Jakarta, CNN Indonesia --
Saat bulutangkis resmi dimasukkan sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade, saat itu pula Indonesia mulai berharap bisa meraih medali emas di ajang multi-cabang terbesar di dunia ini.
Badminton sudah jadi ajang ekshibisi Olimpiade di Munich 1972. Saat itu Rudy Hartono dan Ade Chandra/Christian Hadinata keluar sebagai pemenang. Namun lantaran kategori ekshibisi, medali emas tidak dihitung ke dalam pencapaian kontingen.
Butuh waktu hingga 20 tahun kemudian ketika pada akhirnya Olimpiade resmi memasukkan cabor bulutangkis jadi cabor resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika bulutangkis resmi dipertandingkan pada Olimpiade Barcelona 1992, PBSI pun sudah bergerak sejak jauh-jauh hari. Persiapan tidak memakan waktu 2-3 tahun melainkan jauh-jauh sebelumnya sejak 1985.
Di saat itu, di era Try Sutrisno, PBSI sudah membentuk tim pelatnas pratama yang berisi pemain usia belasan. PBSI sadar bahwa pemain-pemain yang bakal berusia matang saat di Barcelona nanti adalah pemain-pemain yang masih belia.
Karena itu nama-nama seperti Alan Budikusuma, Susy Susanti, Ardy B. Wiranata, dan Hermawan Susanto adalah nama-nama yang sudah diproyeksikan oleh PBSI sebagai andalan di Barcelona 1992.
Lewat tempaan yang panjang dan berliku, program jangka panjang PBSI menuai hasil. Badminton bisa mempersembahkan dua emas lewat Alan dan Susy, dua perak lewat Ardy dan Eddy Hartono/Rudy Gunawan, dan satu perunggu lewat Hermawan.
 Susy Susanti meraih emas Olimpiade 1992. (AFP PHOTO / TOMMY CHENG) |
Di nomor tunggal putra, Indonesia sukses menghadirkan All Indonesian Final antara Alan vs Ardy. Nama Alan dan Susy bahkan dikenal sebagai pengantin Olimpiade.
Keberhasilan Indonesia meraih sepasang emas jadi pelepas dahaga Indonesia akan emas Olimpiade. Sebelum bulutangkis masuk Olimpiade, Indonesia memang kesulitan pulang dengan emas Olimpiade walaupun Indonesia sudah dikenal sebagai Raja SEA Games.
Setelah emas di Barcelona 1992, Indonesia pun terus berharap bulutangkis bisa menyumbangkan emas di Olimpiade-Olimpiade berikutnya. Dari situlah cerita tradisi emas dimulai.
 Candra/Wijaya berjaya di Olimpiade Sydney 2000. (AFP/ROBYN BECK) |
Baca lanjutan artikel di halaman berikut >>>
Di atas kertas, kekuatan Indonesia memang konsisten di papan atas dunia dalam cabor badminton. Indonesia seringkali menempatkan pemain di posisi nomor satu dunia dan merebut Piala Thomas dan Uber.
Namun hal itu tidak lantas membuat semuanya mulus. Indonesia memang selalu jadi unggulan di bulutangkis, tetapi jumlah emas yang didapat tidak pernah bisa mengulangi pencapaian di Olimpiade Barcelona 1992 saat meraih dua emas.
Pada Olimpiade Atlanta 1996, Indonesia meloloskan dua wakil ke final yaitu Mia Audina dan Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky. Namun hanya Ricky/Rexy yang bisa meraih medali emas Olimpiade.
Di Olimpiade Sydney 2000, Indonesia meloloskan tiga wakil ke final yaitu Hendrawan, Candra Wijaya/Tony Gunawan, dan Tri Kusharjanto/Minarti Timur. Tetapi hanya Candra/Tony yang berhasil berdiri di podium tertinggi.
 Ricky/Rexy juara Olimpiade 1996. (AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Pada Olimpiade Athena 2004, Taufik Hidayat yang jadi satu-satunya wakil di final dan sukses melanjutkan tradisi emas Olimpiade dari cabor bulutangkis.
Empat tahun kemudian di Beijing, Markis Kido/Hendra Setiawan jadi sosok yang mampu meneruskan pakem tradisi emas Olimpiade. Kido/Hendra jadi juara usai menang lawan wakil tuan rumah, Cai Yun/Fu Haifeng.
Ketika persaingan bulutangkis dunia makin sengit, Indonesia pun sempat jadi korban. Indonesia kalah dalam persaingan keras di Olimpiade London 2012.
Indonesia gagal membawa pulang emas Olimpiade dari London. Tradisi emas yang diraih dari cabor bulutangkis pun terputus. Lantaran tak ada emas dari bulutangkis, alhasil Indonesia pun tidak punya emas untuk dibawa pulang dari edisi tersebut.
 Taufik Hidayat meraih emas di Olimpiade Athena 2004. ( ROSLAN RAHMAN / AFP) |
Harapan agar tradisi emas hanya terputus sementara akhirnya bisa diwujudkan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Tontowi/Liliyana yang penampilannya menurun jelang Olimpiade justru meledak di Rio de Janeiro pada 2016.
Tontowi/Liliyana merebut emas setelah menaklukkan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying dari Malaysia di babak final.
Lima tahun berselang, beban melanjutkan tradisi medali emas kembali ada di pundak tim bulutangkis Indonesia. Olimpiade Tokyo 2020 di 2021 ini bakal punya atmosfer lebih berat lantaran situasi tak normal akibat pandemi covid-19.
 Markis Kido/Hendra Setiawan juara Olimpiade Beijing 2008. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE) |
Namun terlepas dari situasi tak normal, tim bulutangkis Indonesia akan selalu dibebani harapan yang sama tiap Olimpiade, yaitu membawa pulang emas dari arena pertarungan.
Sebuah beban yang sudah pernah ditanggung dan dirasakan oleh senior-senior mereka di edisi sebelumnya.
Harapannya tentu tradisi emas bisa berlanjut atau bahkan melebihi prestasi di Barcelona 1992.
[Gambas:Video CNN]