Kabinet Jokowi bukan kabinet ideal, tetapi kabinet realistik. Karena hanya itulah yang dapat dilakukan Presiden pada saat digencet berbagai kekuatan yang tidak pernah dibayangkan pada saat kampanye. Jerman menjadi juara dunia tanpa taburan bintang-bintang. Brasil dan Argentina kalah. Spanyol yang penuh bintang berkemas pulang di babak pertama. Kabinet Jokowi diharapkan seperti Jerman.
Jerman punya Joachim Low. Kabinet Indonesia punya Jokowi. Sama-sama berfaktor “J”. tetapi, ternyata berbeda kesebelasan, berbeda kabinet. Ini adalah penyebab ketiga.
Menko Ekonomi, Menko Maririm, dan Menko Polhukam seperti tersendat di tempat dan merosot wibawanya karena pernyataan yang tidak efektif dan akhirnya di-
bully di sosmed. Demikian juga tim ekonominya. Indonesia sedang mengalami masalah moneter yang berat. Yang diperlukan adalah tokoh moneter, bukan tokoh fiskal, apalagi keuangan daerah. Pilihan presiden di Menko Ekonomi dan Menteri Keuangan bukan tokoh moneter. Barangkali, karena asumsi moneter masalah BI, paling banter OJK. Moneter adalah masalah Presiden. Dan, BI serta OJK tidak di bawah Presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, Menteri Perdagangan di masa lalu adalah
hedge fund manager. Menteri terpilih adalah industrialis, dengan
framework yang sudah terbentuk berpuluh tahun. Tidak boleh disalahkan jika kemudian kagok, dan juga merosot wibawanya karena pernyataan yang tidak efektif dan akhirnya di-
bully di sosmed. Sektor pertanian belum menunjukkan prestasinya. Demikian pula perindustrian dan ketenagakerjaan. Perkebunan menjadi kagok karena bergabung dengan Lingkungan Hidup. BUMN masih jalan di tempat. Hanya kelautan, gara-gara faktor “Susi” berjalan dengan relatif baik, meski kebijakannya kadang diserobot di tengah jalan, misalnya untuk kasus garam yang diserobot oleh Kemendag.
Dari kajian IPR (Institute for Policy Reform, Agustus 2015), dari skor 1-10, kementerian sektor ekonomi yang berkinerja tertinggi adalah Kelautan-Perikanan dengan skor di kisaran 7,5-8. Berkinerja menengah adalah Kementerian BUMN di kisaran 6-6,5; Kementerian Perindustrian di kisaran yang sama, 6.-6,5; Kementerian Tenaga Kerja di kisaran 5,5-6; Kementerian Pertanian di kisaran 5-5,5. Berkinerja bawah adalah Kementerian Perdagangan di kisaran 4-4,5.
Dus, penggantian Mendag boleh dikata sesuai dengan skor kinerja Kementerian. Tantangannya adalah, menteri baru juga seorang
hedge fund manager. Diperlukan kesediaan untuk belajar keras untuk keluar dari kepompong itu. Masalah perdagangan adalah masalah menghadapi para penguasa pasar yang bersekongkol, yang sudah menjadi warisan dari sistem pasar kolonial Hindia Belanda; ketika pemerintah kolonial menyerahkan pasar kepada segelintir orang yang membentuk kartel agar mudah di-palak-i oleh Gubernemen. Pasar tidak pernah menjadi milik “pribumi”, seperti juga di masa lalu. Jokowinomics memerlukan tokoh sekaliber Rizal Ramli atau Roby Djohan di usia muda.