Jakarta, CNN Indonesia -- Cat putih pada tembok kantor tersebut terlihat masih begitu bersih. Beberapa kardus berwarna cokelat pun terlihat di luar ruangan kerja. Seorang staf mengatakan, ‘penghuni’ kantor dalam salah satu menara di bilangan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan itu masih baru.
"Baru pindah, dulunya di Gedung Office 8 kalau enggak salah," ungkap staf yang enggan menyebutkan namanya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (13/12).
Ia juga mengungkapkan, PT Evergreen Invesco Tbk baru pindah sejak empat bulan lalu dan menempati lantai 22. Namun, petugas keamanan di Graha CIMB Niaga itu menyebut Evergreen sudah pindah sejak enam bulan lalu. Menurut petugas keamanan itu, kantor Evergreen dulunya berada di Plaza Bapindo. Entah mana yang benar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Evergreen Invesco adalah nama perusahaan yang masih asing di telinga masyarakat awam. Nama itu tak setenar perusahaan swasta lain seperti Astra, BCA, Bank Mandiri, atau yang memiliki bisnis sama, seperti Sritex.
Tidak hanya asing, keseriusan
branding perusahaan ini pun masih dipertanyakan. Saat
CNNIndonesia.com menelusuri PT Evergreen Invesco Tbk di dunia maya, terdapat situs perusahaan yang terkesan tidak rapi, dan ‘seadanya’. Padahal, perusahaan ini sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), dimana tata kelola perusahaan jadi syarat mutlak, bahkan dilombakan.
Namun siapa sangka? Perusahaan itu adalah ‘mesias’ bagi salah satu pelopor asuransi di Indonesia, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912.
 Ilustrasi perdagangan saham. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Lucunya lagi, ketika kami ingin mengirim surat elektronik, alamat yang dicantumkan adalah
[email protected]. Bagaimana mungkin, sebuah perusahaan terbuka, yang pernah berencana mencari dana Rp40 triliun lewat penerbitan saham baru, menggunakan domain surat elektronik ‘gratisan’? Siapa sebenarnya penyelamat AJB Bumiputera ini?
Penelusuran
CNNIndonesia.com menemukan bahwa PT Evergreen Invesco Tbk berdiri pada 18 September 2003 dengan nama PT Artha Perkasa Invesco. Baru pada 26 Mei 2009 perusahaan berganti nama menjadi PT Evergreen Invesco.
Ruang lingkup kegiatan perusahaan adalah menjalankan usaha dalam bidang perdagangan besar, dengan bisnis utama pemintalan benang. Adapun Evergreen mulai beroperasi secara komersial pada 2008.
Perusahaan melantai di bursa dengan melakukan penawaran umum saham kepada masyarakat pada 2010. Jumlah saham yang ditawarkan kepada masyarakat (
initial public offering/IPO) sebanyak 2 miliar saham dengan nilai nominal Rp100 dan harga penawaran Rp105 per lembar.
Saat itu, Evergreen Invesco mampu meraup dana hingga Rp210 miliar dari IPO. Gelaran IPO itu juga disertai dengan penerbitan Waran Seri I sebanyak 900 juta lembar.
Kini, harga saham perusahaan berkode GREN itu bertengger di angka Rp310 per lembar dengan total nilai kapitalisasi pasar hanya mencapai Rp1,45 triliun. Nilai itu termasuk kecil di arena pasar modal. Sebagai perbandingan, perusahaan terbesar di lantai bursa adalah H.M. Sampoerna dengan nilai kapitalisasi pasar Rp465 triliun.
Yang menarik, jumlah karyawan perusahaan dan entitas anak Evergreen kini hanya sekitar 20 orang. Angka itu amblas dari 535 pada 31 Desember 2015 dan 537 pada tahun sebelumnya. Belum diketahui pasti penyebabnya.
Yang jelas, turunnya jumlah karyawan terjadi setelah kinerja keuangan Evergreen anjlok sepanjang 2015. Kala itu, perusahaan menelan rugi bersih hingga Rp10,66 miliar, jungkir balik dari laba bersih Rp401,18 juta di tahun sebelumnya.
From Zero to HeroPada pertengahan tahun ini, lantai bursa digemparkan oleh prospektus Evergreen yang menyatakan rencana untuk menerbitkan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu atau
rights issue senilai Rp30 triliun.
Ternyata, kejutan tak habis di situ. Perusahaan kembali membikin pelaku pasar modal penasaran ketika pada Oktober lalu menerbitkan kembali prospektus
rights issue. Kali ini manajemen mengerek nilai
rights issue yang dibidik, menjadi Rp40 triliun!
Saat itu, gelaran tersebut digadang menjadi aksi
rights issue terbesar dalam delapan tahun terakhir. Sebelumnya, rekor
rights issue terbesar dipegang oleh PT Bakrie and Brothers Tbk pada 2008 dengan nilai Rp40,12 triliun.
Yang bikin gempar lagi, dalam prospektus
rights issue tersebut, Evergreen melalui anak usahanya PT Pacific Multi Industri (PMI) telah membeli anak usaha dari AJB Bumiputera yang bernama PT Bumiputera 1912.
 Ilustrasi AJB Bumiputera. CNN Indonesia/Safir Makki) |
Sehingga, seluruh aset PT Bumiputera 1912 kini digenggam oleh anak usaha Evergreen tersebut. Sekaligus total utang PT Bumiputera 1912 yang berasal dari induknya, AJB Bumiputera. Total utang yang dimiliki PT Bumiputera 1912 sebesar Rp30 triliun. Dengan demikian, skema
rights issue digunakan Evergreen untuk membayar utang tersebut.
Rencana penyelamatan semakin terang ketika diketahui bahwa AJB Bumiputera sedang dililit masalah keuangan. Hingga Juli 2016, jumlah klaim yang harus dibayar perusahaan asuransi itu mencapai Rp3,5 triliun, sedangkan premi yang mampu dikumpulkan hanya Rp3,1 triliun. Karena itu, defisit keuangan perusahaan bahkan ditaksir mencapai Rp9 triliun dalam tiga tahun mendatang.
Kinerja keuangan AJB Bumiputera yang terseok-seok membuat skema penyelamatan
rights issue ini masih menjadi tanda tanya besar dalam benak pelaku pasar. Pasalnya, pelopor perusahaan asuransi tersebut bakal menjadi pembeli siaga atau
standby buyer dalam
rights issue ini.
Apalagi, pada awal bulan ini, Evergreen kembali menerbitkan prospektus yang berisi rencana untuk
rights issue dengan target dana Rp10,32 triliun saja. Anjlok dari target sebelumnya yang mencapai Rp40 triliun. Namun, terdapat kemungkinan perusahaan akan kembali menerbitkan
rights issue lagi untuk mencukupi kebutuhan dana AJB Bumiputera.
Tim MesiasUntuk diketahui, skema
rights issue tersebut dicetuskan oleh tim pengelola statuter yang merupakan bentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di divisi Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Tim 'mesias' ini dibentuk dengan tujuh orang anggota setelah OJK ketar-ketir melihat kondisi AJB Bumiputera.
Dalam skema penyelamatan berkedok
rights issue itu, nantinya AJB Bumiputera akan menjadi penguasa di Evergreen. Gampangnya, AJB Bumiputera nantinya bisa kembali bernafas tanpa tersengal, dan mudah mencari dana di pasar modal tanpa harus repot mengubah status menjadi Perusahaan Terbatas (PT).
Didi Achdijat, Koordinator Tim Pengelola Statuter mengatakan, permasalahan restrukturisasi penambahan modal ini sudah terjadi sejak 2009 silam. Menurut Didi, direksi juga telah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan AJB Bumiputera agar bisa terus membayar kewajiban klaim kepada pemegang polis.
Hanya saja, restrukturisasi pun berjalan lambat hingga akhirnya OJK memutuskan untuk membentuk statuter seperti sekarang ini.
“Dan ini kan prosesnya sudah lama, begini ini kan bukan proses dadakan sebenernya kejadian ini. Proses akumulasi,” kata Didi kepada
CNNIndonesia.com.
Ia menjelaskan, sebagai badan usaha bersama dan tidak berbentuk, PT AJB Bumiputera tak bisa memasukkan investor ke dalam badan usahanya. Hal ini disebabkan, pemegang saham AJB Bumiputera merupakan pemegang polis.
Artinya, seorang investor yang bukan pemegang polis tak bisa masuk sebagai investor begitu saja. Maka dari itu, berbagai cara pun digodok oleh direksi kala itu sehingga akhirnya memutuskan untuk menggunakan skema
rights issue dengan proses yang rumit.
“Kalau ada orang bawa duit satu koper ke sini juga itu enggak bisa. Kalau perseroan kan satu koper jadi pemegang saham. Di sini enggak. Di sini disuruh beli polis kan. Kalau dia bawa Rp15 triliun beli polis apa dia? Nanti malah dikira cuci uang.”Didi Achdijat, Koordinator Tim Pengelola Statuter |
“Kalau ada orang bawa duit satu koper ke sini juga itu enggak bisa. Kalau perseroan kan satu koper jadi pemegang saham. Di sini tidak. Di sini disuruh beli polis kan. Kalau dia bawa Rp15 triliun beli polis apa dia? Nanti malah dikira cuci uang,” jelasnya.
Sayangnya, Didi mengaku tidak tahu-menahu soal alasan dipilihnya Evergreen menjadi penyelamat AJB Bumiputera. Didi mengaku, saat dirinya ditunjuk sebagai koordinator pengelola statuter, rencana penguatan modal melalui skema
rights issue yang akan dikeluarkan oleh Evergreen terlihat sudah matang.
“Saya tidak begitu jelas tahu ya. Karena dulu saya pas di komisaris tidak terlibat dan saya merasa juga tidak dilibatkan oleh rekan-rekan direksi. Mungkin ada, tapi saya tidak tahu. Saya masuk itu sudah [dipilih] Evergreen. Saya tidak mau lihat jalan di belakang lah,” umbarnya.
Tak Berjalan MulusSayangnya, skema
rights issue akhirnya batal dilakukan pada tahun ini meski digagas oleh statuter bentukan otoritas. Pasalnya, OJK Bidang Pasar Modal belum memberikan izin efektif atas
rights issue tersebut karena Evergreen belum mencantumkan nama terang pihak pembeli siaga.
Kepala Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menyatakan, Evergreen hanya menuliskan nama “investor” dalam proposalnya dan tidak menjelaskan secara detil siapa investor tersebut.
“Ternyata di dalam dokumen yang disampaikan ke OJK itu masih ada namanya disebut investor. Jadi investor ini yang kami tanya agar dibuka siapa itu?” ungkap Nurhaida, Kamis (15/12).
Dengan gagalnya rencana tersebut, Didi belum dapat memastikan kapan atau bulan apa rencana tersebut dapat direalisasikan pada tahun depan. Tak hanya itu, skema dari
rights issue pun masih akan digodok kembali oleh pihaknya dan Evergreen.
Pasalnya, target raupan dana dari
rights issue itu bahkan tidak sampai setengah dari total ‘utang’ Evergreen kepada Bumiputera dan kebutuhan modal Bumiputera dalam beberapa tahun ke depan.
Ia menjelaskan, cadangan dana yang dimiliki AJB Bumiputera saat ini hanya sekitar Rp12 triliun–Rp13 triliun. Sementara, dana yang dibutuhkan untuk membayar klaim per tahunnya rata-rata sekitar Rp5 triliun.
Dengan demikian, AJB Bumiputera membutuhkan dana sekitar Rp30 triliun agar dapat membiayai klaim kepada pemegang polis paling tidak hingga lima tahun ke depan.
“Jadi kira-kira lima sampai 10 tahun ke depan itu kami akan bayar mungkin Rp20 triliun-Rp30 triliun, mungkin. Nah, uang kami tuh tidak ada segitu. Kalau perusahaan yang bener, lima tahun lagi harus bayar Rp30 triliun itu mereka sudah punya Rp60 triliun cadangannya. Itu model asuransi begitu. Itu yang mau kami benahi,” ungkap Didi.
Belum jelasnya realisasi skema tersebut membuat Didi enggan berbicara lebih detil mengenai rencana selanjutnya. Artinya, AJB Bumiputera belum tahu apakah tetap akan menggunakan skema tersebut dengan jumlah target dana
rights issue tetap Rp10 triliun atau akan diubah lagi.
“Lihat satu sampai tiga bulan lah. Yang sekarang kami beresin perusahaan dulu. Misalnya menetapkan produk dan sebagainya, itu dululah. Saya juga masih punya kerjaan untuk asuransi jiwa syariah. Itu harus diberesin karena itu harus
spin off tahun ini kan. Sudah itu dululah. Saya mau selesaikan itu dulu.
Rights issue nanti, saya belum bisa kasih jawaban,” katanya.
CNNIndonesia.com pun sudah menghubungi manajemen Evergreen untuk keterangan lebih lanjut. Namun, Sekretaris Perusahaan Evergreen, Wiwi Novianti hingga kini belum membalas pertanyaan yang dikirimkan.
“Sebelumnya saya minta maaf hari ini belum bisa untuk wawancara. Kalau ada pertanyaan dikirim
by email.
Email resmi Evergreen ya,
[email protected],” tulis Wiwi dalam percakapan melalui aplikasi
WhatsApp.
(gir)