Beberapa hari setelah menemani sang ibu isolasi, Bani pun melakukan tes swab di rumah sakit tersebut. Hasilnya, positif.
Begitu juga seluruh anggota keluarga. Selain ia dan ibu, seluruh anggota keluarganya menjalani isolasi di rumah karena memiliki gejala ringan.
Secara total, Bani dan ibu menjalani perawatan di rumah sakit selama 12 hari. Rutinitas yang dijalani tak jauh dari menanti kunjungan perawat dan dokter yang memeriksa tekanan darah, saturasi oksigen, berolahraga, hingga berjemur bergantian di dekat jendela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Olahraganya paling sekadar jalan dan lari kecil di lorong rumah sakit 15-30 menit, lalu jemur terus ngobrol-ngobrol sama pasien lain, cerita," ungkapnya.
Baginya, berjemur adalah momen temu sapa antar-pasien kamar lain. Berbagi cerita tentang awal terkena, kondisi keluarga, canda, hingga tangis pun diakuinya kadang muncul.
"Beberapa yang saya ingat, ada ibu yang baru melahirkan harus terpisah dengan anaknya, bahkan belum sempat bertemu. Dia menangis ingin bertemu hingga ingin segera memberi ASI eksklusif," kenang Bani.
"Lalu ada seorang kakek yang terpisah isolasi dari keluarga karena ada penyakit bawaan. Tak henti mengeluhkan hasil yang masih terus positif dan tak bisa pulang."
Satu lainnya yang membekas yakni sepasang suami istri yang berusaha menyangkal kondisi mereka dari keberadaan Covid-19.
"Setiap cerita dia bilang, 'Saya sudah dua minggu di sini, dibilang masih positif juga. Enggak ngerti apa dia, sudah kayak kandang macan kita di sini. Kita enggak bisa ngapa-ngapain. Saya nyesel tes, masa semua yang tes dibilang positif,' kadang lucu sih dengar itu, tapi ya di balik itu saya lihatnya dia kangen anak-anaknya pengin cepat pulang," tutur Bani menceritakan.
"Bahkan istrinya sempat ingin nekat kabur pulang, jadi anaknya dua yang satu sudah anak SMA, masih sering keluar-keluar. Nah, adiknya kelas 5 SD ditinggal di rumah sendiri, telepon ke ibunya nangis, ibunya jadi pengin pulang."
Ragam ucapan dan dukungan semangat juga diakuinya sudah sering ia terima. Namun, rasa bosan dan kesepian berlama-lama di rumah sakit, tak bisa ia pungkiri terkadang lebih terasa menyakitkan.
"Saya cukup beruntung bisa menemani ibu saat itu. Setidaknya, saya juga cukup tenang melihat perkembangan ibu secara langsung. Enggak kebayang sih kalau harus melepas ibu sendiri. Atau cuma saya isolasi seorang diri di rumah sakit. Mungkin bakal terasa sulit," katanya.
"Jadi kita berdua di sana, ya, saling menguatkan aja, biar cepet pulang dan kumpul lagi sekeluarga."
Berangsur hari, beberapa rekan 'angkatannya' mulai diizinkan pulang. Ada yang dinyatakan negatif, ada yang masih positif dan lanjut isolasi di rumah.
Momen menyaksikan beberapa pasien pulang, dirasakannya tentu menjadi kegembiraan, tapi tak dipungkiri ada sedikit rasa iri.
"Biasanya kita semua suka kumpul jam 7 malam sambil nunggu hasil yang hari itu di-swab. Macam-macam hasilnya. Ada yang kecewa karena lanjut perawatan, ada juga yang terharu karena udah bisa pulang," ungkap Bani.
"Tapi yang cuma nontonin mungkin cuma bisa batin dalam hati, kayak saya sama ibu yang 'Kita kapan pulang ya dek?' Kadang ujungnya ya nangis juga, kangen yang di rumah. Jenuh juga di sana," ungkapnya.