Jakarta, CNN Indonesia -- Pertumbuhan penjualan ritel sepanjang Ramadan dan libur Lebaran tahun ini yang lebih rendah dari tahun sebelumnya membuat indeks saham sektor barang konsumsi dan perdagangan jasa terkoreksi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey mengatakan, rata-rata kenaikan penjualan ritel pada bulan Ramadan hingga libur Lebaran tahun ini diprediksi hanya sebesar 5 hingga 6 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Padahal, rata-rata pertumbuhan penjualan ritel saat bulan Ramadan sampai libur Lebaran mencapai 30-50 persen. Sementara, kontribusi pendapatan periode tersebut menyumbang sekitar 40-45 persen dari pendapatan satu tahun penuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada perubahan pola belanja, biasanya belanja dengan dana besar tapi sekarang secukupnya," ungkap Roy kepada
CNNIndonesia.com, Sabtu (8/7).
Selain itu, semakin mudahnya seseorang mendapatkan barang yang diinginkan atau dibutuhkan melalui transportasi daring (
online) membuat masyarakat tidak lagi langsung datang ke toko. Sehingga, potensi untuk membeli barang lebih dari yang dibutuhkan semakin kecil.
"Kemudian di Indonesia juga ada bonus demografi. Usia produktif jauh lebih besar, nah ketika pekerjaan formal tidak menyerap masyarakat usia ini, mereka dapat kerjaan dengan upah yang tidak signifikan dan berimbas ke daya beli," papar Roy.
 (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pelaku pasar pun merespon kondisi tersebut sehingga beberapa harga saham emiten barang konsumsi dan ritel menurun. Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), barang konsumsi memimpin pelemahan indeks sektoral sepanjang pekan lalu.
Tercatat, sektor barang konsumsi terkoreksi hingga 1,85 persen menjadi 2.507,089, sedangkan pekan sebelumnya menguat 1,04 persen di level 2.554,375.
Sementara itu, indeks sektor perdagangan jasa menjadi sektor kedua yang mengalami penurunan tertinggi sebesar 1,8 persen ke level 903,478 dari sebelumnya yang naik pesat 2,04 persen. Dalam hal ini, emiten ritel masuk dalam sektor perdagangan jasa.
Christine Natasya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia menuturkan, turunnya penjualan emiten barang konsumsi dan ritel juga didorong oleh penjualan secara daring atau e-commerce.
"Alibaba sudah masuk juga ke Lazada, semakin tinggi pula promosinya. Harga jauh lebih murah daripada
offline store," kata Christine.
Selain itu, ditambah dengan sikap pelaku pasar yang melakukan aksi ambil untung (
profit taking) karena harga saham emiten dua sektor ini sudah naik terlebih dahulu sebelum momen Lebaran. Tak hanya itu, aksi profit taking juga disebabkan kekhawatiran pelaku pasar dengan kinerja keuangan kuartal II yang tidak sesuai prediksi sebelumnya.
"Mereka (pelaku pasar) sudah ambil posisi terlebih dahulu. Jadi harga saham turun karena Lebaran selesai dan takut kuartal II tidak bagus," tutur Christine.
 (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Terpantau, beberapa emiten berbasis barang konsumsi dan ritel turun sepanjang pekan lalu. Contoh penurunan harga saham emiten barang konsumsi, misalnya PT Mayora Indah Tbk (MYOR) yang turun tajam sebesar 9,31 persen.
Diikuti turunnya harga saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI) yang masing-masing terkoreksi 2,73 persen dan 2,04 persen.
Sementara, penurunan harga saham emiten ritel terjadi pada PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) mencapai 9,85 persen dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) 5,67 persen.
Di sisi lain, analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama menilai, keputusan pelaku pasar yang melakukan aksi ambil untung juga didasari oleh penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai rekor pada hari jelang libur Lebaran dan perdagangan hari pertama pasca Lebaran.
"IHSG mendapat dorongan karena kondisi fundamental makro ekonomi stabil dan pelaku pasar mulai ambil untung, jadi IHSG melemah dan begitu juga dengan sektor barang konsumsi dan ritel," kata Nafan.
Pada perdagangan terakhir di semester I 2017 atau sebelum libur Lebaran, IHSG ditutup di rekor terbarunya ke level 5.829. Kemudian, IHSG kembali menembus rekor tertingginya hingga ke level 5.910 pada perdagangan 3 Juli 2017. Sayang, setelah itu IHSG mengalami penurunan hingga akhir pekan lalu.
Selain aksi ambil untung yang dilakukan pelaku pasar, lanjut Nafan, masih rendahnya transaksi di pasar modal pada minggu pertama pasca Lebaran ini juga menjadi salah satu indikator dari koreksi indeks sektor barang konsumsi dan ritel.
"Saya kira hal ini wajar karena terjadi liburan panjang selama sepekan. Pada saat itu, pasar cenderung sepi," sambung Nafan.
Sejumlah analis sepakat emiten sektor barang konsumsi dan ritel masih akan mengalami koreksi pada pekan ini. Terlebih lagi, IHSG yang masih dinilai terlalu tinggi berpotensi mendorong pelaku pasar melakukan aksi ambil untung lanjutan pada pekan ini.
Namun begitu, Christine memastikan, prediksi penurunan yang terjadi pada kedua sektor tersebut bersifat terbatas atau tidak akan lebih dalam dari besaran pelemahan pekan lalu.
"Karena turunnya pekan sudah terlalu dalam kemarin," tutur Christine.
Sementara itu, kinerja keuangan pun dinilai akan melemah pada kuartal III karena penjualan pada periode tersebut umumnya tidak bisa melebihi total penjualan pada kuartal II, di mana terdapat momen Ramadan dan Lebaran.
"Lebaran kan tinggi banget, jadi kuartal III turun drastis," imbuh Christine.
Lebih lanjut ia menjelaskan, meski kinerja saham dan keuangan emiten sektor barang konsumsi dan ritel belum akan membaik, tetapi terdapat beberapa saham emiten dua sektor tersebut yang menarik bagi pelaku pasar untuk pekan ini.
Christine menyebut, pelaku pasar dapat melakukan akumulasi beli pada saham PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA). Hal ini disebabkan, harga saham Tiga Pilar yang sudah turun cukup dalam sebelumnya, sehingga secara teknikal memiliki potensi untuk bangkit.
Untuk emiten ritel sendiri, saham yang dinilai menarik untuk dikonsumsi, antara lain PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) dan PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES). Menurutnya, saham Mitra Adiperkasa akan terkena sentimen positif dari anak usahanya, PT MAP Boga Adiperkasa Utama Tbk (MAPB) yang baru melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO).
"Kemudian salah satu merek yang dipegangnya, Starbucks lagi oke, lagi pemulihan juga isi gerai-gerai yang tidak menguntungkan pada ditutup," jelas Christine.
Adapun, Nafan merekomendasikan beli (buy) untuk PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) sepanjang pekan ini. Menurutnya, emiten tersebut dipandang positif dari sisi teknikal dan fundamental.
Seperti diketahui, pada kuartal I 2017 Indofood Sukses Makmur meraup laba bersih sebesar Rp1,2 triliun, atau naik 11 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,09 triliun.
Di sisi lain, analis Oso Securities Riska Afriani berpendapat, daya beli pada semester II akan membaik seiring dengan pemberian gaji ke-13 untuk seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada awal Juli. Dengan demikian, belanja yang sempat tertahan pada Ramadan atau libur Lebaran kemarin bisa dilakukan setelah gaji itu diraih oleh PNS.
"Kemudian juga pemerintah akan meningkatkan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nya," terang Riska.
Untuk itu, ia menilai, saham emiten barang konsumsi dan ritel menarik untuk investasi jangka panjang. Beberapa emiten direkomendasikannya, seperti Unilever Indonesia, Mayora Indah, dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).