Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Subandrio mengungkapkan kabar terbaru dari vaksin merah putih. Vaksin COVID-19 buatan dalam negeri itu diklaim bisa diuji klinis pada akhir tahun 2021.
Dia juga memaparkan proses apa saja yang dilalui sehingga vaksin Merah Putih dapat segera disuntikkan kepada masyarakat Indonesia. Kepada CNNIndonesia.com, Amin juga menjelaskan mengenai waktu, biaya dan hambatan selama proses pembuatan vaksin ini berlangsung.
Seperti apa tahapan-tahapan dan proses yang dihadapi oleh Eijkman dalam mengembangkan Vaksin Merah Putih?
Yang menjadi konsentrasi di Lembaga Eijkman bersama dengan Biofarma itu pada tahap pengembangan R&D nya, riset dan pengembangannya yang dimulai dari nol, ini bener-bener pertama kalinya Indonesia bikin vaksin dari zero.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah yang menjadi tugas lembaga Eijkman adalah fase R&D nya kami mengembangkan bibit vaksin itu berdasarkan virus yang beredar di Indonesia yang kita isolasi kira-kira bulan Maret itu masih berkerabat erat dengan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China.
Proses berikutnya adalah kita mengidentifikasi, mengisolasi dan amplifikasi gen yang menjadi protein S protein N (yakni) Protein spike dan protein nucleocapsid dan kemudian gen tadi di clone di suatu plasmid.
Tujuannya adalah untuk bisa memasukkan ke dalam satu virus, yang kita gunakan adalah adenovirus 5. Kenapa digunakan virus dulu karena dengan virus itu kita akan memasukkan gen itu ke dalam sistem ekskresi. Sistem ekskresi itu artinya yang pada gilirannya akan memproduksi protein-protein yang yang akan menjadi vaksin.
Semua proses itu sudah dilalui, jadi kami sudah bisa memasukkan gen itu ke dalam plasmid dan plasmid itu sudah bisa dimasukkan ke dalam virus, virus dimasukkan lagi ke dalam sel mamalia untuk sistem ekskresi tadi dan kami juga kami menggunakan sel ragi dan itu semua sudah masuk.
Jadi kami sudah bisa membuktikan bahwa memang gen sudah masuk dan kemudian sistem ekspresinya itu diuji, apakah dia bisa menghasilkan protein yang materi genetiknya sudah kita masukkan ke dalam sel tersebut, dan itu juga terbukti sudah bisa.
Jadi proses R&D nya itu sudah selesai, proses selanjutnya adalah transisi dari R&D ke Industri. Karena di industri juga prosesnya cukup banyak mulai dari penyiapan cGmP kemudian uji praklinik, uji klinik fase 1,2, dan 3 sampai mendapatkan izin edar.
Saat ini yang sedang dilakukan bersama antara Lembaga Eijkman dengan Biofarma yaitu melakukan scaling up kemudian optimasi dan juga peningkatan yield.
Tiga proses ini menjadi penting agar ketika nanti masuk ke dalam sistem produksinya itu dapat dihasilkan vaksin dengan efisiensi yang tinggi, berarti harganya lebih murah. Kalo yield-nya tidak tinggi maka cost-nya akan naik.
Sekarang yang sedang dilakukan karena dengan hasil itu Biofarma akan menyiapkan cGmP (Good Manufacturing Practices) namanya, artinya vaksin yang disiapkan dengan proses pembuatan yang bagus dan benar. Dan itu hanya dimiliki oleh Biofarma saat ini setelah itu siap baru bisa disuntikan, akan digunakan di uji praklinik.
Jadi dalam hal ini lembaga Eijkman dan Biofarma akan mengadakan uji praklinik, maupun pada hewan sekalipun, tetap menggunakan calon vaksin yang standarnya sama seperti yang akan digunakan pada manusia.
Sementara itu yang akan kami lakukan, uji coba pada hewan sekitar 3 bulanan di akhir tahun diharapkan kami dapat melakukan uji klinik fase 1 kemudian juga dilanjutkan pada fase 2 dan 3.
Uji klinis 1 dan 2 dan 3 itu akan memakan waktu 8 bulan tetapi mudah-mudahan sebelum selesai fase 3 uji klinik kami sudah bisa mendapatkan EUA, Emergency Use Authorization dari BPOM.
Kapan praklinik Vaksin Merah Putih akan selesai?
Kita mengharapkan proses praklinik itu selesai pada bulan November atau pertengah Desember, paling lama. Kita masih terus menyiapkan 3 proses tadi, intinya dalam 3 bulan ke depan kita bisa uji klinik.
Berapa lama proses pembuatan Vaksin Merah Putih ini sampai bisa digunakan?
Untuk Indonesia sendiri yang memulai dari nol kami memperkirakan sekitar 2 tahunan itu sudah pendek sekali, karena pada situasi non pandemi itu R&D nya saja bisa sampai 5 tahun kemudian uji praklinik dan uji klinik itu bisa memakan waktu 5-10 tahun.
Untuk situasi pandemi ini, vaksin merah putih memang kami perkirakan akan memakan waktu 18-24 bulan dan dari sejak awal strateginya memang, karena sudah diantisipasi akan memakan waktu lama, jadi sambil menunggu persiapan vaksin merah putih, kalau ada vaksin dari tempat lain yang bisa digunakan, itu bisa digunakan dulu.
Nanti vaksin merah putih bisa menutupi yang belum ter-cover oleh vaksin yang lebih dahulu, dan juga untuk booster, selain untuk membantu negara-negara lain yang belum punya akses terhadap vaksin Covid-19 ini.
Tentu semua akan bertanya kenapa lama, kalau kita menunggu, dua tahun itu pasti lama sekali tapi kalau dibandingkan dengan 10 tahun, (bahkan) Vaksin Denggi sampai 30 tahun belum jadi juga sampai sekarang. Tapi untuk pandemi ini kita upayakan cepat.
Sejauh ini apa yang menjadi kendala dalam proses penelitian Vaksin Merah Putih?
Beberapa kendala yang kita rasakan adalah justru situasi pandemi ini sendiri yang cukup memberikan hambatan. Padahal kalau melihat dari komitmen pemerintah, sejak awal melalui kemenristek BRIN itu apapun yang dibutuhkan akan dipenuhi, tetapi situasi pandemi ini juga banyak membuat hambatan karena dalam pengadaan peralatan.
Hal itu yang lebih mempengaruhi karena cukup signifikan menunggu sampai 2-3 bulan barang belum sementara kita tidak bisa jalan apa-apa dan itu mengakibatkan kemunduran yang signifikan untuk seluruh proses.
Belum lagi kita kan kerja dengan bahan biologis, baik sel maupun virusnya sendiri. Sering kali kita harus bersabar, kita harapkan dia tumbuh dalam 3-4 hari tapi ternyata 3-4 hari pertumbuhannya belum optimal jadi kita perlu tunggu.
Ya memang wajar jika bekerja dengan makhluk hidup, tidak bisa seperti kita bangun rumah, kalau semua sudah tersedia batunya semennya, bisa dijadwalkan secara pasti, tapi jika kerja dengan bahan biologi tidak bisa seperti itu.
Apakah fasilitas cGmP yang hanya tersedia di Biofarma, juga menjadi hambatan dalam proses pembuatan vaksin?
Di dalam Biofarma saja dalam tanda petik, terjadi kompetisi di fasilitasnya. Karena Biofarma itu kan penghasil vaksin manusia, kalau vaksin hewan sih bedanya, vaksin manusia satu satunya. Sementara vaksin-vaksin yang lain rutin diberikan setiap tahun tetap rutin berjalan, tidak boleh berhenti.
Jadi beberapa aktivitas produksi yang sedang berjalan dan sedang dipakai tidak begitu saja seperti kita memasak menggunakan panci satu dipakai macam-macam bisa dicuci dan dipakai lagi, nah itu tidak bisa demikian.
Untuk bisa mengalihkan dari satu vaksin ke vaksin lain itu prosesnya bisa lama dan harus disertifikasi lagi untuk bisa dimulai. Nah jadi Biofarma juga berupaya untuk menyiapkan beragam fasilitas, ini juga merupakan salah satu kendala teknis juga.
Contohnya tadi sudah saya sebutkan kami menggunakan sistem ekspresi kan dua, sistem mamalia dan sistem yield pada awalnya kita sepakati pakai sistem yang mamalia tapi ternyata setelah berjalan 3-4 bulan Biofarma mendapatkan bahwa fasilitas produksi yang digunakan fasilitas mamalia itu belum siap dan baru siap akhir tahun ini.
Jadi kami diminta untuk shift dari sistem mamalia ke sistem yield.
Apakah ada estimasi biaya tertentu yang diajukan kepada pemerintah?
Sejauh ini tidak dibatasi, artinya sambil berjalan apa yang kami butuhkan ya kami usulkan. Ya memang harus diakui bagaimanapun menggunakan uang negara tidak bisa seenaknya jadi semuanya harus ada proses pengajuan, proses pertanggungjawaban.
Itu juga butuh waktu, kita minta hari ini, besok sudah tersedia uangnya. Tapi ada komitmen dari pemerintah, misal kita butuh apa kita ajukan.
Sudah memakan biaya berapa? Dan berapa jumlah biaya yang sudah dipenuhi oleh pemerintah?
Ya tentu dana yang tersedia tidak seperti yang dimiliki oleh perusahaan perusahaan besar seperti Moderna, Pfizer, kita belum membicarakan biaya untuk uji klinik.
Untuk uji klinik itu anggarannya jauh lebih besar daripada anggaran yang dipakai di laboratorium. Sebenarnya butuh anggaran besar sampai beberapa belas miliar, angka persisnya (untuk R&D) saya tidak hafal.
Untuk uji klinik tergantung dari size-nya karena waktu itu pemerintah sudah menyiapkan anggaran untuk uji klinis tapi hitungannya secara kasar. Itu bercermin pada uji klinis tahap ketiga yang dilakukan pada Sinovac di Bandung, itu satu subjek saja membutuhkan anggaran sekitar Rp20 jutaan.
Padahal untuk uji klinik itu kita membutuhkan sekitar minimum 5000 subjek dan idealnya sampai dengan 20.000 subjek, kalau kita lihat pada perusahaan-perusahaan besar itu uji kliniknya mereka menggunakan lebih besar sampai 40.000 sampai 50.000 subjek. Jadi tinggal kita hitung saja.
Kalau kita targetnya memenuhi persyaratan internasional misalnya, sampai 20.000 subjek tinggal dikalikan saja. Tetapi kita jangan melihat dari totalnya saja, kita juga melihat dari jumlah segitu akan menghasilkan berapa banyak.
Kita kan mengharapkan dari katakanlah totalnya 500 miliar itu diharapkan menghasilkan 400 juta dosis yang dibutuhkan oleh Indonesia, nah kalau kita bagi 500 miliar dibagi 400 juta dosis, harga per dosis-nya sebenarnya murah dibanding kita membeli dari luar negeri.
Apakah Lembaga Eijkman melakukan kolaborasi dengan pihak atau Lembaga lain dalam mengembangkan vaksin merah putih?
Sebetulnya kolaborasi itu tidak dimulai sekarang saja, jadi kenapa Eijkman relatif punya kemampuan yang lebih besar, karena kami sudah berkolaborasi secara internasional.
Bahkan kemampuan kami mendeteksi adanya corona virus itu sebetulnya sudah dimiliki sejak beberapa tahun sebelumnya, walaupun corona virus kamu deteksi itu bukan yang menyebabkan pandeminya, tapi satu famili, jadi di bulan Januari 2020 itu kami sudah siap untuk deteksi jika ada virus yang memang sudah masuk.
Kemampuan laboratoriumnya, kemudian kemampuan orang-orangnya, sistemnya danculturenya itu semua sudah dibangun sehingga kami lebih mudah untuk bisa memulainya walaupun selama ini tidak ada aktivitas khusus untuk vaksin, tetap fasilitas terus disiapkan.
Tapi basic facility kita sudah punya semuanya, jadi bukan hal yang baru. Dan kita juga memang sudah terlibat dalam pembuatan vaksin yang lain, misalnya Vaksin Hepatitis, Vaksin Denggi dan sebagainya, walaupun tidak se ekstensif seperti sekarang, jadi kita tidak mulai dari nol.
Untuk yang sekarang ini karena kita mulai dari nol, dan kita bertekadnya membuat vaksin merah putih yang dikerjakan sendiri oleh anak Indonesia, walaupun demikian kami tetap berkomunikasi dengan teman-teman di luar.
Kita tidak menutup diri untuk kerja sama karena tidak mungkin untuk penelitian besar ini kita kerja sendiri tapi sedapat mungkin, sebisa mungkin kita kerjakan sendiri Cuma ke berbagai expertise kita masih bisa berkonsultasi dengan teman-teman di luar negeri.
Tidak bermitra dengan institusi?
Sementara kalau Eijkman hanya bermitra dengan Biofarma saja walaupun kami juga menjajaki kemungkinan-kemungkinan kerja sama dengan diaspora yang sudah kami kenal di luar negeri.
Bukan untuk vaksinnya sendiri tapi untuk seperti sistem ajuvan yang artinya suatu sistem untuk menambah atau memperkuat antigenitas dari vaksin yang kita kembangkan, itu sudah dilakukan juga.
Selama ini proses pengembangan vaksin, apainsightyang paling menonjol?
Secara internal yang kami lihat adalah semangat merah putihnya dari para peneliti di Eijkman bahwa mereka sangat menyadari bahwa ini bukan tugas yang tidak ringan, mereka kerja all out sehingga sering kali tidak kenal waktu dan mereka tidak memikirkan paten ataurewardapapun, mereka kerja begitu dedicated.
Berusaha keras untuk mendapatkan vaksin ini sesegera mungkin, itu yang saya kagumi dan saya sering kali terharu bahwa saya tidak bisa menjanjikan apa-apa dan mereka bekerja memang untuk merah putih.
Tidak ada sama sekali, kalu kita lihat ceritanya diaspora kita yang kerja di luar negeri misalnya kemudian menghasilkan vaksin, mereka kemudian mendapatkan paten, semua sudah dijamin oleh institusinya, kalau di Eijkman barangkali belum sampai ke situ.
Tapi yang penting kita kerjakan yang terbaik selebihnya kita serahkan pada yang diatas.
Ada berapa orang dalam tim penelitian ini?
Total kalau yang terlibat intens mungkin sekitar 10 orang dan jika dengan pendukung mungkin total ada 15 orang, tidak banyak.
Ada banyak faktornya, memang orang yang kerja di Eijkman tidak terlalu banyak, juga terkait dengan pandemi ini kita tidak mungkin meng-hire banyak orang untuk di ruangan laboratorium yang sempit karena kamu harus membatasi.
Jadi benar-benar kami pilih mereka yang punya kemampuan, pengalaman untuk mengerjakannya. Minimum master.