-- Sepanjang 2015, terdapat berbagai peristiwa dan fenomena di bidang kesehatan yang menyita perhatian publik. Mulai dari kehebohan keberadaan apel yang terkontaminasi zat berbahaya pada Januari lalu, lalu penyakit yang diakibatkan bencana polusi asap, hingga masalah pembalut yang membuat resah kaum perempuan di Indonesia.
merangkum lima fenomena di bidang kesehatan yang mendapatkan perhatian publik sepanjang 2015.
Apel adalah salah satu buah yang paling banyak dikonsumsi manusia. Jutaan ton apel telah dihasilkan dan menjadi santapan manusia dalam keseharian mereka.
Namun Januari lalu, beredar kabar bahwa apel label Granny Smith dan Gala tercemar suatu baktei bernama Listeria monocytogenesis. Kabar ini beredar setelah di Amerika Serikat, asal apel merek Granny Smith dan Gala, berjatuhan korban setelah mengonsumsi apel ini.
Korban yang jatuh diduga setelah mengonsumsi apel ini mengalami infeksi di pencernaan mereka hingga tidak terselamatkan. Kabar tersebut pun hinggap dan menjadi isu di Indonesia, salah satu negara pengimpor apel jenis ini.
Meski tidak ditemukan kontaminasi bakteri pada apel yang beredar di Indonesia. Namun kepanikan sempat melanda masyarakat yang mengkhawatirkan apel yang mereka konsumsi mengandung Listeria monocytogenesis.
Listeria monocytogenesis sebenarnya adalah jenis bakteri yang berada di lingkungan sekitar manusia. Bakteri ini bertahan di suhu rendah dan dapat mengontaminasi makanan mentah serta yang dekat dengan hewan, seperti susu, keju, daging, serta makanan laut.
Bila bakteri menginfeksi tubuh manusia, gejala baru akan muncul tiga hingga 70 hari setelah infeksi. Gejala yang tampak berupa demam, nyeri otot, mual dan diare. Infeksi dapat menyebar hingga ke sistem saraf pusat. Namun infeksi dapat dicegah dengan membersihkan bahan pangan dengan baik dan benar.
Sekitar pertengahan tahun, Korea Selatan diguncang wabah penyakit pernapasan akut asal Timur Tengah, MERS-CoV. Kasus MERS-CoV yang menyerang pada akhir Mei lalu merupakan pertama kalinya bagi Negeri Gingseng.
Virus diduga pertama kali datang dari seorang pria 68 tahun yang baru saja pulang dari Timur Tengah. Gejala MERS-CoV baru terdeteksi sepekan kemudian dan menyebar dengan cepat merenggut banyak korban dan ribuan orang harus dikarantina.
Pemerintah Korsel pun segera bertindak. Melalui tindakan pencegahan dan penanganan, penyebaran virus yang menyerang sistem pernapasan tersebut dapat dikendalikan dengan terpusat di lingkungan rumah sakit.
Salah satu yang terkena imbas dari serangan virus MERS-CoV ini adalah industri pariwisata Korea Selatan. Ribuan wisatawan dari berbagai dunia, termasuk Indonesia, membatalkan kunjungannya melihat negeri K-Pop.
Middle East respiratory syndrome (MERS) adalah kumpulan gejala penyakit pernapasan yang disebabkan oleh coronavirus. Penyakit ini pertama kali muncul pada 2012 di Arab Saudi, dan pernah ditemukan di berbagai belahan dunia seperti Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika serikat.
MERS-CoV memiliki gejala demam, batuk, sesak napas, mual, muntah, dan diare, bahkan dapat menyebabkan radang paru atau pneumonia.
Pengobatan MERS-CoV diutamakan menghilangkan gejala dengan istirahat cukup, pemberian cairan, penghilang rasa sakit, dan terapi oksigen. Orang lanjut usia, diabetes, berpenyakit paru dan dengan sistem imun rendah sangat rendah terkena penyakit ini.
Kaum perempuan Indonesia geger di tengah tahun setelah YLKI mengeluarkan rilis pembalut yang mengandung klorin. Terdapat sembilan merek pembalut dan tujuh merek pantyliner yang biasa ditemukan di pasaran ternyata mengandung zat berbahaya, salah satunya klorin.
Sembilan merek tersebut adalah Charm, Nina Anion, My Lady, VClass Ultra, Kotex, Hers Protex, Laurier, Softex, Softness. Sedangkan tujuh pantyliner yang disebutkan oleh YLKI adalah VClass, Pure Style, My Lady, Kotex Fresh Liners, Softness Panty Shields, CareFree superdry, dan Laurier Active Fit. Merek-merek tersebut memiliki kandungan klorin yang tinggi, berkisar 16-55 part per million (ppm).
Para wanita yang biasanya mengandalkan pembalut ketika sang tamu bulanan datang pun kelabakan karena menurut YLKI, klorin berbahaya bagi kesehatan reproduksi karena menyebabkan keputihan, gatal-gatal, iritasi, hingga kanker.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan saat itu menyatakan bahwa standar kandungan klorin tidak ada dalam persyaratan internasional dan meyakini bahwa pembalut yang beredar dalam batas ambang. Selain itu, dengan modal izin edar, Kementerian Kesehatan meyakini pembalut yang disebut aman digunakan.
Dihubungi oleh CNNIndonesia.com, Ketua Asosiasi Ginekolog, M Nurhadi Rahman mengatakan bahwa penggunaan klorin untuk pembalut berkenaan dengan proses pemutihan dalam pembuatan sahabat wanita di kala menstruasi tersebut.
Di Amerika Serikat, pembalut masih terdapat klorin namun dengan dosis yang sangat rendah, sehingga dapat dikatakan bebas klorin. Di Indonesia, Nurhadi belum mengetahui apakah terdapat aturan mengenai penggunaan klorin untuk pembalut.
Kemarau berkepanjangan yang melanda Indonesia menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kebakaran lahan. Daerah yang paling parah dilanda kebakaran lahan hingga tertutup asap adalah Riau dan Kalimantan, sehingga ketika itu ditetapkan Darurat Asap.
Asap yang berasal dari kebakaran lahan tahun ini berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, lebih parah. Asap membumbung pekat menyelimuti perkebunan, rumah dan pemukiman, sekolah, bahkan hingga menyeberang laut dan menutupi Singapura, Malaysia, hingga ke Thailand.
Tercatat, kebakaran lahan yang makan waktu berbulan-bulan tersebut menghasilkan 39 ribu titik api yang tersebar di Indonesia dan disebut lebih parah dibandingkan kebakaran pada 1997 silam. Dan seorang peneliti dari Vrije Universiteit Amsterdam menyebutkan kebakaran lahan di Indonesia tahun ini telah melepaskan sekitar 1 miliar ton karbondioksida ke udara, ketiga terbesar di dunia.
Di Palangkaraya, salah satu kota yang tertutup kabut asap, terjadi peningkatan signifikan jumlah pasien infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) hingga 83 persen yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus Palangkaraya.
Kebanyakan pasien ISPA adalah anak-anak di bawah lima tahun. Kondisi asap ini berbahaya bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk ibu hamil. Pihak Kementerian Kesehatan melalui Direktur Penyehatan Lingkungan menghimbau para ibu di kawasan polusi untuk membatasi diri pergi ke luar rumah.
Kondisi kualitas udara yang dinyatakan dalam Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Palangkaraya sempat menunjukkan angka 2.314 dan di Riau mencapai angka 984, sedangkan ambang batas level berbahaya ISPU adalah 500.
Memasuki Desember, sebuah berita menghebohkan dunia maya yaitu kabar seorang remaja bunuh diri karena alergi dengan sinyal yang dihasilkan WiFi. Kabar ini menjadi pembicaraan mengingat banyaknya masyarakat saat ini yang bergantung dengan teknologi internet.
Konon, sang anak yang alergi tersebut mengalami sakit kepala, kelelahan, sulit konsentrasi, dan bermasalah di bagian kandung kemih. Semua gejala tersebut ada ketika ia berada di daerah yang masuk dalam pancaran WiFi. Begitu berada di luar daerah pancaran WiFi, kondisinya membaik.
Kondisi yang dialami anak tersebut dinamakan electro-hypersensitivity syndrome (EHS). Akan tetapi banyak perdebatan mengenai EHS ini. Seorang dosen psikologi dari Inggris mengatakan bahwa sejatinya orang yang mengaku mengalami EHS adalah sakit, namun bukan disebabkan oleh gelombang elektromagnetik seperti yang dituduhkan.
Badan kesehatan dunia, WHO, sendiri juga menyatakan bahwa seseorang dengan EHS memang mengalami berbagai gejala yang spesifik namun EHS tidak termasuk diagnosis medis.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 2009 dengan melibatkan 1000 orang pengidap EHS, terungkap bahwa WiFi bukanlah penyebab dari EHS. Kondisi lingkungan yang berada di sekitar masing-masing individu diduga sebagai penyebab munculnya EHS ini.