Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan taksi konvensional mulai merajut kolaborasi dengan perusahaan aplikasi transportasi online demi menopang turunnya pendapatan. Namun, perbedaan cara kolaborasi yang dipilih memberi dampak yang berbeda pula terhadap kinerja mereka.
Dalam dua tahun terakhir ini, masyarakat menikmati kehadiran aplikasi transportasi umum secara online mulai dari ojek hingga taksi. Pasalnya, aplikasi yang tersedia untuk pemesanan cukup mudah plus tarif yang dikenakan pun sangat kompetitif.
Kehadiran Go-car, Grabcar hingga Uber, ketiganya menawarkan tarif yang jauh lebih murah dibandingkan taksi konvensional. Tak heran, pengguna taksi konvensional berbondong-bondong beralih ke taksi online.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Bahana Sekuritas Gregorius Gary menyatakan, akibatnya, pendapatan taksi konvensional seperti PT Blue Bird Tbk (BIRD) dan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) diperkirakan tergerus hingga ke kisaran 10 persen pada akhir tahun lalu.
Ia menyatakan, sebenarnya jumlah pengguna taksi tidak bertambah alias tetap meskipun keberadaan taksi online memberi tarif murah, yang ada cuma perpindahan pelanggan saja, dari yang tadinya menggunakan taksi konvensional, sekarang jadi pengguna taksi online.
“Sehingga dengan adanya kolaborasi antara kedua operator taksi dengan taksi online maka permintaan atas taksi konvensional akan kembali,” jelasnya, Senin (6/3).
Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan oleh sekuritas plat merah ini atas promo yang ditawarkan dari kolaborasi antara taksi online dan konvensional, Gary menilai kerja sama antara Go-car dengan taksi Blue Bird lebih rasional dibandingkan kolaborasi antara Uber dengan Express.
Dalam kondisi normal, Uber memberlakukan tarif Rp4.032 per km. Namun mereka memberi diskon 70 persen. Sedangkan Grab memberikan tarif Rp3.441 per km, dengan harga promo mendapat potongan 30 persen.
Berdasarkan hitungan yang dilakukan Bahana, kerja sama antara Go-car dengan Blue Bird memberikan subsidi antara 20 persen-50 persen dari tarif normalnya Rp4.459 per km.
Jadi, sebenarnya subsidi yang diberikan Go-car lebih rendah dari subsidi yang diberikan oleh Uber yang menawarkan potongan antara 25 persen-70 persen, dan Grab memberikan potongan sekitar 25 persen-75 persen.
''Memang kalau kita lihat sekilas seolah-olah pihak Gojek rugi karena memberikan subsidi kepada Blue Bird sebab tarif yang dibayarkan penumpang sebesar tarif yg ada di aplikasi Go-car, sedangkan untuk kekurangan tarif normal yang diberlakukan taksi Blue Bird Akan dibayarkan pihak Gojek. Namun ternyata angkanya tidak sebesar yang kami perkirakan sebelumnya,'' terang Gregorius.
''Dengan skema kolaborasi ini, pihak Blue bird tentunya diuntungkan karena jumlah penumpang diperkirakan akan naik, plus mereka masih bisa mendapat tarif normal, sedangkan pihak Gojek juga diuntungkan karena armada Go-car menjadi bertambah.”
Melalui skema kerja sama ini, Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan perusahaan berkode saham BIRD ini bakal naik ke kisaran Rp5,3 triliun pada akhir 2017, dari Rp4,85 triliun yang diperkirakan pada akhir 2016. Pada 2015, operator taksi ini mengantongi pendapatan sebesar Rp5,47 triliun.
Laba bersih diperkirakan naik ke level Rp565 miliar pada akhir 2017, dari estimasi Rp494 miliar pada akhir tahun lalu. Pada 2015, sempat mengantongi laba sebesar Rp824 miliar.
“Tak heran kalau Bahana merevisi rekomendasi saham BIRD dari 'Hold' menjadi 'Buy' dengan target harga Rp4.750 per lembar, dari kisaran harga saat ini sekitar Rp4.000-an,” jelas Gary. Sementara itu, taksi Express dinilai belum bisa bernapas lega meski mereka sudah bekerja sama dengan Uber. Pasalnya tarif yang dibayarkan oleh penumpang yang memesan lewat aplikasi sesuai dengan harga yang berlaku di Uber.
“Tanpa ada subsidi yang dibayarkan oleh pihak Uber kepada manajemen taksi Express, pihak yang diuntungkan adalah Uber, sedangkan Express belum bisa menikmati hasil,” jelas Gary.
Belum lagi sejumlah masalah internal yang masih menggerogoti operator taksi kedua terbesar di Indonesia ini. Akibat persaingan tarif taksi sejak kehadiran taksi online, perusahaan berkode saham Express Transindo ini menurunkan besaran setoran harian yang harus dibayarkan supir menjadi Rp150 ribu dari yang sebelumnya Rp240 ribu karena sepinya penumpang.
“Meski setoran harian diturunkan, beberapa supir masih tak mampu memenuhi setoran tersebut sehingga akhirnya keluar dari Express,” katanya.
Dengan berbagai permasalahan yang masih ada, pihak manajemen akan mengambil empat langkah pada tahun ini yakni memutuskan untuk menutup beberapa pool taksi yang kinerjanya tidak bagus, mengurangi jumlah karyawan, menjual aset-aset perusahaan yang layak untuk dijual serta akan melakukan restrukturisasi pinjaman.
Dengan estimasi kinerja Express Transindo yang masih suram, Bahana memperkirakan pendapatan pada akhir tahun ini hanya naik sedikit ke Rp688 miliar, dari pendapatan tahun lalu yang diperkirakan mencapai Rp644 miliar, pada akhir 2015, operator taksi ini masih bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp970 miliar.
Melalui berbagai upaya pembenahan yang coba dijalankan manajemen pada tahun ini, laba bersih diperkirakan bisa membaik ke level Rp8,8 miliar, dari perkiraan rugi tahun lalu yang kemungkinan mencapai Rp120 miliar, bandingkan dengan pencapaian 2015, Express Transindo mengantongi laba bersih sebesar Rp32 miliar.
“Melihat proyeksi kinerja Express yang belum menemukan titik cerah, Bahana merekomendasikan “Reduce” saham Express Transindo dengan target harga Rp135, dari rata-rata harga saham saat ini sebesar Rp156,” jelas Gary.