Jakarta, CNN Indonesia -- Resolusi Uni Eropa (UE) yang merekomendasikan pelarangan dalam hal pemakaian biodiesel berbasis minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) memberi dampak negatif bagi pergerakan indeks sektor agrikultur sepanjang pekan lalu.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks sektor agrikultur berada di level 1.850,650. Angka itu turun 1,72 persen dari posisi sebelumnya di level 1.883,048. Kinerja indeks sektor agrikultur pekan lalu terbilang paling melemah jika dibandingkan dengan sektor lainnya yang juga terkoreksi.
Umumnya, pelaku pasar khawatir dengan kinerja emiten berbasis CPO pasca keluarnya resolusi UE terkait industri sawit di Indonesia. Hal ini jelas akan mengganggu penjualan komoditas tersebut ke Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Parlemen UE mengeluarkan resolusi sawit pada awal April lalu yang tertuang dalam Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Dalam hal ini, Parlemen UE menganggap pengembangan industri sawit di Indonesia tidak memperhatikan lingkungan sehingga merusak hutan.
"Ini akan mempengaruhi untuk penjualan emiten CPO. Biodisel selama ini kan menggunakan minyak jagung dan CPO. Nah yang di Eropa dilarang karena CPO dianggap merusak lingkungan pada saat penanamannya," papar Analis Mirae Asset Sekuritas, Andy Wibowo Gunawan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (14/4).
Namun demikian, Andy yakin hal ini hanya akan menjadi sentimen negatif dalam jangka pendek. Pasalnya, rata-rata penjualan masih dilakukan di dalam negeri atau domestik. Setidaknya, 50 persen hingga 60 persen CPO diperuntukan bagi kebutuhan dalam negeri yang rata-rata diolah untuk produk minyak goreng.
Sementara itu, analis NH Korindo Securities Joni Wintarja berpendapat, resolusi sawit yang dikeluarkan parlemen UE tersebut akan menjadi sentimen negatif jangka panjang untuk emiten CPO. Hal ini disebabkan belum adanya keputusan resmi dari komisi UE sendiri terkait pendapat yang dilontarkan oleh parlemen UE.
"Ini kan tidak mungkin selesai satu atau dua hari, bisa selesai lama dan hitungan bulanan," terang Joni.
Meski memang yang dilarang hanya biodisel berbasis sawit, tapi dampaknya akan melebar kepada penjualan CPO secara keseluruhan. Terlebih lagi, dengan cuaca yang sedang bagus seperti ini berpotensi membuat produksi CPO lebih bagus dari sebelumnya. Artinya, pasokan sawit akan melimpah.
"Kami yakin produksi baik, tapi produksi baik kan harus ada yang beli. Kalau tidak ada yang beli ya harga terkoreksi, permintaan tidak ada. Di situlah ada kekhawatiran pelaku pasar," ucap Joni.
Di sisi lain, analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menyebut, pendapat parlemen UE sendiri sebenarnya tidak terlalu berdampak pada pergerakan indeks sektor CPO. Anjloknya indeks tersebut lebih disebabkan harga CPO yang masih dalam tren pelemahan.
"Terkait parlemen UE itu lebih ke imbasnya saja, karena mempengaruhi harga CPO secara global," tandas Reza.
Ia menyatakan, harga CPO pada akhir pekan lalu berada di level 2.760 ringgit per ton. Angka itu turun dari awal bulan April yang masih berada di level 2.855 ringgit per ton.
Menanggapi polemik yang tengah terjadi, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengungkapkan, apa yang dikemukakan oleh parlemen UE ini otomatis akan didengar oleh komisi UE untuk menentukan kebijakan UE selanjutnya. Meski yang diajukan untuk dilarang oleh parlemen UE hanya biodisel berbahan CPO, tetapi jelas mengganggu pengusaha CPO.
"Suara parlemen akan didengar dan dipertimbangkan oleh komisi UE. Ini mengganggu, pendapatnya tidak benar," tegas Fadhil.
Namun sebenarnya, Fadhil mengklaim, mayoritas ekspor turunan sawit ke UE sendiri lebih banyak berupa produk makanan dan minuman (mamin). Menurutnya, rata-rata jumlah ekspor CPO ke UE sebanyak empat juta ton atau setara dengan 20 persen dari total ekspor.
"Sekarang pun ekspor biodisel berbasis sawit dari Indonesia dikenakan tarif anti dumping. Jadi praktis sudah tidak ada lagi ekspor biodisel berbasis sawit ke Eropa," jelas Fadhil.
Adapun, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mengaku tidak khawatir dengan pendapat parlemen UE dan rekomendasi yang melarang biodisel berbahan sawit. Sejauh ini, jumlah ekspor CPO ke Eropa yang dilakukan Astra Agro sendiri terbilang kecil. Sehingga, hal itu tidak akan berpengaruh signifikan dengan penjualan perusahaan ke depannya.
"Kami akan cari pasar lain. Kami fokus di Asia saja, pasarnya memiliki pertumbuhan besar. Iran belum tersentuh, daya belinya lumayan," ucap Presiden Komisaris Astra Agro Widya Wiryawan, beberapa waktu lalu.
Hingga akhir tahun lalu, perusahaan masih fokus melakukan ekspor ke Filipina, China, India, dan Pakistan. Menurut Widya, apa yang dipermasalahkan oleh Parlemen Eropa sebenarnya hanya karena soal persaingan atau perang dagang semata.
"Itu perang dagang, karena sawit sendiri paling efisien diantara minyak nabati lainnya," imbuhnya. Tak hanya resolusi UE yang menyebabkan indeks sektor CPO terkoreksi pada pekan lalu. Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai, sektor CPO memang selalu terkoreksi pada kuartal II setiap tahunnya karena didukung oleh cuaca yang bagus.
"Momen pada April hingga Juni indeks harga komoditas memang tertekan karena faktor produksi yang lebih bagus daripada awal tahun jadi berlebihan pasokan (over supply)," ujar Alfred.
Merespons kondisi itu, pasar melakukan aksi jual sebagai bentuk antisipasi. Tak hanya itu, sebagian pelaku pasar juga memilih melakukan aksi ambil untung (profit taking) setelah akhir tahun 2016 dan pada awal tahun ini harga komoditas CPO mengalami perbaikan.
Manajemen Astra Agro pun mengakui jika kondisi cuaca kuartal II ini akan membaik. Artinya, tidak akan ada kemarau berkepanjangan ataupun curah hujan yang terlalu tinggi. Jelas kondisi ini bagus untuk produksi CPO itu sendiri.
"Cuaca diperkirakan tahun ini cukup baik, kami berharap produksi dapat stabil," ungkap Widya.
Sekadar informasi, beberapa emiten CPO yang mengalami koreksi dari segi harga saham sepanjang pekan lalu, yakni PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) turun 0,35 persen dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) melemah 1,55 persen. Sementara, Astra Agro stagnan di level Rp14.575 per saham.
Sejumlah analis berpendapat, pelemahan harga saham tiga emiten tersebut juga terkena dampak dari pelemahan pasar saham Wall Street. Maklum saja, ketiganya merupakan emiten yang memiliki kapitalisasi besar di sektor agrikultur.