Jakarta, CNN Indonesia -- Kurang tidur bisa mengakibatkan banyak hal buruk, pada tubuh dan pikiran pada banyak tahapan hidup. Mulai dari kanak-kanak hingga usia dewasa. Tapi untuk remaja, yang berada dalam tahapan yang sangat penting dalam hidup, kurang tidur bisa mengakibatkan banyak masalah besar.
“Kekurangan tidur, bisa sangat merugikan dalam tahapan kehidupan remaja,” kata Dr. Michael Breus, psikolog klinis dan ahli masalah tidur pada Huffington Post dalam sebuah email. “Dalam usia belasan tahun, ketika proses tumbuh kembang masih berlanjut, kekurangan tidur bisa mempengaruhi otak dan tubuh secara signifikan.”
Meski tidur sangat penting dalam perkembangan anak remaja usia belasan tahun, faktanya banyak remaja yang justru punya kesulitan saat tidur malam. Di Amerika saja 90 persen remaja usia SMA mengalami masalah tidur kronis berdasarkan survei tahun 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
National Institute of Health memperkirakan para remaja idealnya mendapatkan waktu tidur sembilan jam per malam. Namun ternyata hanya sembilan persen yang memenuhi rekomendasi ini. Bahkan yang lebih mengerikan ada 20 persen hanya bisa tidur selama lima jam dalam satu malam.
Berbagai masalah biologis dan gaya hidup memperburuk pola tidur remaja masa kini. Belum lagi masalah ketergantungan terhadap gadget, tingginya kadar stres remaja plus jam mulai sekolah yang semakin pagi. Semua ini menjadi semakin menimbun masalah dan risiko kesehatan bagi remaja.
“Secara biologis remaja memang punya kecenderungan gemar begadang dan malah tertidur di pagi hari, “kata Breus. “Siklus bangun-tidur itu, yang sebenarnya bagian normal dari perkembangan remaja tapi membuat membiasakan tidur pukul 9-10 jadi hal yang sulit.”
Berikut beberapa risiko kesehatan yang mungkin muncul seiring dengan masalah tidur larut, bangun terlambat pada remaja yang mesti diwaspadai seperti disarikan dari Huffington Post.
Penelitian terhadap 28 ribu remaja usia SMA di perkotaan yang dipublikasikan awal tahun 2015 dan diterbitkan di Journal of Youth and Adolescence, menemukan bahwa kehilangan tiap jam waktu tidur berhubungan dengan 38 peningkatan perasaan sedih dan tanpa harapan.
Selain itu juga meningkatkan risiko keinginan bunuh diri sampai 58 persen. Remaja yang tidur rata-rata enam jam dalam semalam juga tiga kali lebih mungkin mengidap depresi dalam sebuah penelitian pada 2010.
“Kekurangan waktu tidur dan depresi itu seperti sahabat karib pada remaja,” kata Mahmood Siddique, ahli masalah tidur di Robert Wood Johnson Medical School pada CNN pada 2010. “Bukannya memberikan mereka obat, saya lebih memilih agar mereka mendapat waktu tidur lebih baik.”
Dalam kondisi ini, intervensi dari orang tua akan memberi banyak perbedaaan. Riset menemukan remaja yang orang tuanya menerapkan jam tidur keluarga, cenderung lebih tahan terhadap depresi dan pikiran untuk bunuh diri.
Rata-rata satu dari empat remaja biasa tidur setelah pukul 23.30 malam pada hari sekolah. Mereka ini sebagian besar yang performa di sekolahnya tak cukup baik atau mengalami stres emosional yang cukup besar.
Anak remaja yang lebih muda juga tak luput dari masalah kesehatan jika mengalami kurang tidur. Biasanya mereka akan mengalami masalah kurang perhatian, impulsif atau suka menurutkan kata hati, hiperaktif dan suka melawan.
“Kita tahu bahwa kekurangan tidur bisa membuat remaja jadi mudah emosi dan buruk dalam performa kognitifnya baik dalam mengerjakan tugas atau ujian,” kata Breus.
Kenapa demikian? Karena proses otak yang didukung tidur sangat penting untuk belajar, mengingat dan mengatur emosi. Saat tidur malam hari, otak akan mengulas ulang dan mengonsolidasikan informasi yang didapat sepanjang hari, membuat informasi itu lebih mudah untuk ‘ditarik’ keluar saat dibutuhkan. Hubungan antara kuran tidur dan kecenderungan penyalahgunaan obat terlarang pada remaja berjalan timbal balik. Kurang tidur meningkatkan risiko penggunakan obat terlarang sementara penggunaan obat terlarang mengakibatkan masalah tidur.
Sebuah penelitian menemukan bahwa tiap 10 menit remaja tertunda tidurnya, ada peningkatan enam menit kemungkinan mereka menggunakan alkohol atau mariyuana dalam sebulan terakhir. Penelitian lain menyimpulkan, masalah tidur bisa jadi prediksi adanya masalah perilaku mulai dari kecanduan alkohol, mabuk sembari mengemudi dan perilaku seks berisiko.
Kehilangan waktu tidur bisa membawa dampak negatif jangka panjang pada kesehatan fisik remaja. Apalagi kemudian kurang tidur juga bisa memicu munculnya obesitas dan diabetes.
Siswa SMA yang melewati waktu istirahat malam lebih besar risikonya mengidap obesitas dan diabetes saat dewasa. Dan diantara remaja yang sudah terlanjur mengalami kelebihan berat badan, kurang tidur akan memicu penyakit diabetes.
Sementara pada remaja yang sudah terlanjur mengidap diabetes, kekurangan tidur bisa memperburuk kondisi kesehatan. Penelitian menemukan bahwa remaja pengidap diabetes tipe I mungkin memang akan kesulitan untuk bisa tidur. Akibatnya seperti lingkaran setan, karena kesulitan tidur itu mengakibatkan kesulitan pengendalian perilaku dan gula darah. Meski obat-obat jenis ini biasanya tak dianjurkan untuk anak-anak dibawah usia 18 tahun, faktanya cukup banyak anak yang mengonsumsinya. Parahnya, efek jangka panjang dari obat-obatan ini sebagian besar belum diketahui.
Namun efek jangka pendeknya sudah bisa terlihat, misalnya dari pola kecanduan anak akan obat ini. Sebuah penelitian pada 2014 menemukan bahwa anak-anak yang pernah mendapat resep obat anti kecemasan 12 kali lebih mungkin mengembangkan kebiasaan dan kecanduan akan obat-obatan ini, dibanding anak-anak yang tak pernah diresepkan obat-obatan ini.
“Obat tidur secara umum bukan ide yang baik untuk remaja,” Breus menekankan.
Apa yang bisa dilakukan orang tua?
Orang tua punya kewajiban untuk mendidik anak-anak tentang pola tidur yang baik. Salah satu cara yang baik adalah dengan mendidik anak-anak tentang jadwal tidur yang benar, kata Breus.
“Jika orang tua bisa menjelaskan bagaimana efek kurang tidur pada nilai akademis di sekolah, aktivitas olah raga, dan lain-lainnya … hal itu akan jadi lebih mudah,” kata Breuss .
“Setelah itu baru mereka bisa duduk bersama anak-anak dan menyusun jadwal tidur yang bisa diterima semua anggota keluarga.”