Waspada, Ekonomi RI Juga Rentan 'Tertular' Resesi dari Negara Lain
Bank Dunia mengingatkan resesi tengah mengintai ekonomi banyak negara sekarang ini. Hal itu merupakan imbas dari perang antara Rusia dengan Ukraina dan gangguan rantai pasok global yang terjadi belakangan ini.
Presiden Bank Dunia David Malpass bahkan mengingatkan beberapa negara sulit menghindari resesi.
"Perang di Ukraina, penguncian di China, gangguan rantai pasok, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," ungkap Malpass, dikutip dari laman resmi Bank Dunia, Rabu (6/7).
Dalam ilmu ekonomi, suatu negara disebut resesi setelah pertumbuhan mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Yang menarik, Meski meramal sejumlah negara mengalami resesi, Bank Dunia mengisyaratkan Indonesia bebas dari ancaman itu.
Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects periode Juni 2022, ekonomi Indonesia masih diproyeksi tumbuh 5,1 persen. Angka itu memang turun 0,1 persen dari proyeksi yang dirilis Bank Dunia pada Januari 2022.
Tapi tetap lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi RI yang sebesar 3,7 persen pada 2021.
Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia semakin bergeliat sampai 2024. Lembaga internasional itu memproyeksi ekonomi RI tembus 5,3 persen pada 2023 dan 2024.
Siapa pun yang melihat angka-angka itu pasti punya pikiran yang sama. Indonesia sedang berada di atas angin.
Di sisi lain, rata-rata ekonomi negara berkembang diprediksi melambat dari 6,6 persen pada 2021 menjadi 3,4 persen pada 2022. Angka itu jauh di bawah rata-rata tahunan yang sebesar 4,8 persen selama 2011 sampai 2019.
Bank Dunia juga memproyeksi rata-rata pertumbuhan ekonomi negara maju melambat dari 5,1 persen pada 2021 menjadi 2,6 persen pada 2022. Angkanya akan semakin melambat menjadi 2,2 persen pada 2023.
Tak ayal, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi hanya 2,9 persen pada 2022. Prediksi itu melambat dari posisi 2021 yang mencapai 5,7 persen.
Tapi apakah Indonesia benar-benar akan selamat dari resesi ketika banyak negara yang berpotensi jatuh ke jurang resesi?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad beda pandangan soal itu. Ia menilai Indonesia tak bisa lepas dari potensi resesi.
Sinyal ia tangkap dari lonjakan inflasi di dalam negeri belakangan ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi RI tembus 4,35 persen secara tahunan (year on year/YOY) dan 0,61 persen secara bulanan (month to month/MTM) per Juni 2022.
Jika dilihat secara tahunan, realisasi inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2017 lalu. Saat itu, inflasi RI tembus 4,37 persen.
"Jadi saya kira potensi resesi tetap ada di Indonesia," ungkap Tauhid kepada CNNIndonesia.com.
Inflasi melonjak lantaran semua harga barang naik, dari pangan hingga energi. Semua itu membuat bahan baku industri ikut meningkat.
"Semua harga bahan baku naik, dampaknya ke semua sektor. Misalnya harga pupuk naik, otomatis sektor pertanian yang menggunakan pupuk ikut terdampak," terang Tauhid.
Kenaikan harga barang, sambung Tauhid, akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi otomatis berkurang. Alhasil, ekonomi bisa melambat.
Meski begitu, Tauhid belum punya proyeksi mengenai tren pertumbuhan ekonomi pada 2022 dan 2023. Menurutnya, situasi masih sangat dinamis dan ketidakpastian semakin tinggi akibat perang Rusia-Ukraina yang terus memanas.
Dalam situasi seperti ini, mau tak mau pemerintah harus kembali berkorban dengan menggelontorkan subsidi demi menjaga harga barang di dalam negeri. Tapi, Tauhid mengingatkan pemerintah juga harus tetap selektif demi menjaga APBN tetap sehat.
Selain itu, pemerintah juga harus berupaya menjaga stok pangan. Jangan sampai pasokan pangan menipis dan emak-emak teriak karena harga semakin mahal.
"Ini penting jangan sampai sulit didapat, khususnya yang impor seperti gandum, bawang putih, kedelai. Termasuk minyak goreng meski sudah turun harganya tapi jangan sampai masyarakat sulit mendapatkan," jelas Tauhid.
Lihat Juga : |
Tertular Negara Lain
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan ekonomi RI memang masih bagus dibandingkan dengan negara lain saat ini. Jadi, Bank Dunia masih optimistis ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 5 persen hingga 2024 mendatang.
Namun, bukan berarti Indonesia bebas dari ancaman resesi. Masalahnya, apa yang terjadi di negara lain akan mempengaruhi nasib Indonesia ke depannya.
Menurut Faisal, Nomura Holdings Inc memproyeksi ekonomi Amerika Serikat (AS) terkontraksi pada akhir 2022. Jika hal itu menjadi kenyataan, maka akan mempengaruhi banyak negara termasuk Indonesia.
Lihat Juga : |
"Potensi resesi jelas ada. Ini ada efek sistemik, artinya mungkin sekarang Indonesia aman, tapi kalau AS kontraksi, lalu mempengaruhi Eropa, lalu ke China, maka akan ada tekanan yang besar ke Indonesia," ungkap Faisal.
Ia mengatakan permintaan dari AS, Eropa, dan China akan berkurang jika ekonomi mereka menyusut. Ekspor RI ke negara-negara tersebut akan menurun, sehingga berpengaruh negatif untuk neraca perdagangan.
"Jadi bagaimana pun harus waspada, masih dinamis ke depannya. Indonesia tetap ada hubungan dengan negara luar," terang Faisal.
Belum lagi inflasi di Indonesia yang semakin tinggi. Semua barang menjadi mahal.
Faisal menjelaskan ada dua jenis inflasi, yakni inflasi yang disebabkan karena kenaikan permintaan dan inflasi karena pasokan terbatas.
"Kalau permintaan naik dan terjadi inflasi itu ekonomi bagus. Yang dikhawatirkan ada inflasi tinggi karena pasokan terbatas jadi harga naik, itu yang terjadi sekarang," papar Faisal.
Ketika inflasi terjadi karena pasokan terbatas dan harga barang mahal, daya beli masyarakat biasanya akan melemah. Alhasil, tingkat konsumsi akan turun.
Sementara, konsumsi masyarakat masih menjadi kontributor terbesar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ketika konsumsi turun, ekonomi akan menyusut. Sebaliknya, jika konsumsi masyarakat melonjak, ekonomi RI akan melompat.
Oleh karena itu, pemerintah punya pekerjaan berat untuk meredam inflasi di dalam negeri. Caranya bisa dengan menambah alokasi subsidi agar harga barang atau produk yang biasa dikonsumsi masyarakat menurun.
"Tambah subsidi agar harga BBM tetap, harga gas tetap, tarif listrik tetap," katanya.
Pemerintah juga harus terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dalam menekan inflasi. Jangan sampai, bank sentral mengerek bunga acuan ketika inflasi tinggi karena pasokan terbatas.
"BI biasanya akan menaikkan bunga acuan ketika inflasi tinggi tapi yang disebabkan karena permintaan naik, bukan kalau pasokan terbatas. Tapi kalau inflasi AS terus naik dan bunga AS naik, maka akan berpengaruh kepada kebijakan BI," ujar Faisal.
Pemerintah dan BI rasa-rasanya memang harus hati-hati dalam membuat kebijakan jika tak ingin Indonesia kembali tergelincir ke jurang resesi seperti beberapa tahun lalu.
"Yang jelas dari kacamata saya 2022 masih positif ekonomi Indonesia, tapi ketidakpastian tinggi pada 2023. Harus tetap waspada," ucapnya.
Lihat Juga : |