Jakarta, CNN Indonesia -- Produsen batu bara, PT Adaro Energy Tbk, menargetkan menghasilkan batu bara sekitar 52 juta hingga 54 juta metrik ton di tahun ayam api. Angka tersebut terbilang stagnan jika dibandingkan dengan posisi saat ini.
Direktur Utama Adaro Garibaldi Thohir beralasan, saat ini, perusahaan tidak mau lagi terlalu mengandalkan lini usaha pertambangan batu bara karena pergerakan harganya cenderung dipengaruhi oleh sentimen eksternal.
Makanya, meski tren harga batu bara tengah menanjak, perusahaan enggan menggenjot produksinya. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini, harga batu bara mencapai US$84,89 per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka tersebut merupakan harga batu bara tertinggi di tahun 2016 yang selama ini selalu berada di kisaran US$50 per ton.
"Yang paling penting, kami perlu melihat, apakah harga ini akan
sustain (berkelanjutan) atau tidak? Kami tak bisa prediksi harga jual. Makanya, kami tidak bisa mengandalkan kenaikan harga batu bara, sehingga kami tidak mengubah angka produksi tahun depan," jelas Garibaldi, Senin (7/11).
Ia melanjutkan, perusahaan justru menggantungkan asa pada dua lini usaha lainnya, yakni ketenagalistrikan dan logistik. Apalagi, kontribusi lini usaha ketenagalistrikan diharapkan tumbuh dari posisi saat ini yang sebesar 5-10 persen menjadi 30 persen dalam lima hingga 10 tahun lagi.
"Di sini, kami tidak mau bergantung pada satu lini usaha, karena harga batu bara itu naik-turun. Kami bergantung pada tiga
engine strategy, yaitu
mining,
logistic, dan
power plant. Tahun ini pun, sebetulnya, kami tidak merevisi apapun terkait lini batu bara dan hasilnya, produksi tetap sama," terang dia.
Kendati demikian, ia berharap, perusahaan bisa menjaga kinerja lini usaha batu bara setelah perusahaan setrum asal Thailand, Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT), berencana mengakuisisi 12 persen saham perusahaan. Upaya ini dinilai langkah jitu demi mengamankan penjualan batu bara perusahaan di masa depan.
"Karena EGAT ini rencananya mau membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di selatan Thailand yang dekat dengan Indonesia. Katanya, spesifikasi batu baranya cocok dengan milik Adaro. Untuk Adaro sih positif, dengan ini otomatis kami memasok batu bara secara
long term," tutur dia.
Pria yang populer dipanggil Boy tersebut mengungkapkan, kewajiban pembiayaan (
financial closing) di antara kedua perusahaan bisa dilakukan dalam jangka waktu 1-2 bulan ke depan. Sayangnya, ia tak mau menyebut nilai akuisisi dan penyerapan batu bara untuk EGAT per tahunnya.
"Dan kami pun tak langsung tahun depan memasok untuk EGAT, mereka kan butuh 3-4 tahun untuk menyelesaikan pembangkit. Namun, ketika kami mulai menyuplai ke Thailand, kami juga tidak serta merta menambah produksi," imbuh dia.
Sebagai informasi, produksi batu bara Adaro mencapai 39,33 juta ton pada kuartal III 2016. Angka ini mencapai 72,83 hingga 75,63 persen dari target perusahaan tahun ini 52 hingga 54 juta ton.
Adapun, pendapatan Adaro pada kuartal ketiga tahun ini tercatat sebesar US$1,77 miliar atau turun 16,11 persen dari angka tahun lalu, yaitu US$2,11 miliar. Namun, berbekal efisiensi, laba Adaro berhasil meningkat 16,16 persen menjadi US$209,10 ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar US$180,01.
(bir/gen)