Dalam orasi ilmiahnya, Danny mengatakan bahwa dia menyoroti teknologi peringatan dini tsunami yang saat ini terbilang mahal dalam pembangunanya. Meski ia tidak secara langsung menyebut, teknologi deteksi gempa laut menggunakan Buoy dan CBT disebutnya terlalu mahal untuk diterapkan.
Danny mengatakan bahwa Buoy memiliki fungsinya yang sama dengan alat pengukur muka air laut, yang kerap digunakan di pelabuhan. Hanya saja buoy dipasangnya ditengah laut.
"Jadi kalau ada gempa megatrust air laut itu terkam," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk membuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami, kata Danny, tidak hanya Buoy saja yang diperlukan. Tetapi juga perlu software untuk memodelkan tsunami itu.
Ia mengatakan negara seperti AS dan Australia pasang Buoy bukan untuk sumber gempa yang deket, tapi untuk yang jauh. Hal itu lantaran waktu yang dibutuhkan untuk perubahan sinyal yang ditangkap buoy bisa diproses dan jadi warning tsunami butuh waktu cukup lama, yakni puluhan menit.
Kalau di indonesia proses gempa jadi tsunami itu bisa cepet, seperti di Palu, tsunami hanya terjadi selang 5 menit setelah terjadi gempa.
"Jadi buoy itu ditaro di banyak tempat tidak berfaedah," pungkasnya.
Ia mengatakan saat ini ada alat untuk merekam muka air laut namanya Inexpensive Device for Sea Level Measurement atau IDSL. Alat itu kata Danny sudah banyak digunakan di Eropa untuk mencatat pasang surut air laut, dan alat tersebut terbilang murah harganya, bahlan bisa dibuat sendiri.
Ia mengatakan dana yang dikeluarkan untuk membangun 1 unit Buoy dapat menghabiskan dana hingga Rp20 miliar. Jadi kalau dibandingkan beli Buoy 1 lebih baik membeli 1000 IDSL.
"Padahal fungsinya sama saja merekam muka air laut, tergantung dari kepintaran software dan para ahli yang memdoelkan tsunami," ujarnya.
Lihat Juga : |
Danny menuturkan bahwa ia juga sempat dilibatkan dalam program tsunami warning sistem pada 2006 sampai 2008. Program tsunami early warning sistem saat itu berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Ia mengatakan sejak awal berjalan program, banyak menjumpai kendala terutama birokratis. Danny menilai para pejabat berkuasa menentukan jalannya usaha peringatan dini tersebut, sehingga banyak para peneliti yang terpinggirkan.
"Para pejabat itu yang lebih banyak berkuasanya dalam menentukan jalannya usaha peringatan dini itu. Jadi dari awal itu para ahli banyak dipinggirkan," tuturnya.
Lebih lanjut ia menyarankan bahwa jika ingin membuat sistem nasional yang bagus untuk mitigasi bencana, harus membuat wadah yang dapat mewadahi seluruh ahli di bidang gempa dan tsunami.
Saat ini, Danny menilai bahwa di Indonesia memiliki potensinya tinggi. Ia mengatakan bahwa gempa besar bisa terjadi kapan aja dan di mana aja. Ada beberapa wilayah yang potensinya lebih tinggi di banding yang lain. Tapi tetep pastinya kapan gempa msih belum mungkin untuk saat ini.
Ia mengatakan ada banyak wilayah yang berpotensi gempa. Tetapi yang sudah jelas yang betul-betul well study yakni megatrust yang ada di Mentawai. Sampai sekarang kita hanya bisa menunggu kapan gempa itu bakal terjadi.
"Itu [di Mentawai] bisa gempa M 8,8 dan tsunami bisa mencapai 10 meter," tuturnya.
Menurutnya secara ilmiah gempa memiliki siklus berapa tahun sekali. Perioda pelepasan megatrust Mentawai sudah terjadi sejak 2007 di Bengkulu dan 2010 di Pagai, yang merupakan rangkaian siklus gempa.
"Tinggal yang belum dilepas yang M 8.8 itu. Tapi masih belum terbaca kapan itu terjadi," tutupnya.
(can/dal)