Jakarta, CNN Indonesia --
Olahraga seni bela diri campuran atau mixed martial arts (MMA) mulai mencuri perhatian khalayak di Indonesia, baik melalui pertarungan yang disiarkan di televisi nasional, maupun lewat nama-nama tenar seperti Khabib Nurmagomedov atau Conor McGregor.
MMA sebenarnya bukan olahraga baru di Indonesia. Jauh sebelum nama Khabib dan McGregor populer menjadi kata kunci dalam mesin pencari di internet, MMA sudah lebih dulu hadir sekitar dua dasawarsa lalu atau di awal milenium kedua. Ketenaran MMA saat itu terdorong oleh medium layar kaca.
Namun Indonesia bisa dibilang telat mengenal olahraga ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di luar negeri, MMA sudah lebih dulu menarik minat banyak orang. Brasil, Jepang, dan Amerika Serikat masuk kategori negara-negara perintis dan sudah memproduksi banyak acara MMA sejak 1980-an.
Olahraga yang juga kadang disebut dengan nama 'cage fighting' ini tak muncul begitu saja. Pencampuran beragam seni bela diri hingga berevolusi jadi MMA memakan proses panjang.
MMA bahkan disebut-sebut muncul sejak zaman peradaban kuno seperti di Yunani, China, dan Mesir dengan berbagai nama dan versi di tempat masing-masing.
Seiring perpindahan orang-orang dengan membawa budaya masing-masing ke tempat baru, akulturasi ilmu baku hantam pun tak terhindarkan. Perpaduan ragam bela diri terjadi dari waktu ke waktu, lintas periode, hingga masuk ke zaman modern.
Kemunculannya antara lain dibentuk dari duel adu sakti antar ilmu bela diri.
Brazilian Jiu Jitsu (BJJ) yang dibesarkan pada abad 20 oleh keluarga Gracie merupakan salah satu contoh olahraga yang lahir dari perpaduan dua aliran bela diri. BBJ pun di kemudian hari berperan besar dalam mempopulerkan MMA.
 MMA di Indonesia kembali mendapat perhatian khalayak lantaran sebuah tayangan program televisi. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain BJJ, dongkrak penting MMA pada masa yang sama adalah kehadiran Bruce Lee dengan Jeet Kune Do dan duel lintas disiplin antara kampiun tinju dunia Muhammad Ali melawan pegulat Antonio Inoki.
Berbagai ajang pertarungan lintas ilmu bela diri yang muncul pada dua dekade akhir 1900-an kian membuat MMA mendapat tempat di hati pecinta olahraga bela diri.
MMA Masuk Indonesia
Istilah MMA sendiri disinyalir baru muncul pada pertengahan 1990-an. Terlepas dari ketidakjelasan siapa orang pertama yang mencuatkan kata tersebut, MMA secara gamblang kini diartikan sebagai bela diri campuran yang terdiri dari pertarungan atas dan pertarungan bawah termasuk bantingan.
Tinju, karate, muaythai, kickboxing, taekwondo, atau sanshou (sanda) adalah pilihan olahraga yang biasanya dimiliki petarung MMA untuk menghadapi stand fighting.
Sementara untuk ground fighting dan takedown, seorang atlet dituntut menguasai jurus-jurus BJJ, sambo, judo, dan beragam varian gulat.
[Gambas:Video CNN]
Aksi para fighter MMA di dalam ring, cage, atau octagon yang mendemonstrasikan kebolehan beradu pukul, tendang, piting, dan gelut kemudian menjadi tontonan baru bagi orang-orang Indonesia pada tahun 2000-an.
Ultimate Fighting Championship (UFC), Pride Fighting Championship (Pride FC) dan K-1 lebih dulu diimpor stasiun televisi nasional. Baru kemudian versi Indonesia muncul dengan tajuk TPI Fighting Championship atau Duel RCTI.
Program-program tersebut kemudian jadi alternatif tayangan olahraga bela diri di televisi swasta nasional selain tinju dan gulat profesional yang saat itu masih menjadi primadona.
"Salah satu direktur kami, Pak Agus, penggemar MMA. Lalu Pak Agus membeli tayangan MMA. UFC, Pride, K-1, itulah awal-awalnya. Dalam perkembangan selanjutnya kemudian kami melihat bukan enggak mungkin memproduksi tayangan seperti ini, lalu kami cari afiliasi yang pas untuk tayangan seperti ini," ujar mantan produser Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Eric Tamalagi.
Dua dasawarsa lalu Eric dipercaya memegang program TPI Fighting Championship.
"Waktu kami bikin TPI Fighting Championship, kami kewalahan. Karena ini panggung baru dan semua orang belum bisa membedakan MMA itu. Ya jadi dari yang punya prestasi pernah membawa nama Indonesia di pertarungan tingkat SEA Games, Asian Games itu ikut. Sampai kepada mereka yang cuma sampai jagoan di lingkungan," sambungnya mengenai animo pendaftar acara MMA lokal pertama berskala nasional di Indonesia.
Umur pertarungan MMA Indonesia di stasiun televisi swasta nasional tidak lama. Keharusan tayang tiap pekan, demi mendulang rating, berlawanan dengan protokol kesehatan atlet MMA.
Petarung memang tidak boleh tampil dalam jarak waktu berdekatan. Setelah bertarung mereka membutuhkan waktu hitungan pekan atau bahkan bulan demi pemulihan kondisi.
Selain itu kasus keributan penonton juga menjadi pemicu acara MMA yang disiarkan di stasiun televisi nasional diputus tayang.
Tanpa tayangan tersebut, MMA di Indonesia seperti mandek mendadak lantaran tak ada lagi ajang yang memicu atlet-atlet lokal untuk bertarung pamer kekuatan.
Meski demikian, para petarung sebenarnya masih bergerilya, berupaya menghidupkan gairah dalam lingkup yang lebih kecil dan tanpa sorotan kamera.
"Jadi dulu sebenarnya ada pertarungan. Itu antara satu camp lawan camp lain. Kalau ada fighter yang berada di kelas yang sama dan memang mau bertarung, ya sudah datang saja bertarung," ujar Zuli Silawanto, salah satu mantan petarung yang sudah berkecimpung di MMA sejak awal 2000-an.
"Ya kami main di camp, ditonton banyak orang, tetapi memang enggak ada televisi. Banyak juga bule yang menonton. Bahkan ya [bertarung] enggak dibayar," sambung Zuli yang kini menjadi pelatih di Sasana Tiger Shark.
Cara menggelorakan semangat MMA tak hanya dimunculkan dalam bentuk pertarungan. Komunitas-komunitas juga menggelar acara dan pelatihan, termasuk menggaet nama-nama yang sudah lama malang melintang di blantika MMA Indonesia seperti Fransino Tirta, Max Metino, dan Suwardi.
"Saya sempat tertarik ikut TPI Fighting Championship. Saya sudah masuk sasana, menyiapkan diri, eh acaranya tutup. Ya sudah menganggur. Kemudian saya, Max, dan Frans coba mengembangkan di Indonesia. Jadi dari 2004 kami ke berbagai kota coba mengembangkan kayak 'babat alas', biar MMA ini menyebar. Jadi begitu ada kompetisi harapannya sudah banyak yang tahu dan ikut," kata Suwardi yang kini tenar dengan julukan Becak Lawu.
Strategi lain yang digunakan pegiat-pegiat MMA di Indonesia untuk menghidupkan olahraga bela diri campuran adalah dengan memperkenalkan sekaligus membuat kejuaraan beberapa bela diri yang lazim digunakan di MMA secara terpisah.
Tiap bulan rutin digelar ajang-ajang seperti Siam Saturday Fight atau Siam Sparring Fight. Levelnya memang bukan di tingkat nasional, tapi setidaknya membuat aliran darah tarung bebas tidak terhenti.
 Atlet MMA sedang berduel dalam sebuah pertarungan bawah atau ground fighting. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Empat tahun belakangan, seiring MMA yang kembali mendapat perhatian publik karena kembali tayang di televisi, atlet-atlet pun mulai getol beraksi.
"Sebelum One Pride ada, MMA belum terkenal. Begitu ada, nah itu atmosfer berubah. Semua fokus ke sana [MMA]," ucap salah satu pemilik sasana MMA di Jakarta, Yoko Arthi Budiman.
Mengadakan sebuah pertarungan MMA membutuhkan banyak syarat dan penyelenggara dipastikan menanggung repot, terlebih jika mencapai level nasional.
Berbagai aspek seperti perangkat pertarungan, lokasi, hingga keselamatan atlet menjadi hal vital yang harus benar-benar diperhitungkan mengingat MMA memiliki risiko yang tidak bisa dianggap sepele.
"Kami punya standar yang tinggi dalam membuat suatu peraturan. Yang kita utamakan tentu keselamatan fighter," ucap Ardi Bakrie, Ketua Komite Olahraga Beladiri Indonesia (KOBI) yang saat ini menaungi program acara MMA One Pride di salah satu televisi swasta nasional.
"Selain mengikuti peraturan internasional, kami juga mengadakan suatu pelatihan kepada para wasit dan juri. Bagaimana caranya kami ingin selalu menjaga mutu kualitas fighter dan keselamatan fighter," sambungnya.
Iming-iming masuk televisi dan mengangkat sabuk juara sebagai tanda kesuksesan menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang yang mencoba peruntungan sebagai fighter.
Selain televisi, media sosial juga menjadi ajang persebaran popularitas MMA. Tak heran jika sasana-sasana MMA bermunculan di berbagai daerah.
Salah seorang petarung, Jeremy Meciaz, mulai membangun sasana untuk beragam ilmu bela diri termasuk MMA di Solo, Jawa Tengah. Menurut Jeremy, animo di daerah tersebut cukup tinggi, sehingga dia berani mendirikan sasana.
"Selain banyak atlet dari Solo yang sukses di MMA, sebelumnya tahun 2005 hingga 2014 itu kalau acara MMA kami rebutan main, karena MMA itu hanya dipertandingkan secara ekshibisi. Misal 30 partai kickboxing hanya ada tiga MMA-nya," ujar Jeremy.
Selain membeludak secara kuantitas, kualitas fighter-fighter lokal pun terkatrol. Dibanding ketika booming pertama pada awal milenium, atlet-atlet MMA saat ini dinilai memiliki kemampuan teknik yang lebih matang. Mereka tak lagi sekadar mencontek UFC.
"Dulu untuk mencari pelatih MMA itu sulit. Yang ada mereka (para pelatih) datang dari latar belakang boxing, dari kickboxing, dari gulat, yang mencoba mengembangkan diri di MMA. Mengembangkan sendiri jadinya," ujar Zuli membandingkan kemudahan fasilitas berlatih MMA pada awal 2000-an dengan sekarang.
"Tapi kalau sekarang beda. Yang mau latihan MMA ya sekarang tinggal datang ke tempat latihan yang sudah komplet latihan MMA-nya. Secara teknis lebih mudah didapat."