Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China kerap menjadi perhatian publik selama kepemimpinan Presiden AS Donald Trump. Bagaimana tidak, keduanya terlibat perang dagang hingga memengaruhi sektor perdagangan global sejak 2019 lalu.
Perang dagang bermula karena Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.
Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Trump juga mengenakan tarif bea masuk untuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Kebijakan ini diputuskan pada Maret 2018.
Tak tinggal diam, China ikut menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Komoditas itu, seperti almond dan apel.
China juga mengadu kepada WTO tentang tarif impor baja dan aluminium. Keluhan ini disampaikan China kepada WTO pada April 2018.
Setelah itu, Departemen Perdagangan AS mengeluarkan kebijakan baru yang melarang perusahaan telekomunikasi China untuk membeli komponen AS selama tujuh tahun. Dengan berbagai kebijakan ini, China dan AS pun akhirnya mengadakan pertemuan untuk membicarakan perang dagang ini di Beijing pada Mei 2018.
Namun, pertemuan itu tak menghasilkan jalan keluar yang terbaik untuk AS dan China. Namun, pihak China mengumumkan akan mengakhiri penyelidikan anti dumping terhadap impor sorgum AS setelah pertemuan pertama pada Mei 2018.
Bahkan, China juga menawarkan paket untuk memperbaiki defisit perdagangan AS. Kemudian, pihak AS dan China sama-sama mengumumkan bahwa keduanya setuju untuk menaikkan ekspor pertanian dan energi AS.
Selain itu, China juga mengumumkan akan menurunkan tarif impor mobil dari 25 persen menjadi 15 persen. Namun, Trump rupanya tak puas dengan pertemuan antara AS dan China sebelumnya.
Trump bahkan akan menambahkan tarif 25 persen terhadap impor China yang sebesar US$50 miliar. Pada akhir Mei 2018, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross bertemu dengan pihak China.
Sayang, pertemuan itu lagi-lagi tak menghasilkan perjanjian khusus terkait perdagangan kedua negara. Pihak AS dan China hanya berbicara secara umum tentang defisit AS dan peningkatan pasokan produk pertanian ke China.
Juni 2018, China bersedia meningkatkan impor dari barang-barang AS. Pemerintah China pun mengusulkan proposal senilai US$70 miliar untuk pembelian tahun pertama.
Proposal itu salah satunya berisi tentang peningkatan pembelian produk dari AS. Beberapa produk itu, antara lain kedelai, gas alam, batu bara, dan jagung.
Namun, hal tersebut tak membuat konflik AS dan China berhenti. Pada 15 Juni 2018, Kantor Perwakilan Perdagangan AS menerbitkan daftar 1.102 barang impor China senilai US$50 miliar.
Sebanyak 818 barang itu akan dikenakan tarif 25 persen. Sementara, 284 produk masih akan dievaluasi sebelum diputuskan jumlah tarif yang akan dikenakan.
Kemudian, Trump meminta perwakilan perdagangan AS untuk mendata barang China senilai US$200 miliar untuk dikenakan tarif tambahan 10 persen. Sikap Trump dikritik oleh China.
Kementerian Perdagangan China menyatakan AS memulai perang dagang. Negara itu membuat daftar 545 produk AS yang bernilai US$34 miliar dan akan dikenakan tarif 25 persen.
Pada September 2018, Trump memberlakukan tarif 10 persen terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar. Setelah itu, China menyatakan bakal mengenakan tarif impor sebesar US$60 miliar pada barang-barang AS.
Pada November 2018, AS dan China kembali membahas mengenai sektor perdagangan. Kemudian, AS setuju untuk menunda kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar ada Desember 2018.
AS dan China menargetkan mencapai kesepakatan mengenai sektor perdagangan dalam waktu 90 hari sejak Desember 2018. Namun, Trump menyatakan pihaknya tetap akan menaikkan tarif impor menjadi 25 persen atas barang-barang China senilai US$200 miliar pada 10 Mei 2019.
Perang dagang pun terus berlanjut. Pada pertengahan Januari 2020, AS dan China meneken kesepakatan damai dagang fase I.
Salah satu poin kesepakatan damai dagang itu menyebutkan China setuju membeli barang dari AS senilai US$200 miliar, lalu tambahan US$32 miliar untuk pembelian produk pertanian dan makanan laut, hampir US$78 miliar untuk barang-barang pabrik seperti pesawat, mesin, dan baja, juga US$52 miliar untuk produk energi.
Untuk mencapai nilai kesepakatan itu, China dan AS memasang target setiap tahun. Untuk produk pabrik, misalnya, China harus mencapai target pembelian US$32,9 pada tahun pertama dan US$44,8 miliar pada tahun selanjutnya.
Kendati kesepakatan fase I sudah diteken oleh kedua belah pihak, AS tetap akan mengenakan tarif atas barang impor China hingga ada perjanjian fase II.
Hanya saja, AS setuju untuk menangguhkan tarif pada sejumlah produk elektronik senilai US$160 miliar dolar AS. Tarif tersebut sebelumnya berlaku pada 15 Desember 2019.
Sejauh ini, AS dan China belum membahas lebih lanjut mengenai kesepakatan dagang fase II. Trump menyatakan tak berminat membicarakan hal itu karena pandemi covid-19.