Jakarta, CNN Indonesia --
Dunia sedang menanti vaksin Covid-19. Di tengah penantian dan harapan miliaran penduduk Bumi itu, ada sekelompok kecil orang yang memandang vaksin ibarat ancaman dan justru menentangnya. Mereka dikenal sebagai kelompok anti-vaksin atau disebut juga anti-vaxxer.
Sejak pandemi Covid-19 menjejakkan kakinya di Bumi, vaksin disebut-sebut sebagai alat paling ampuh untuk melindungi seseorang dari penularan virus. Pada dasarnya, vaksin merupakan zat yang sengaja dibuat untuk merangsang pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu. Pemberian vaksin membuat tubuh terlindungi dari ancaman penyakit.
Namun, sayangnya beberapa orang justru tak mempercayainya. Alih-alih percaya keampuhan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh, mereka justru percaya bahwa vaksin jadi ancaman baru untuk tubuh dengan berbagai penyakit anyar yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rapper asal Inggris, M.I.A, sekali waktu pernah melontarkan pandangannya soal vaksin, dalam rangka penanganan Covid-19. Mengutip Vulture, meski mengklaim dirinya bukan seorang anti-vaksin, tapi dia tak setuju akan penggunaan vaksin untuk meredam pandemi.
"Jika saya harus memilih vaksin atau chip, saya akan memilih kematian," tulisnya dalam sebuah cuitan di akun Twitter-nya. Dia melanjutkan, "Anda baik-baik saja. Semua vaksin yang sudah Anda miliki sudah cukup untuk melindungi Anda."
Apa yang dilontarkan M.I.A menjadi bukti adanya ketidakpercayaan masyarakat akan urgensi pengadaan vaksin untuk mengatasi pandemi yang sudah berlangsung hampir satu tahun ini.
Tapi, tak cuma vaksin Covid-19, kelompok anti-vaxxer menantang segala vaksin yang ada. Di tengah pandemi ini, mereka kian gencar menyuarakan pendapatnya soal vaksin. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan percaya bahwa akan ada sebuah chip yang disisipkan dalam vaksin, yang dapat membuat penerimanya jatuh sakit.
Tak cuma itu, mengutip AFP, mereka juga menyebut bahwa zat seperti fenoksoetanol dan kalium klorida yang dipercaya ditemukan dalam vaksin merupakan racun berbahaya untuk tubuh. Mereka juga menuding bahwa pandemi Covid-19 hanya-lah situasi yang sengaja dirancang oleh pemerintah.
Retorika anti-vaksin bukan-lah hal baru. Sejak berabad-abad lalu, kelompok anti-vaksin telah eksis meramaikan perdebatan soal vaksin itu sendiri. Ramainya anti-vaksin membuat tingkat kepercayaan masyarakat akan vaksin menjadi rendah.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Welcome Trust, organisasi nirlaba asal Inggris yang bergerak di bidang kesehatan, pada 2019 lalu, menemukan tingkat ketidakpercayaan terhadap vaksin yang cukup tinggi di beberapa wilayah. Mereka melakukan observasi terhadap 140 ribu orang di lebih dari 140 negara.
Ketidakpercayaan terhadap vaksin ditemukan tumbuh subur di belahan Bumi bagian barat, seperti di beberapa wilayah Eropa dan Amerika Utara. Kebalikan dari itu, ketidakpercayaan terhadap vaksin justru ditemukan rendah atau bahkan tak terlihat di wilayah Asia dan Afrika.
Lantas, sejak kapan kelompok anti-vaksin ini mulai meneriakkan penentangannya? Apa yang membuat mereka tak percaya akan vaksin?
Dunia media telah menggambarkan vaksinasi sebagai salah satu dari sepuluh pencapaian kesehatan masyarakat di abad ke-20. Namun, penentangan terhadap vaksin telah ada selama pengembangannya.
Para kritikus telah mengambil berbagai posisi, termasuk menentang vaksin cacar di Inggris dan Amerika Serika (AS), terbentuknya Liga Anti-Vaksinasi, serta berbagai kontroversi lain seputar keamanan vaksin yang muncul pada tahun-tahun berikutnya.
Penentangan vaksin abad ke-18
Penentangan terhadap vaksin sendiri ditengarai mulai ramai bergejolak pada pertengahan abad ke-18. Mengutip laman History of Vaccines, penentangan kali itu menyasar vaksinasi cacar yang mulai diberikan secara luas di Inggris pada 1800-an.
Vaksin cacar itu merupakan hasil eksperimen yang dilakukan ilmuwan Edward Jenner. Eksperimen menunjukkan bahwa getah bening dari lepuhan cacar sapi dapat melindungi seseorang dari cacar.
Ide ini dikritik oleh banyak pihak. Vaksinasi cacar menimbulkan ketakutan dan protes. Beberapa lainnya mencurigai kemanjuran vaksin.
Ketegangan semakin memburuk seiring pemerintah mengeluarkan aturan wajib vaksin. Para penentang vaksin menilai, aturan itu mengontrol tubuh mereka. Liga Anti Vaksinasi dibentuk sebagai tanggapan atas aturan tersebut. Sejak itu, banyak jurnal anti-vaksin bermunculan.
Kota Leicester menjadi 'sarang' aktivitas anti-vaksin. Sebuah koran lokal pernah melaporkan sepasang suami istri yang harus mendekam di dalam bui karena menolak memberikan vaksin untuk anak mereka.
Demonstrasi Leicester pada Maret 1885 merupakan salah satu unjuk rasa anti-vaksin yang paling terkenal. Sebanyak 80-100 ribu kaum anti-vaksin berkumpul di sana.
 Ilustrasi. Pemberian vaksin dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Penentangan vaksin abad ke-19
Tak hanya di Inggris, kelompok Liga Anti Vaksinasi pun muncul di Amerika Serikat. Menjelang akhir abad ke-19, wabah cacar di Amerika Serikat memicu kampanye vaksin dan anti-vaksin saling menghujam.
Anti Vaccine Society of America sendiri terbentuk pada tahun 1879. Mereka mendorong pencabutan undang-undang vaksinasi di beberapa negara bagian seperti California, Illinois, dan Wisconsin.
Pada tahun 1902, setelah wabah cacar, dewan kesehatan Kota Cambridge, Massachusetts, mengamanatkan semua penduduk untuk divaksinasi cacar. Namun, salah seorang warga, Henning Jacobson, menolak vaksinasi. Akibatnya, dia dituntut secara pidana dan kalah di pengadilan.
Mengutip Very Well Health, kelompok anti-vaksin di abad ke-19 umumnya percaya bahwa:
- vaksin akan menimbulkan penyakit
- vaksin cacar mengandung bahan kimia beracun seperti asam karbol
- vaksin cacar Jenner tidak efektif
- pentingnya praktik medis alternatif
- percaya pada literatur-literatur sendiri dan menakut-nakuti orang lain untuk menjauhi vaksin
Penentangan vaksin abad ke-20
Berbeda dengan masa sebelumnya di mana pusat kontroversi terletak pada vaksin cacar. Pada pertengahan 1970-an, penentangan terhadap vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) meletus di Eropa, Asia, Australia, dan Amerika Utara.
Penolakan terjadi setelah adanya laporan mengenai 36 anak di salah satu rumah sakit di London, Inggris, yang mengalami gangguan neurologis setelah mendapatkan vaksin DPT. Tak ayal, peristiwa itu pun memicu ketidakpercayaan masyarakat.
Meski lembaga kesehatan telah menegaskan keamanan vaksin, kebingungan publik terus berlanjut. Tak tanggung-tanggung, beberapa tenaga medis juga turut enggan merekomendasikan imunisasi kepada semua pasien.
Tak berhenti sampai di sana, 25 tahun setelah kontroversi vaksin DPT, Inggris kembali menjadi 'rumah' bagi bergejolaknya kaum anti-vaksin. Kali ini terkait vaksin MMR.
Pada tahun 1998, dokter di Inggris, Andrew Wakefield, merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut mengenai hubungan antara penyakit usus, autisme, dan vaksin MMR. Wakefield menuduh vaksin tidak diuji dengan benar sebelum digunakan. Hal itu jelas menimbulkan ketakutan dan kebingungan publik.
Masalahnya terletak pada thimerosal, senyawa yang mengandung merkuri, yang digunakan sebagai pengawet dalam vaksin. Senyawa ini menjadi pusat kontroversi vaksinasi dan autisme. Namun, hingga saat ini tidak ada cukup bukti yang mendukung hipotesa bahwa senyawa tersebut menyebabkan autisme pada anak.
Terlepas dari bukti ilmiah yang dianggap kurang, kekhawatiran akan thimerosal mendorong kampanye publik 'Green Out Vaccines', sebuah gerakan yang mendorong penghilangan racun dari vaksin karena dianggap dapat menyebabkan autisme.
 Ilustrasi vaksin difteri. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi) |
Gerakan anti-vaksin tak berhenti sampai di situ. Seiring berjalannya waktu, mereka terus gencar menyuarakan pendapatnya yang menganggap bahwa vaksin bisa memicu penyakit.
Resonansi penolakan itu disebarkan melalui informasi-informasi yang dibagikan di media sosial, termasuk saat pandemi seperti sekarang.
Sebuah analisis yang diterbitkan dalam International Journal of Environental Research and Public Health menemukan, pencarian terkait vaksin di internet telah meningkat. Kebanyakan dari pencarian tersebut bertepatan dengan dimulainya kampanye vaksinasi influenza.
Para peneliti menganalisis sejumlah studi yang telah mencari hubungan antara kelompok anti-vaksin dan penggunaan media sosial di masa modern.
Media sosial disebut berperan dalam penyebaran pendapat kelompok anti-vaksin. Twitter menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan. Ditemukan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan kelompok anti-vaksin memiliki jumlah interaksi, retweet, atau suka yang lebih banyak.
Studi lain juga menunjukkan bahwa sekitar 12 persen situs web dengan konten vaksin yang dibagikan di Twitter memiliki kredibilitas yang rendah. Banyak kelompok anti-vaksin kerap mengaitkan vaksin dengan autisme, yang dianggap sebagai salah satu efek samping vaksin.