Roslinda (15), seorang anak dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) berkesempatan menyampaikan suara anak Indonesia di forum PBB.
Melalui suara yang ia sampaikan secara virtual di forum yang dihadiri duta perwakilan negara-negara anggota PBB termasuk duta perwakilan Indonesia di PBB New York, Vahd Nabyl A. Mulachela itu, Roslinda mengungkap sejumlah aspirasi anak-anak Indonesia, terutama yang tinggal di daerah terdepan, terluar dan tertinggal Indonesia selama pandemi corona.
Ia merasa sedih karena pandemi telah merenggut keceriaannya dan anak-anak lain di Indonesia. Akibat pandemi itu, ia harus menghabiskan waktu di rumah dan tidak dapat bermain dengan teman-temannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Manfaat #CuciTangan dengan Air dan Sabun |
"Setelah belajar di rumah, kalau menemui hal sulit tidak bisa langsung bertanya pada guru seperti kalau di sekolah. Bagi anak-anak yang pendidikan orang tuanya minim, maka akan semakin kesulitan," ujarnya dalam sebuah keterangan yang didapat CNNIndonesia.com dari Wahana Visi Indonesia, Sabtu (10/10).
Tak hanya itu. Roslinda menyampaikan belajar di tengah pandemi corona juga memberikan masalah tersendiri bagi anak-anak. Pasalnya, model belajar daring yang diterapkan selama pandemi membutuhkan jaringan internet yang stabil dan juga telepon seluler.
Di tengah kebutuhan itu, tidak semua anak beruntung. Pasalnya, tak semua anak memiliki jaringan internet dan telpon seluler karena penghasilan orang tua mereka berkurang dan bahkan hilang karena pandemi.
Tak hanya masalah itu. Di forum PBB, ia juga berkeluh kesah soal akses air bersih di Sumba yang sulit.
Sulitnya air bersih kata Roslinda, menjadi penghalang bagi anak-anak di daerahnya untuk mencuci tangan. Padahal, di tengah penyebaran virus corona, cuci tangan sangat krusial dalam mencegah penyebaran penyakit itu.
Ia mengatakan sebenarnya masih bisa mendapatkan akses air bersih. Tapi, akses itu tak didapat teman-temannya yang lain.
Oleh karena itu, melalui forum yang dihadiri banyak perwakilan negara itu, ia mendesak agar para pemangku kepentingan bisa memberikan solusi pada daerahnya.
"Saya berharap, para pemangku kebijakan dapat memberi solusi atas apa yang dihadapi anak-anak di masa pandemi ini," tutur Roslinda.
Adapun acara itu berlangsung di New York, Amerika Serikat pada Rabu (8/10). Acara diprakarsai oleh World Vision Asia (WVA).
WVA mengundang perwakilan negara anggota PBB di New York untuk menanggapi hasil survei cepat soal dampak sosial ekonomi Covid-19 pada kehidupan anak-anak yang rentan di Asia Pasifik.
Survei mengambil sampel 26.269 orang di 9 negara di Asia Pasifik, termasuk 10.060 anak dan 1.983 keluarga dengan anggota yang disabilitas.
Hasil survei menyebutkan, 61 persen responden menyatakan mata pencahariannya terdampak oleh virus corona.
Akibat dampak itu, sebanyak 52 persen rumah tangga mengonsumsi makanan dengan gizi kurang, 32 persen keluarga kehilangan asetnya, dan 27 persen sulit mengakses pelayanan medis dasar.
Di Indonesia, Wahana Visi Indonesia juga melakukan kaji cepat mengenai Dampak Covid-19 pada Anak di 35 kabupaten/kota di 9 provinsi di Indonesia.
Hasilnya, selama pembelajaran jarak jauh, sebanyak 68 persen anak dapat mengakses program belajar dari rumah dan sisanya kesulitan mendapatkan akses karena diliburkan, kurangnya arahan maupun minimnya fasilitas.
(ndn/agt)