Jakarta, CNN Indonesia --
Sekelompok peneliti berhasil menemukan gambar cadas atau lukisan gua tertua di dunia. Lukisan yang diketahui berbentuk babi berusia 45.500 tahun itu ditemukan di Leang Tedongnge, Sulawesi Selatan.
Basran Burhan, arkeolog Universitas Griffith yang terlibat dalam penemuan itu mengatakan penemuan terjadi ketika sedang melakukan eksplorasi di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulsel, sekitar tahun 2017.
Kala itu, dia berkata bersama dengan empat rekannya melihat sebuah lokasi di dalam peta yang cukup menarik untuk di eksplorasi. Lokasi itu berada di sebuah lembah kecil yang ada di tengah gugusan karst.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena situasi itu, kami sempat tanya-tanya penduduk di sekitar itu. Ternyata mereka tahu dan kami caru tahu caranya ke sana, dan mereka kasih tahu," ujar Basran kepada CNNIndonesia.com, Jumat (22/1).
Basran enggan menceritakan detil lokasi Leang Tedongnge. Ia dan rekannya khawatir situs prasejarah tersebut dikunjungi banyak orang dan menjadi rusak.
Meski demikian, Basran dan tim mengaku membutuhkan waktu selama 2,5 jam berjalan kaki menuju lokasi itu. Tidak ada jalan aspal untuk kendaraan mencapai lokasi Leang Tedongnge.
Menemukan Leang Tedongnge, kata Basran bukan perkara mudah. Dia dan timnya harus memeriksa setiap lubang yang ada di lokasi tersebut. Setelah beberapa waktu, akhirnya Basran dan rekannya menemukan gua yang memiliki gambar cadas, belakangan diketahui berusia 45.500 tahun.
"Saat itu kami menemukan lima situs di sana, maksudnya sudah ada tinggalan manusia purbanya. Walaupun ada banyak gua yang lain, tapi tidak ada jejak tinggalan sejarahnya," ujarnya.
"Jadi hanya lima gua yang ada gambar cadasnya, Leang Tedongnge salah satunya," ujar Basran.
Basran mengklaim gambar cadas Leang Tedongnge terbilang unik dari gambar cadas yang ada gua sekitarnya. Sebab, dia melihat gambar cadas di Leang Tedongnge seolah menggambarkan interkasi antar binatang (babi). Selain itu, terdapat efek gerak lambat (slow motion) pada salah satu gambar.
"Jadi kalau diperhatikan digambar yang dipublkasikan seperti ada dua gambar yang tertimpa. Jadi ada yang bagian dalam warnanya agak merah terang, yang di dalam merah gelap. Jadi seperti ada pergerakan," ujarnya.
Sebagai seorang arkeolog, Basran berkata baru pertama kali melihat gambar cadas seperti itu. Di beberapa situs, dia berkata tidak ada gambar figuratif yang memiliki efek seperti yang ditemukan di Leang Tedongnge.
Basran mengatakan penemuan lukisan gua tertua di dunia di Leang Tedongnge sebenarnya merupakan bagian dari program penelitian yang dilakukan oleh Universitas Griffith. Sehingga, dia mengatakan langsung menghubungi koleganya di Australia untuk menindaklanjuti temuannya.
"Jadi saya hubungi mereka yang di Australia karena mereka yang tahu penanggalannya," ujar Basran.
Setahun pasca komunikasi itu, peneliti Universitas Griffith Maxime Aubert dan beberapa peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) datang untuk mengambil sampel dari gambar cadas di Leang Tedongnge.
Basran mengaku sempat pesimis apakah ada sampel dari gambar cadas yang bisa diperiksa. Namun, dia menyebut Aubert yang ahli dalam penanggalan gambar cadas berhasil mendapat sampel meski sangat kecil.
Kontak Australia Imbas Teknologi di RI Belum Mumpuni
Sampel kemudian dibawa ke Australia untuk diteliti di laboratorium Universitas Queensland. Sampel dibawa ke luar negeri karena Indonesia tidak memiliki teknologi untuk menghitung usia tinggalan sejarah.
Berdasarkan penanggalan seri Uranium, Aubert menyampaikan bahwa gambar babi di Leang Tedongnge berusia minimal 45.500 tahun. Mendengar informasi itu, Basran mengaku tidak terkejut. Sebab, gambar cadas yang ditemukan sebelumnya di Leang Bulu Sipong berusia 43.900 tahun.
"Kan ada dua peneuan sebelumnya Leang Timpuseng sekitar 39.900 tahun dan Leang Bulu Sipong 43.900 tahun. Cuma bedanya di Leang Bulu Sipong adegan berburu. Nah ini (Leang Tedongnge) sedikit lebih tua," ujarnya.
Basran mengaku menemukan hambatan dalam membuat jurnal terkait dengan penemuan gambar cadas di Leang Tedongnge. Dia berkata membutuhkan waktu lama untuk menemukan isu yang cocok.
Namun, dengan berbagai alasan akhirnya memutuskan untuk mengambil isu tentang seni gua tertua di Sulawesi yang diterbitkan di Science Advance.
Basran mengklaim sejumlah pihak sudah mulai peduli dengan situs arkeologi yang ada di Indonesia. Dia berharap kepedulian itu terus berlanjut agar situs arkeolog bisa membantu peneliti mengungkap kehidupan prasejarah.
"Saat ini sudah lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Sekarang itu beberapa stakeholder sudah mendukung," ujar Basran.
Basran kepedulian itu biasanya muncul ketika peneliti selesai menganalisis tinggalan prasejarah yang ditemukan. Sebelum itu, peneliti sebuah situs yang berusaha untuk menjaga agar tidak rusak atau dirusak.
Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan misalnya, dia berkata sebuah perusahaan tambang merelakan wilayah eksplorasinya karena terdapat situs prasejarah. Serah terima wilayah itu diharapkan dapat membuat situs tetap ada dan diteliti lebih lanjut.
"Jadi paling tidak mereka sudah punya kepedulian walaupun memang masih banyak kasus yang menyebabkan situs arkeologi rusak," ujarnya.
Basran membeberkan vandalisme adalah salah satu penyebab situs arkeologi rusak. Keterbatasan kemampuan pengawasan, kata dia membuat vandalisme ditemukan di sejumlah situs arkeologi.
"Yang susah dikontrol itu vandalisme," ujar Basran.
Terakit dengan Leang Tedongnge, Basran mengaku pihaknya sengaja merahasiakan lokasinya. Sebab, dia khawatir Leang Tedongnge menjadi sasaran vandalisme.
Lebih dari itu, dia berkata pihaknya sedang berusaha untuk menghadirkan juru pelihara di situs arkeolog tersebut.