TESTIMONI

Debby Susanto: Warisan Cita-cita Papa dan Tangisan Olimpiade

Debby Susanto | CNN Indonesia
Rabu, 20 Jan 2021 19:16 WIB
Tangisan usai kekalahan di Olimpiade 2016 dan sukses di All England 2016 menjadi cerita yang tidak terlupakan dalam Testimoni Debby Susanto.
Debby Susanto memutuskan pensiun pada 2019. (AFP/CHANDAN KHANNA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Papa saya berambisi menjadi atlet badminton, namun memutuskan sekolah karena keterbatasan ekonomi saat itu. Tidak dipungkiri olahraga ini membutuhkan modal dari kantong sendiri.

Kakak saya, Aryanto Susanto, menjadi pertama yang berhasil jadi atlet nasional dengan masuk PB Djarum. Tetapi karena Peristiwa Mei 1998, kakak akhirnya memutuskan ke Palembang untuk meneruskan sekolah.

Lantaran ambisi Papa masih besar melihat salah satu anaknya jadi atlet dan melihat saya punya minat dan semangat, akhirnya saya yang mencoba melanjutkan perjuangan Papa dan kakak saya. Saya ingin mengangkat nama keluarga saat itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski orang tua sangat berambisi memiliki anak yang jadi atlet, tetapi pilihan selalu diberikan kepada anak-anak. Jadi orang tua saya tidak mengekang, tetapi membantu mengarahkan.

Sejak saya memutuskan menjadi atlet dan tidak menempuh pendidikan, tentu saja banyak tantangannya. Salah satunya dipandang sebelah mata dan dianggap akan memiliki masa depan yang tidak jelas.

Namun keluarga selalu percaya saya tidak pernah menyerah dengan apapun hasil yang saya dapatkan. Dari situ makin timbul motivasi untuk bisa berhasil di badminton. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa berhasil dan mempunyai masa depan yang bagus di olahraga ini.

Debby Susanto (ganda campuran)Debby Susanto meneruskan cita-cita warisan sang ayah menjadi atlet badminton. (CNNIndonesia/Putra Tegar)

Saya pergi ke Jakarta pada Juni 2004 setelah menyelesaikan ujian kelulusan SMP di Palembang. Di Jakarta saya ikut klub Tangkas selama 1,5 tahun.

Waktu itu saya ikut klub tetapi harus biaya sendiri seperti bayar tempat tinggal, makanan, asrama, serta pertandingan masih biaya sendiri. Selain itu, pelatih yang menangani saya saat itu sedang hamil sehingga latihan tidak intensif bahkan bisa dibilang seringkali latihan dan buat program latihan sendiri.

Di titik itu saya berpikir, 'Mau jadi apa saya kalau begini? Sudah meninggalkan pendidikan tetapi prestasi nanggung'. Di saat bersamaan Papa memberi pilihan, saya harus bisa berprestasi atau pulang ke Palembang.

Pada saat bersamaan saya membayangkan betapa berat beban orang tua harus membiayai saya selama di Jakarta, sedangkan mereka juga masih harus membiayai dua kakak dan satu adik. Terus bagaimana saya bisa pulang tanpa gelar apapun dan hanya membebani keluarga.

Dari situ saya bertekad harus berhasil dan tidak akan pulang sebelum mengangkat nama keluarga. Saya harus melakukan yang terbaik, termasuk latihan tiga kali lebih berat dibandingkan teman saya.

Saya bertekad masuk PB Djarum sehingga bisa meringankan beban orang tua dan demi mendapatkan hasil serta prestasi yang lebih baik. Dengan sarana dan fasilitas yang dibiayai, dalam arti tak perlu bayar makan, tempat tinggal, dan pertandingan, saya bisa fokus untuk prestasi.

Sebagai atlet yang masih usia belasan, yang tersulit adalah terus fokus pada hal yang diprioritaskan. Pergi ke Jakarta saat usia menginjak 15 tahun adalah masa krusial untuk menentukan pergaulan karena tanpa pengawasan penuh dari orang tua.

GIF Banner Promo Testimoni

Saya juga harus bisa memotivasi diri untuk tak malas serta tetap fokus pada tujuan. Saya harus rela mengorbankan waktu untuk bermain bersama teman dan keluarga. Saya harus meninggalkan masa remaja dan dituntut harus hidup mandiri.

Saya akhirnya bisa masuk PB Djarum di awal 2006. Sebenarnya usia saya terbilang terlambat untuk berkarier di badminton, karena biasanya yang menekuni karier sebagai atlet sudah fokus terjun di usia 10 tahun.

Sedangkan saya sudah menginjak 15 tahun baru benar-benar fokus masuk klub. Pertama kali masuk klub saya bahkan bisa dibilang lawan anak 12 tahun saja kalah dan tak bisa mengimbangi.

Di titik itu, saya berusaha kerja ekstra keras melebihi yang lain untuk mengejar ketertinggalan saya. Perlahan hal itu semua terbukti ketika di 2006 saat sudah masuk PB Djarum saya sudah bisa juara Kejurnas dan tahun 2008 sudah bisa masuk Pelatnas Pratama.

Kalau dipikir-pikir, dalam waktu sangat singkat, hanya dalam empat tahun di Jakarta saya sudah bisa masuk pelatnas PBSI. Padahal saya terbilang telat dari segi usia. Hal itu membuktikan bahwa kerja keras yang ekstra dibandingkan lain bisa terbayarkan dan tak sia-sia.

[Gambas:Video CNN]

Sejak awal saya memang tidak bermain di sektor tunggal putri dan lebih tertarik ke nomor ganda campuran. Di ganda putri, saya juga kurang minat karena tak terlalu suka dengan ritme permainannya. Saya suka ritme permainan yang cepat dan itu saya dapatkan di nomor ganda campuran.

Tetapi saya pertama kali dipanggil Pelatnas setelah menjuarai Asia Junior di sektor ganda putri ketika masih berstatus pemain klub PB Djarum. Namun karena saat itu belum siap, saya tidak mengambil kesempatan tersebut.

Saya memilih tetap di klub sampai akhir tahun bisa juara Kejurnas dan akhirnya mengikuti panggilan seleksi nasional untuk masuk pelatnas.

Masuk sebagai pemain muda di pelatnas, kesan pertama saya takut dan tegang. Karena semua yang di sana senior dan tidak kenal. Jadi awal-awal itu tegang banget mau, lewat saja kalau bisa muter jauh jadi tidak ada orang. Begitu juga waktu makan, belakangan menunggu senior sudah selesai makan.

Terus juga ada perasaan minder di awal karena merasa jauh banget perbedaan kemampuan saya dengan senior. Tetapi hal itu juga jadi acuan, saya harus bisa pelan-pelan menyamakan kemampuan dengan senior. Waktu pertama masuk, sepertinya seram semuanya namun seiring berjalan waktu semuanya baik.

Juara di All England

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER