Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan menginjak usia ke 76 tahun pada 17 Agustus 2021. Walau sudah merdeka lebih dari setengah abad, Indonesia masih perlu berusaha lebih keras lagi untuk bisa berdikari dan mandiri, khususnya dalam bidang teknologi dan sains.
Salah satu yang akan dilakukan pemerintah demi mewujudkan hal tersebut adalah memanggil diaspora pulang ke Indonesia. Dengan pulangnya diaspora diharapkan bisa menjembatani kolaborasi antara lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian penerapan dengan lembaga serupa di luar negeri.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengaku perlu mengumpulkan talenta unggul asli Indonesia yang akan menjadi modal utama memajukan riset teknologi dan sains dalam negeri.
Ia mengklaim optimis bisa merealisasikan di tengah keraguan banyak pihak yang menyebut banyak ahli Indonesia yang lebih dihargai di luar negeri sehingga tak mau mengembangkan ide dan inovasi di tanah air.
Dalam hal finansial, pemerintah mengaku belum bisa menjanjikan yang besar, tapi paling tidak, Handoko mengaku sudah bisa bersaing dengan Malaysia.
"Sekarang sudah banyak anak-anak muda yang kita sekolahkan di dalam maupun di luar negeri sampe S3. Minimal kalau di sini kita setidaknya dari sisi gaji kita sudah bersaing dengan Malaysia. Gaji Alhamdulillah sudah lumayan, tidak bakal kekuarangan," kata Handoko kepada CNNIndonesia.com.
Langkah selanjutnya yang membuat BRIN optimis diaspora mau kembali ke RI karena saat ini pemerintah mau menyediakan kesempatan kepada mereka untuk melakukan riset di bidang mereka masing-masing.
"Karena diaspora untuk survive di luar negeri tidak mudah ya, jadi ya kita kasih pilihan lah. Mestinya kan cukup banyak yang mau," katanya.
Ia mengaku generasi muda RI yang disekolahkan ke luar negeri dan mengambil S3 dengan skema beasiswa bisa sampai 1.000 orang per tahun.
"Mungkin yang passion jadi periset tidak sampai 150 orang. Jadi kalau setengah dari 1,000 itu saja kita bisa undang ke RI sudah sangat bagus," ungkapnya.
Handoko mengklaim ia sudah melakukan komunikasi dengan diaspora RI dan menegaskan saat ke tanah air bukan berarti mereka akan ditempatkan di BRIN atau LIPI saja hingga pensiun. Namun mereka saat ini akan didistribusikan ke kampus-kampus dan lembaga penelitian lain.
"Kalau cuma sampai pensiun di BRIN, nanti bisa stagnan. Sedangkan kita itu masih perlu banyak, apalagi untuk kampus. Kampus yang memiliki dosen kualifikasi S3 belum banyak. Dari 300 ribu dosen baru 15 persen lah yang S3. Jadi belum ada apa-apanya," pungkas Handoko.
Lebih lanjut, Handoko menegaskan pihaknya sudah secara massif melakukan investasi infrastruktur agar diaspora yang kembali ke RI bisa melanjutkan riset sesuai passion mereka.
Infrastruktur seperti laboratorium dan instrumen lain diklaim sudah dibangun sejak tiga tahun lalu. Saat ini pembangunan infrastruktur untuk periset sudah 65 persen di setiap bidang.
"Sekarang kita juga sudah mulai masuk ke infrastruktur terkait antariksa dan nuklir. Karena dua itu masih jauh tertinggal, padahal penting dan RI punya potensi besar," klaim Handoko.
Salah satu infrastruktur yang dimaksud Handoko adalah pusat observasi langit yang ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Stasiun Antariksa di Biak, Papua. Sementara untuk nuklir pemerintah sedang fokus ke kedokteran nuklir atau pemanfaatan teknologi nuklir untuk medis, material dan biomaterial.
"Kalau di total-total dana investasi itu sekitar Rp2,5 Triliun," kata Handoko.
Merdeka Secara Teknologi dan Sains
Ke depan pembangunan infrastruktur riset diklaim tidak akan pernah berhenti karena sudah didukung oleh APBN dan akan menggoda orang Indonesia yang pintar di luar negeri untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri secara teknologi dan sains.
Kendati demikian Handoko mengaku untuk urusan sains dan teknologi setiap negara dunia, termasuk Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Sama seperti bisnis, sains dan teknologi memerlukan kolaborasi global.
"Tidak ada satu pun negara yang bisa lakukan sendiri. Kita berkompetisi tapi juga berkolaborasi jadi kita kompetisi yang kolaboratif. Seperti Amerika Serikat (AS), China itu tidak ada yang bisa berdiri sendiri," ungkap Handoko.
Jadi menurut hemat Handoko, merdeka secara teknologi dan sains itu harus lebih kepada seberapa jauh Indonesia meningkatkan nilai tambah dari sumber daya yang sudah dimiliki.
"Meningkatkan nilai tambah itu pasti perlu riset dan Iptek dari sumber daya alam lokal dan keanekaragaman yang kita sudah punya, seperti keanekaragaman hayati, geografis. Misalnya bandara antariksa atau stasiun observasi langit itu di negara lain tidak ada. Observasi langit di selatan khatulistiwa ya cuma RI," ujarnya.
Ajak Diaspora Pulang Bukan Perkara Mudah
Pengamat kebijakan publik, Totok Amin Soefijanto, mengatakan BRIN perlu memperhatikan beberapa poin penting seperti rencana strategis yang matang, fasilitas sampai upah yang sepadan agar orang-orang pintar RI yang ada di luar negeri mau mengabdi membangun teknologi dan sains dalam negeri.
"Tidak cukup dengan nasionalisme atau membela negara. Mereka di sana sudah lebih mapan. Jadi daya tarik apa yang membuat mereka mau pulang. Kalau gaji gak bisa dibandingkan. Artinya mereka lebih besar gajinya di sana," kata Amin kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu penempatan dan proyek kerja diaspora ketika pulang harus sudah jelas seperti di bidang listrik, komputer, internet, atau bidang teknologi lain. Pemerintah juga perlu mempersiapkan fasilitas yang mumpuni demi menunjang pekerjaan, seperti laboratorium standar internasional.
"Mulai tuh minta bantuan ke kedutaan-kedutaan kita yang ada di luar negeri, kira-kira saya butuh orang ini, siapa yang bisa ditarik," tambahnya.
Menurut pengamatan Amin, banyak anak bangsa yang pintar lebih memilih lanjut berkarir di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia karena mereka belum tahu mau bekerja apa di tanah air dengan keahlian mereka. Selain itu upah dan fasilitas yang di dapat di luar negeri lebih menggiurkan.
"Sementara daya tarik untuk bekerja di sana cukup besar dari upah dan fasilitas. Bahkan tidak sedikit yang malah menjadi warga negara asing. Mungkin diaspora yang masih muda dapat ditarik tapi tetap akan sulit karena mereka sudah nyaman di sana. Ini tantangan pemerintah," kata Amin.
Untuk mencapai Indonesia yang merdeka secara teknologi dan sains, Amin mengungkapkan satu kunci utama, yakni sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. SDM tersebut dibentuk melalui pendidikan.
Oleh karena itu, kata Amin, Kemendikbud Ristek juga peran penting dalam membentuk calon-calon ilmuwan yang dibentuk oleh para akademisi di kampus. Bidang pendidikan masih harus berbenah. Terkhusus bidang ilmu, program studi dan fakultas di kampus juga harus dirombak supaya dapat beradaptasi dengan zaman.
"Mata kuliah yang ada saat ini kebanyakan sudah ketinggalan zaman. Contoh yang ketinggalan zaman adalah jarang sekali mata kuliah yang lintas prodi. Padahal ilmu pengetahuan ini terus berkembang dan sudah saling berkolaborasi," tambahnya.
Lembaga riset itu harus seperti lembaga konsultan atau riset yang lain di dunia yang bersifat matriks agar bisa setiap bidang bisa berkembang secara mandiri. Artinya bidang-bidang yang perlu dikembangkan dan berkembang secara mandiri," papar Amin.Sisi riset pun turut masuk dalam sorotan Amin. BRIN menurut dia jangan seperti kementerian yang sifat organisasinya vertikal dengan diisi oleh pejabat eselon dengan beragam tingkatan.
Selain itu, Amin juga menyayangkan lembaga riset di RI masih terlalu mengandalkan anggaran negara. Padahal seharusnya riset itu bisa mengandalkan swasta, organisasi-organisasi internasional yang masih belum terlalu diperhatikan oleh pemerintah.
Merdeka dalam Teknologi Siber
Senada, pakar Teknologi Informasi asal CISReC Pratama Persada kembali menyinggung janji Presiden Joko Widodo pada Rakernas BPPT 2021 yang menyampaikan Indonesia harus bergeser dari ekonomi yang berbasis komoditi menuju ekonomi yang berbasis inovasi dan teknologi.
Jokowi juga meminta agar BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) menjadi otak pemulihan ekonomi nasional. Menurut Pratama saat ini salah satu sektor yang bisa membantu lompatan besar ekonomi demi mewujudkan RI yang berdaulat di bidang teknologi adalah dari industri siber tanah air.
Mengacu pada data pada 2020, dengan nilai transaksi perdagangan digital Indonesia mencapai lebih dari Rp253 triliun, dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp330,7 triliun di tahun 2021 sebut presiden pada hari ini, dalam sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI-DPD RI di Gedung MPR.
Namun pada saat pandemi sekarang ini, pemulihan ekonomi tidak bisa hanya bertumpu dari inovasi teknologi BPPT saja, tapi ada berbagai teknologi sebagai solusi ekonomi dari berbagai sisi. Jadi tidak hanya BPPT yang menghasilkan sebuah produk.
Ada juga BPS (Badan Pusat Statistik) yang bertugas melakukan riset untuk memberikan data, mengenai perkiraan apa saja yang akan banyak dibutuhkan oleh masyarakat indonesia beberapa tahun mendatang.
Dan sekarang, kerja-kerja ini, kata Pratama, sudah didukung juga oleh BRIN yang telah meningkatkan kerja sama riset global dan akan berfokus pada ekonomi digital.
Intinya, menurut Pratama, adalah ada di riset dan juga menghasilkan produk harus selalu melibatkan negara entah itu kementrian maupun badan negara. Lalu bisa juga dengan melibatkan kampus dan industri.
"Industri bisa berkolaborasi dengan kampus, dengan membiayai riset dan beasiswa lalu hasil produknya bisa dibuat mass production. Tapi dari berbagai penemuan anak bangsa biasanya selalu terkendala saat masuk ke proses mass production, hal itu yang harus dievaluasi," kata Pratama kepada CNNIndonesia.com.
Saat ini salah satu industri yang bisa berkembang dengan cepat adalah industri siber. Industri siber tidak memerlukan infrastruktur seperti pabrik secara luas yang bisa mengurangi cost.
Harusnya, imbuh dia, hal ini bisa didorong oleh pemerintah sejak diawal, sebagai solusi digital buatan anak negeri yang harus diperbanyak. Contoh sukses industri siber tanah air sudah sangat banyak seperti Tokopedia, Bukalapak, Gojek, dan lain sebagainnya.
Dengan memenuhi kebutuhan siber di dalam negeri, Indonesia bisa melakukan lompatan ekonomi cukup besar. Namun syaratnya jelas pemenuhan kebutuhan infrastruktur siber harus dipenuhi, penguatan SDM dan riset teknologi juga harus diprioritaskan.
"Pada akhirnya pemenuhan itu disuplai oleh ekosistem siber dalam negeri. Tak kalah penting, dengan kemandirian akan membuat kedaulatan siber negara kita semakin kuat," kata Pratama.
Selain itu, Indonesia, kata Pratama bisa mandiri di bidang internet dan juga teknologi luar angkasa. Menurut dia, hal yang sama digunakan oleh Elon Musk untuk membangun bisnisnya dan sangat sukses saat ini. Misalnya untuk internet Elon Musk membangun Starlink, solusi internet murah yang saat ini berjalan di AS dan Kanada.
Lalu energi terbarukan ada Tesla dan Solar City. Soal luar angkasa dia punya Space X yang menjadi backbone Starlink.
Menurut Pratama Indonesia punya potensi itu semua. Mulai dari energi terbarukan dengan solar cell, dimana Indonesia mendapatkan matahari yang cukup sepanjang tahun, belum lagi dengan industri nikel dan baterai untuk modal mobil listrik.
"Jangan lupakan juga kita strategis di garis khatulistiwa yang membuat banyak keuntungan untuk satelit beredar di atasnya. Bahkan sejak 1977, negara-negara di garis khatulistiwa sudah meminta adanya kedaulatan luar angkasa," kata Pratama.
"Karena saat ini banyak satelit negara lain beroperasi di atas garis khatulistiwa dengan bebas. Karena itu perlu diperbanyak program peluncuran satelit karena kebutuhan semakin meningkat, baik untuk pertahanan maupun kebutuhan ekonomi," terangnya.
Indonesia sendiri juga sudah memiliki Palapa Ring sebagai backbone internet. Hal yang wajib dimaksimalkan agar dalam beberapa tahun mendatang, bisa menjadi faktor penentu naiknya ekonomi digital tanah air.
"Dengan memaksimalkan program Palapa Ring, kita juga bisa nantinya membangun berbagai aplikasi lokal yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Mulai dari email, medsos, marketplace, aplikasi chatting sampai solusi digital lain. Artinya negara hadir memberikan stimulus berupa berbagai infrastruktur pendukung," jelasnya.