LIPUTAN KHUSUS

MMA, Adu Ilmu Jotos dan Piting Kembali Naik Daun

Nova Arifianto | CNN Indonesia
Kamis, 28 Jan 2021 08:15 WIB
Meski naa Khabin Nurmagomedov atau Conor McGregor mendunia, ajang MMA membutuhkan waktu cukup lama untuk menjejakkan kaki di Indonesia.
MMA sudah dikenal di Indonesia sejak awal 2000-an. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Tanpa tayangan tersebut, MMA di Indonesia seperti mandek mendadak lantaran tak ada lagi ajang yang memicu atlet-atlet lokal untuk bertarung pamer kekuatan.

Meski demikian, para petarung sebenarnya masih bergerilya, berupaya menghidupkan gairah dalam lingkup yang lebih kecil dan tanpa sorotan kamera.

"Jadi dulu sebenarnya ada pertarungan. Itu antara satu camp lawan camp lain. Kalau ada fighter yang berada di kelas yang sama dan memang mau bertarung, ya sudah datang saja bertarung," ujar Zuli Silawanto, salah satu mantan petarung yang sudah berkecimpung di MMA sejak awal 2000-an.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ya kami main di camp, ditonton banyak orang, tetapi memang enggak ada televisi. Banyak juga bule yang menonton. Bahkan ya [bertarung] enggak dibayar," sambung Zuli yang kini menjadi pelatih di Sasana Tiger Shark.

Cara menggelorakan semangat MMA tak hanya dimunculkan dalam bentuk pertarungan. Komunitas-komunitas juga menggelar acara dan pelatihan, termasuk menggaet nama-nama yang sudah lama malang melintang di blantika MMA Indonesia seperti Fransino Tirta, Max Metino, dan Suwardi.

"Saya sempat tertarik ikut TPI Fighting Championship. Saya sudah masuk sasana, menyiapkan diri, eh acaranya tutup. Ya sudah menganggur. Kemudian saya, Max, dan Frans coba mengembangkan di Indonesia. Jadi dari 2004 kami ke berbagai kota coba mengembangkan kayak 'babat alas', biar MMA ini menyebar. Jadi begitu ada kompetisi harapannya sudah banyak yang tahu dan ikut," kata Suwardi yang kini tenar dengan julukan Becak Lawu.

Strategi lain yang digunakan pegiat-pegiat MMA di Indonesia untuk menghidupkan olahraga bela diri campuran adalah dengan memperkenalkan sekaligus membuat kejuaraan beberapa bela diri yang lazim digunakan di MMA secara terpisah.

Tiap bulan rutin digelar ajang-ajang seperti Siam Saturday Fight atau Siam Sparring Fight. Levelnya memang bukan di tingkat nasional, tapi setidaknya membuat aliran darah tarung bebas tidak terhenti.

Wasit menyaksikan dua petarung dalam pertandingan MMA One Pride. Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2020. CNNIndonesia/Adhi Wicaksono.Atlet MMA sedang berduel dalam sebuah pertarungan bawah atau ground fighting. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Empat tahun belakangan, seiring MMA yang kembali mendapat perhatian publik karena kembali tayang di televisi, atlet-atlet pun mulai getol beraksi.

"Sebelum One Pride ada, MMA belum terkenal. Begitu ada, nah itu atmosfer berubah. Semua fokus ke sana [MMA]," ucap salah satu pemilik sasana MMA di Jakarta, Yoko Arthi Budiman.

Mengadakan sebuah pertarungan MMA membutuhkan banyak syarat dan penyelenggara dipastikan menanggung repot, terlebih jika mencapai level nasional.

Berbagai aspek seperti perangkat pertarungan, lokasi, hingga keselamatan atlet menjadi hal vital yang harus benar-benar diperhitungkan mengingat MMA memiliki risiko yang tidak bisa dianggap sepele.

"Kami punya standar yang tinggi dalam membuat suatu peraturan. Yang kita utamakan tentu keselamatan fighter," ucap Ardi Bakrie, Ketua Komite Olahraga Beladiri Indonesia (KOBI) yang saat ini menaungi program acara MMA One Pride di salah satu televisi swasta nasional.

"Selain mengikuti peraturan internasional, kami juga mengadakan suatu pelatihan kepada para wasit dan juri. Bagaimana caranya kami ingin selalu menjaga mutu kualitas fighter dan keselamatan fighter," sambungnya.

GIF Banner Promo Testimoni

Iming-iming masuk televisi dan mengangkat sabuk juara sebagai tanda kesuksesan menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang yang mencoba peruntungan sebagai fighter.

Selain televisi, media sosial juga menjadi ajang persebaran popularitas MMA. Tak heran jika sasana-sasana MMA bermunculan di berbagai daerah.

Salah seorang petarung, Jeremy Meciaz, mulai membangun sasana untuk beragam ilmu bela diri termasuk MMA di Solo, Jawa Tengah. Menurut Jeremy, animo di daerah tersebut cukup tinggi, sehingga dia berani mendirikan sasana.

"Selain banyak atlet dari Solo yang sukses di MMA, sebelumnya tahun 2005 hingga 2014 itu kalau acara MMA kami rebutan main, karena MMA itu hanya dipertandingkan secara ekshibisi. Misal 30 partai kickboxing hanya ada tiga MMA-nya," ujar Jeremy.

Selain membeludak secara kuantitas, kualitas fighter-fighter lokal pun terkatrol. Dibanding ketika booming pertama pada awal milenium, atlet-atlet MMA saat ini dinilai memiliki kemampuan teknik yang lebih matang. Mereka tak lagi sekadar mencontek UFC.

"Dulu untuk mencari pelatih MMA itu sulit. Yang ada mereka (para pelatih) datang dari latar belakang boxing, dari kickboxing, dari gulat, yang mencoba mengembangkan diri di MMA. Mengembangkan sendiri jadinya," ujar Zuli membandingkan kemudahan fasilitas berlatih MMA pada awal 2000-an dengan sekarang.

"Tapi kalau sekarang beda. Yang mau latihan MMA ya sekarang tinggal datang ke tempat latihan yang sudah komplet latihan MMA-nya. Secara teknis lebih mudah didapat." 

(vws/vws)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER