Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah ekonom memperkirakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) Juni di level 4,75 persen meski bank sentral Amerika AS (The Federal Reserve/The Fed) mengerek suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/ FFR).
Seperti diberitakan sebelumnya, untuk kedua kalinya tahun ini, Rapat Komite Pasar Terbuka AS (FOMC) memutuskan untuk mengerek FFR sebesar 25 basis poin (bsp) menjadi 1 hingga 1,25 persen pada Rabu (14/6) waktu setempat.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memperkirakan BI akan tetap mempertahankan BI 7DRRR di level 4,75 persen dengan
deposit facility rate tetap di level 4 persen dan lending facility rate di level 5,5 persen. Pasalnya, kenaikan FFR bulan ini telah diprediksi oleh pelaku pasar global (
priced-in).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenaikan FFR pada rapat FOMC bulan ini nampaknya sudah
priced-in sehingga suku bungan acuan BI saat ini pun masih konsisten dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," tutur Josua saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (15/6).
Mengingat suku bunga perbankan mengikuti suku bunga acuan BI, suku bunga deposito dan kredit juga diperkirakan masih akan stabil sejalan dengan stance moneter BI yang bakal mempertahankan tingkat BI-7DRRR.
Salah satu risiko dari dalam negeri yang perlu diwaspadai adalah ekspektasi kenaikan inflasi pada tahun ini. Dengan demikian, tingkat suku bunga acuan sat ini diharapkan bisa menjangkar ekspektasi inflasi sehingga tetap terkendali di level empat plus minus satu persen sesuai target BI,serta mendukung stabilitas rupiah.
Menurut Josua, keyakinan pasar bahwa The Fed akan mengerek suku bunga terindikasi dari tingkat imbal hasil (
yield) surat utang AS (
treasury bond) pada pembukaan pasar AS yang merosot menjelang rapat FOMC. Hal itu terjadi karena tertekan penurunan penjualan ritel Mei 2017 sebesar 0,3 secara bulanan (MoM).
Selain itu, Indeks Harga Konsumen AS pada Mei juga tercatat deflasi 0,1 MoM atau inflasi tahunan Mei tercatat 1,9 persen (
year-on-year/yoy), dari bulan April, 2,2 persen.
Sementara, dampak kenaikan FFR bagi pasar keuangan Indonesia cenderung marginal mengingat aliran modal asing pada pasar keuangan masih solid pasca Indonesia memperoleh predikat layak investasi dari lembaga pemeringkat rating internasional, Standard and Poor's, baru-baru ini.
Jarak (spread) antara suku bunga acuan dengan ekspektasi infasi (
effective policy rate) Indonesia juga masih positif di kisaran 50 hingga 70 bsp, berkebalikan dengan AS yang negatif. Hal itu membuat aset keuangan Indonesia relatif masih menarik.
Kendati demikian, lanjut Josua, BI dan pemerintah perlu mengantisipasi rencana The Fed untuk mengurangi neraca (
balance sheet) yang diperkirakan bakal terjadi akhir tahun ini. Hal itu berisiko menyerap likuiditas di pasar keuangan global yang berpotensi mendorong terbangnya modal ke AS.
Meskipun demikian, dampak pengetatan neraca AS pada Indonesia juga diperkirakan marginal melihat kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, serta masih atraktifnya Surat Utang Negara pasca predikat
investment grade dari tiga lembaga pemeringkat internasional yaitu Moody's, Fitch's, dan Standard and Poor's.
Disebutkan Josua, neraca AS meningkat dari kurang dari US$1 triliun pada 2008 menjadi US$4,5 triliun pada saat ini seiring dengan berlakunya program pelonggaran kuantitatif (
quantitative easing) untuk memberikan stimulus pada ekonomi Negeri Paman Sam.
Pengurangan
balance sheet The Fed diperkirakan akan dilakukan secara gradual sehingga pengetatan pasar keuangan AS tidak terlalu agresif. Keputusan itu juga akan melihat kebijakan pemerintah AS yang masih belum pasti.
Senada dengan Josua, ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual juga memperkirakan BI tak akan mengekor The Fed dengan tetap mempertahankan BI-7DRRR di level 4,75 persen.
Bagi Indonesia, aliran modal asing tetap akan masuk apalagi S&P telah menyematkan predikat layak investasi. Kemudian, inflasi juga relatif masih terkendali dan diharapkan ada di kisaran empat persen hingga akhir tahun.
"Selama masih sesuai dengan ekspektasi, pengaruh kenaikan The Fed ke negara berkembang tidak akan signifikan," jelasnya.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro mengungkapkan pasar telah memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed, termasuk juga kemungkinan kenaikan satu kali lagi pada Desember 2017.
"Menurut saya, dampak kenaikan The Fed ke sektor keuangan akan minimal. BI juga akan mempertahankan suku bunga acuannya di 4,75 persen," kata Andry.
Prediksi ekonom perbankan juga diamini oleh para bankir. Kenaikan suku bunga the Fed telah diperkirakan sehingga BI diyakini bakal cenderung mempertahankan suku bunga acuannya. Akibatnya, suku bunga deposito dan kredit perbankan juga tidak akan seketika terdongkrak.
Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk Glen Genardi meramal BI akan tetap menahan kenaikan BI-7DRRR.
"Tampaknya market sudah mengambil posisi terlebih dahulu dengan menempakan dananya di emerging market termasuk Indonesia yang memiliki yield lebih tinggi. Jadi, saat ini saya rasa, BI belum akan menaikkan suku bunga," ujar Glen.
Sementara, Direktur Utama Bank Mayapada Internasional Tbk Haryono Tjahjarijadi menilai BI tidak perlu mengikuti kebijakan The Fed mengingat kondisi ekonomi makro maupun mikro domestik saat ini sangat kondusif.
"Tingkat inflasi tetap terjaga dengan baik. Demikian pula dengan kurs yang relatif stabil," tutur Haryono.
Sebagai informasi, BI baru akan mengumumkan suku bunga acuan untuk bulan Juni usai menggelar Rapat Dewan Gubernur BI sore nanti. Hingga bulan lalu, BI telah mempertahankan BI-7DRRR di level 4,75 persen selama tujuh bulan berturut-turut.