Jakarta, CNN Indonesia -- Bank sentral AS (The Federal Reserve) resmi mengerek suku bunga acuan ke angka 0,75 persen-1 persen. Ekonom menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat mumpuni untuk menahan kemungkinan volatilitas pasar uang yang berasal dari kenaikan suku bunga Negeri Paman Sam.
Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Rinaldy mengatakan suku bunga AS dikerek karena negara tersebut telah mencapai inflasi yang ditargetkan dan memiliki kondisi pasar tenaga kerja yang kuat. Menurutnya, suku bunga acuan AS (Fed
Fund Rate/FFR) kemungkinan naik dua kali tahun ini, berdasarkan prediksi dengan rerata 1,25 persen-1,5 persen pada akhir 2017.
“Kami meyakini pelaku pasar sudah mengantisipasi kenaikan FFR tersebut. Yield obligasi pemerintah AS (US
Treasury) bertenor 10 tahun naik menjadi 2,6 persen pada awal Maret 2017 dari 2,3 persen pada Februari 2017,” ujarnya dalam riset, Kamis (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh, ia menjelaskan, ekspektasi pasar terhadap potensi kenaikan FFR pada Maret 2017 sudah mencapai 70 persen bulan lalu dan hampir mencapai 100 persen bulan ini.
“Pagi ini, rupiah dan yield surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun masih tetap stabil, masing-masing pada Rp13.339 per dolar AS dan 7,4 persen,” jelasnya.
Leo menyatakan, memang kenaikan suku bunga AS dapat memicu potensi volatilitas pasar keuangan ke depannya, tetapi ia menilai hal itu hanya akan berlaku sesaat dan terbatas. Alasannya, pertama, di samping sudah diantisipasi pelaku pasar, suku bunga riil (
real interest rate) Indonesia sebagian besar (
largely) masih atraktif dibandingkan dengan pasar AS.
“Jika kita bandingkan dengan yield bertenor 10 tahun dua negara dibandingkan dengan inflasi, Indonesia mencapai 4,2 persen di mana di AS sebesar 0,3 persen. Dengan kata lain, ada selisih (
spread) sebesar 4 persen, lebih tinggi daripada rerata historis pada 1,1 persen,” katanya.
Meskipun FFR naik dua kali lagi tahun ini (sehingga total kenaikan FFR yaitu 0,75 persen), Leo menilai suku bunga riil AS tidak akan berubah banyak karena inflasi diprediksi akan naik 1 persen tahun ini.
“Kedua, surplus neraca perdagangan Indonesia yang sudah terjadi berturut-turut dalam batas tertentu seharusnya dapat menutup potensi arus keluar dana portofolio (
portfolio outflow) serta membatasi volatilitas rupiah,” jelasnya.
Sebagai informasi, surplus neraca perdagangan Indonesia sudah mencapai US$2,8 miliar hingga Februari 2017, naik dari US$1,1 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Posisi AmanBerbagai posisi data ekonomi itu dinilai Leo menunjukkan bahwa bank sentral akan tetap menjaga suku bunga 7-
days reverse repo (7DRRR) pada 4,75 persen dalam rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia hari ini.
Leo menilai, kebijakan moneter BI sudah memasukkan faktor dua kali kenaikan FFR pada 2017. Meskipun the Fed menaikkan suku bunganya lagi, selama spread real interest rate masih di atas level rata-rata, ia meyakini BI tidak perlu menaikkan suku bunganya.
“Volatilitas nilai tukar apapun akan dihadapi dengan intervensi valas pemerintah dan kami meyakini BI memiliki amunisi untuk melakukannya. Cadangan devisa valas BI berada pada posisi US$119 miliar pada Februari 2017, lebih tinggi daripada batas minimal US$90 miliar,” jelasnya.