Jokowinomics, Ideologi yang Jadi Bulan-bulanan

Riant Nugroho | CNN Indonesia
Kamis, 13 Agu 2015 15:20 WIB
Sepuluh bulan setelah dilantik, Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet atas faktor situasi ekonomi. Jokowinomics tak efektif?
Menteri Perdagangan Thomas T. Lembong, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution berfoto saat diambil sumpah jabatan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Faktor keempat adalah ekonomi global yang sungguh gombal. Globalisasi dengan kebijakan liberalisme baru tidak menjanjikan sebuah win-win solution, bahkan bukan pula win-loose solution atau zero-sum-game. Ketika krisis keuangan melanda AS di tahun 2008, Wall Street kolaps, seluruh dunia ikut menderita. Ketika Yunani krisis di 2009, membuat seluruh Zona Eropa krisis, dan seluruh dunia menderita. Ketika bursa Shanghai jatuh dan membuat China masuk awal krisis, maka seluruh dunia mulai bergetar.

Krisis global pertama-tama mendera nilai tukar rupiah. Bahkan, setelah pelantikan kabinet perombakan, dollar melejit ke Rp 13.800 dan IHSG di bawah 4.500. Faktor yang paling menentukan adalah fundamental ekonomi Indonesia yang masih mengayun labil. Fundamental Indonesia 2015 jauh lebih baik dari fundamental 1998. Tetapi, bukan berarti ekonomi Indonesia bebas dari krisis akut. Terlebih dengan kesan bahwa tim kabinet bekerja dengan mode “Burung Onta”: masukkan kepala ke pasir dan berkata “aku tidak lihat musuh”. Tidak heran Jokowinomics menjadi tergetar hebat. Bahkan Presiden pun sampai turun tangan mengurusi pelabuhan plus bea cukai dan daging sapi. Dengan cara ini Presiden bisa “mati berdiri”.

Rapunhya struktur industri nasional sudah disampaikan berkali-kali. Indonesia tidak punya konsep Management of Technology (MoT). Dalam konsep MoT, kalau pasar memerlukan produk tertentu, maka pendekatan MoT memerintahkan agar dirancang-bangun teknologinya, baik secara mandiri atau hibrida, untuk menyiapkan produk tersebut sehingga dalam waktu kurang dari 5 tahun sudah dibuat di dalam negeri. Jepang, Taiwan, Korea, China menggunakan model seperti ini, dan mereka berhasil. Indonesia memilih mengimpor, bahkan yang diimpor bukan teknologi tetapi langsung barang modal bahkan barang jadinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak bisa disalahkan kenapa kita tidak mengenal MoT, karena ideologi ekonomi Indonesia adalah ekonomi berbasis pasar semata, seperti yang diajarkan oleh teori ekonomi berbasis liberalisme-baru yang sudah dimodifikasi khusus untuk negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, Kementerian Ristek pun sudah diberi beban baru mengurusi lisensi guru besar, dan bahkan anggaran Ristek pun akan dialihkan dari perguruan tinggi ke industri. Kita tidak tahu apa yang harus kita kerjakan. Presiden memerintahkan apa pun, selama “mesin” dan “mode”-nya sama, prosesnya sama, dan hasilnya pun sama.

Ujung dari berbagai simpul itu adalah ketergantungan industri nasional terhadap pasokan barang modal dari luar negeri, baik dalam arti strategis dan dalam arti sistematis. Artinya, faktor input yang bersifat strategis dari industri dalam negeri tergantung dari pasokan dari luar negeri, dan kondisi tersebut terbentuk sedemikian sistematisnya sehingga tidak ada solusi efektif kecuali impor. Kebijakan ekonomi pun secara sengaja atau tidak, dibuat sesuai dengan fakta tersebut. Defisit transaksi berjalan akan terjadi seiring dengan upaya meningkatkan industri dalam negeri. Ujungnya adalah pelemahan rupiah.

Kondisi tersebut disokong oleh tergantungnya pendapatan transaksi “pasti” dari perdagangan internasional kepada komoditi primer, termasuk migas, batubara, dan hasil tambang lainnya. Masalahnya, saat ini nilai komoditi global sedang terus merosot. Kondisi tersebut diperkuat dengan tetap kuatnya sentimen terhadap rupiah. Tambah lagi, faktor tersebut diperkuat oleh kebijakan AS dalam waktu ini dan tiga tahun ke depan untuk menarik dollar ke dalam negeri setelah krisis mulai tertangani. Dan, belakangan, devaluasi Yuan semakin memperkuat cengkeraman terhadap rupiah. Seperti tomat ditusuk lima pedang tajam secara bersamaan.

HALAMAN:
1 2 3 4 5
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER