Shinta Ainni Fathurrahmi adalah pendobrak tabu. Ia yang membuka tabir bagi atlet voli putri nasional bahwa menggunakan hijab bukan sebuah masalah.
Kisah itu terjadi menjelang Proliga 2016. Dara kelahiran Bekasi, Jawa Barat, 21 September 1992 ini awalnya gundah gulana. Dalam keseharian ia menggunakan hijab, tetapi terpaksa menanggalkan kerudung penutup kepala itu ketika menggeluti olahraga kegemarannya, bola voli. Situasi itu dihadapi karena situasi dan kondisi voli belum ramah saat itu.
Sejatinya Shinta sudah sempat mengutarakan keinginan mengenakan hijab saat bermain voli pada 2008, yakni saat persiapan PON Kalimantan Timur. Namun, ketika itu belum ada jalan keluar soal hasrat terpendam tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain karena berhijab dalam voli belum umum, Shinta juga belum begitu memahami bagaimana mengenakan hijab yang baik dan tepat sehingga tidak mengganggu aktivitas saat bermain voli.
Lama-lama kelamaan, Shinta makin jengah. Ia merasa membohongi dirinya sendiri. Akhirnya, sebuah pengalaman spiritual membuatnya teguh dan yakin untuk tak lagi menanggalkan hijab selain di dalam rumah.
"Momen yang bikin saya benar-benar yakin itu waktu saya dampingi nenek saya sakit, kritis, dan akhirnya meninggal. Saya ikut mandiin, salatin, sampai waktu dikafankan saya bener-benar melihat prosesnya," kata Shinta kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/5).
"Yang di pikiran saya saat itu: saat saya kembali sama Sang Pencipta, saya berpenampilan dengan rapi dan aurat saya ditutup dengan baik, tapi kenapa waktu saya hidup saya enggak melakukan itu. Saya takut banget waktu itu kalau saya meninggal. Dari situ saya mantap untuk berhijab," ia mengisahkan.
![]() |
Shinta lantas mulai mengutarakan isi hati ke sejumlah kalangan, termasuk kekasih hatinya yang kini telah menjadi suami. Ia juga meminta pendapat beberapa pelatih yang mengajarinya bermain voli.
Semua pihak ternyata mendukung. Ganjalan agak berat rupanya datang dari orang tua. Ibu Shinta khawatir keputusannya berhijab malah membuat kariernya di lapangan berakhir. Namun, Shinta pada akhirnya bisa meyakinkan sang ibu.
Karena sudah mantap, Shinta pun pasrah jika nantinya dunia voli tak bisa menerimanya. Ia siap dengan konsekuensi pensiun dini dari dunia yang membesarkan namanya. Keyakinan itu telah teguh di relung hatinya.
Shinta mengisahkan, sebelum Proliga 2016 beberapa tim telah menghubungi. Namun, klub-klub itu mundur teratur setelah mendengar keinginan Shinta untuk berhijab. Beruntung, pada awal 2016 klub Gresik Petrokimia menerimanya.
Gresik Petrokimia bersedia memfasilitasi keinginan Shinta yang bermain voli dengan mengenakan jilbab. Sejak saat itu, jalan bagi para pemain voli putri menggunakan hijab mulai terbuka.
Hanya saja, cobaan rupanya belum selesai. Ibu satu anak ini dicibir beberapa rekannya sesama pevoli putri. Pada awalnya, Shinta pun canggung saat latihan dan tampil karena jadi satu dari dua pevoli putri yang mengenakan hijab saat tampil dalam Proliga 2016.
Dalam situasi yang kurang nyaman dan tertekan tersebut, Shinta sempat merasa risih. Tetapi, perasaan tersebut coba ia tepis jauh-jauh. Situasi menjadi sorotan itu ia ubah sebagai pijakan untuk tampil lebih baik.
"Alhamdulillah saya bisa buktikan. Saya jadi Best Setter di dalam Proliga 2016, tepat saat saya memutuskan untuk memakai jilbab di Proliga untuk pertama kalinya. Ini hadiah dari Allah buat saya," ucap Shinta.
Dalam karier voli, Shin menyebut satu nama sebagai inspirasi. Ia adalah mantan pelatih Jakarta Electric PLN, Tien Mei. Pelatih asal China tersebut mengubah banyak perspektif dan sudut pandang Shinta soal voli.
Sejatinya banyak sosok yang mempengaruhi permainan Shinta. Hanya saja Tien Mei dianggap paling berpengaruh. Nasihat dan masukan Tien Mei hingga kini masih menjadi fondasinya dalam berkarier, hingga akhirnya menembus Timnas Indonesia.
"Karena postur badan saya yang pendek, banyak yang meremehkan kemampuan saya, tapi sejak ketemu dia [Tien Mei] banyak ilmu yang dia kasih ke saya dan bikin saya percaya sama kemampuan saya," ucap Shinta.