya hampir saja berpasangan dengan pemain lain di hari terakhir dengan beban target tetap medali emas. Saat itu, Kak Rijal sedang mengalami krisis percaya diri dan memutuskan ingin mundur.
Kak Rijal merasa sudah cukup dan ingin mundur dari PBSI. Sedangkan saya masih mengejar Olimpiade yang jadi tujuan utama saya selama berkarier di badminton.
Kak Richard terus percaya pada kami dengan segala risiko sehingga kami tetap berangkat ke SEA Games. Saya dan Kak Rijal sudah memutuskan SEA Games adalah pertandingan perpisahan untuk kami berdua. Kami akhirnya berangkat dengan tekad ingin memberikan yang terbaik dan melanjutkan tradisi emas SEA Games di ganda campuran yang tak pernah putus. Puji Tuhan, kami mendapatkan hadiah perpisahan yang indah dengan medali emas.
Menang All England
Saya melihat Praveen Jordan sebagai anak yang punya talenta dan bakat alami yang sangat bagus dibandingkan dengan pemain pria ganda campuran yang pernah saya temui. Tetapi duet bersama Jordan juga jadi tantangan besar karena dia masih muda dan butuh proses pendewasaan. Butuh kerja keras untuk menjadikan dia sebagai pribadi yang disiplin serta memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.
Saya merasa punya keyakinan besar saat mulai berduet dengan Praveen, tetapi saya tahu bahwa hal itu tidak akan mudah mengingat posisi saya sekarang terbalik. Saya yang harus jadi sosok pembimbing untuk Jordan yang lebih junior.
Praveen masih muda dan belum terlalu terbiasa dengan kedisiplinan Kak Richard dan langsung diberi beban mendapatkan hasil baik dalam waktu singkat. Tetapi seiring berjalan waktu, Praveen lebih dewasa, lebih bisa berkomitmen dan bertanggung jawab sehingga dalam waktu singkat kami bisa masuk dalam delapan besar dunia.
[Gambas:Video CNN]
Menjadi juara All England 2016 sangat berkesan. Saya sudah beberapa kali ikut All England dan beberapa kali terhenti di babak semifinal dan sering melihat partai final sebagai penonton.
Dalam hati saya selalu bertekad dan bertanya seperti apa rasanya bisa bermain sampai hari terakhir. Seperti apa rasanya main di final All England, dan kapan bisa naik podium All England. Jadi pada saat itu semua terwujud rasanya pasti sangat bangga dan senang karena impian saya bisa terwujud. Nama saya terukir di trofi All England.
Di All England 2016, kami sempat menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei yang merupakan tantangan tersulit. Mereka selalu tampil luar biasa sepanjang tahun dan hampir tidak pernah terkalahkan. Hal itu yang justru membuat kami jadi sangat ingin merasakan kemenangan atas mereka.
Kami sangat termotivasi dan hal itu membuat kami sangat menikmati tiap detik pertandingan. Saya masih mengenang pertemuan itu dengan baik karena kami mengalami perasaan luar biasa senang lantaran bisa menang setelah tujuh pertemuan melawan mereka.
Setelah memastikan lolos ke final, perasaan saya tegang karena tinggal satu langkah lagi kami bisa jadi juara. Apalagi di beberapa pertandingan terakhir menghadapi Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen, kami selalu menang.
Situasi jadi campur aduk karena ada perasaan yakin menang, tetapi di saat bersamaan juga was-was dan berusaha selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak terlalu percaya diri dan fokus di setiap poin.
Setelah akhirnya bisa jadi juara, saya ingat sekali pas mau tidur, saya berdoa dan saya masih tak percaya kalau saya diberi kesempatan untuk menjadi juara dan berdiri di podium tertinggi All Engand. Pada kesempatan itu, tentu saya juga berterima kasih pada Tuhan untuk rezeki yang diberikan.
Kemenangan di All England membuat saya punya keyakinan bahwa saya punya kemampuan untuk bersaing dengan pasangan top lain dan hal itu jadi bekal yang baik untuk menuju Olimpiade.
Perjalanan di Olimpiade 2016 pasti tidak mudah karena terasa lebih berat dan menegangkan dibandingkan pertandingan lain. Karena tiap atlet menanti Olimpiade empat tahun sekali dan sangat sulit untuk bisa ikut mewakili Indonesia.
Saya merasa bahwa penampilan saya dan Jordan di Olimpiade sudah baik, tetapi memang keberuntungan belum digariskan untuk saya. Di sisi lain Owi/Butet tampil brilian sejak partai pertama hingga final hampir sempurna tanpa cela, seakan memang sudah digariskan inilah saatnya mereka menjadi juara Olimpiade.
Dalam duel lawan Owi/Butet di perempat final, kami coba lebih fokus dibandingkan pertemuan sebelumnya. Kami berusaha tampil sebaik mungkin dan mengeluarkan semua kemampuan yang kami miliki saat itu.
Perasaan saat pertandingan selesai saat itu saya sedih luar biasa, jujur saya menangis saat itu. Karena saya tahu bahwa itu adalah Olimpiade terakhir saya dan di sana ada kekecewaan. Tetapi di saat bersamaan saya puas dan tidak merasa gagal karena saya sudah mencoba yang terbaik versi saya.
[Gambas:Video CNN]
Saya juga punya perasaan bersyukur karena saya diberi kesempatan untuk bisa bermain di Olimpiade yang menjadi mimpi saya sejak pertama kali memutuskan terjun di badminton. Bermain di Olimpiade tentu merupakan mimpi semua atlet badminton.
Berada di generasi yang sama dengan Liliyana Natsir tentu punya kesan tersendiri.
Sejak masuk nomor ganda campuran, saya masih anak bawah, masih sering kalah, dan saya merasa skill saya masih sangat jauh dengan semua senior saya. Tetapi saya selalu memasang target saya harus bisa pelan-pelan mengejar Ci Butet, paling tidak saya harus ada tepat di bawah Ci Butet. Itu motivasi yang membuat saya latihan 2-3 kali lebih banyak dibandingkan yang lain setiap harinya selama bertahun-tahun.
Saya sangat menghormati Ci Butet sebagai sosok senior dan juga sebagai teman. Menurut saya, Ci Butet memiliki karakter yang sangat baik dan patut ditiru oleh siapapun. Kalau kalah dari Ci Butet, saya tdak kesal tetapi hal itu malah menjadikan saya lebih termotivasi lagi untuk bisa mengalahkan Ci Butet.
Saya juga berterimakasih karena Ci Butet, saya juga selalu termotivasi untuk terus bekerja keras dan menjadi pribadi yang tak gampang menyerah, punya jiwa tak mau kalah, walau hanya di latihan sehari-hari.
Memilih Pensiun
Setelah Olimpiade, saya tidak lagi mengejar target untuk Olmpiade selanjutnya karena saya juga memiliki prioritas lain sebagai wanita versi saya, yaitu berkeluarga. Apalagi saat itu saya sudah memiliki pasangan selama 10 tahun dengan beda usia cukup jauh.
Saya ingat betul pernah ngobrol sama Kak Richard dan dia pernah berpesan bahwa dia ingin melihat saya berhasil bukan hanya di badminton tetapi juga setelah keluar PBSI. Saat berkeluarga, memiliki suami dan anak, hidup harmonis sampai tua itu adalah sebuah keberhasilan hidup yang sesungguhnya. Saya ingin berhasil di kedua hal tersebut.
 Debby Susanto kini bahagia membina keluarga. (CNN Indonesia/ M. Arby Rahmat) |
Saya lalu memutuskan hanya bermain sampai Asian Games dan jalan terbaik adalah berpisah dengan Praveen supaya dia bisa mengumpulkan poin dan mengejar ranking secepatnya untuk Olimpiade 2020.
Secara garis besar, saya puas dengan apa yang saya lakukan selama jadi atlet. Karena saya tidak hanya mengukur keberhasilan seseorang dari hasil saja tetapi dari perjalanan dan perjuangannya.
Seringkali saya mengalami kegagalan, down, dan kecewa. Tetapi saya puas karena tidak menyerah dengan apapun keadaan, baik sedang down, krisis percaya diri, cedera. Saya tidak menyerah dan terus berjuang sebaik-baiknya sampai titik terakhir saya memutuskan berhenti.
Saya bangga dengan apa yang saya lakukan, karena saya tahu dibandingkan dengan yang lain, bakat saya biasa saja tidak sebaik yang lain. Postur tubuh saya juga kecil. Tetapi saya punya motivasi dan semangat, sifat tak mau kalah dan kerja keras yang lebih dibandingkan yang lain. Hal itu menjadikan saya pribadi yang kuat dan bisa membawa saya pada titik-titik yang bisa saya capai selama bermain.
Sehingga ketika saya pensiun saat ini, saya tak punya penyesalan karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan yang terbaik yang saya bisa.