Jakarta, CNN Indonesia --
"Dunia tidak sedang baik-baik saja ketika ibu sedang sakit."
Bani--bukan nama sebenarnya--beberapa kali menemukan kutipan kalimat itu di media sosial. Dia tak tahu juga siapa yang menuliskannya pertama kali. Namun, apa yang tersirat pada kalimat itu, dirasa persis sama dengan apa yang dirasakannya saat sang ibu dinyatakan terinfeksi virus corona penyebab Covid-19 akhir tahun lalu.
Satu minggu sebelum dinyatakan positif Covid-19, kondisi kesehatan sang ibu memang sempat menurun. Riwayat sakit lambungnya kambuh, demam sesekali, ditambah kakinya yang kian sakit karena tak absen menjalani terapi rutin akibat saraf kejepit di pinggangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ada makanan yang masuk.
"Kami sekeluarga berupaya agar tetap ada makanan yang masuk," tutur Bani, pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu. Tapi, usaha itu tak berhasil juga.
Pemeriksaan dokter sementara menyatakan bahwa sang ibu terkena tifus dan lambung akut. Ragam obat, termasuk herbal, untuk memulihkan kondisi sang ibu dicoba Bani. Namun, persoalan sulit makan masih berlanjut. Efeknya, kondisi sang ibu tak kunjung membaik setelah dua hari berobat.
Tak berhenti sampai di situ. Bani dan keluarga kembali membawa sang ibu ke rumah sakit berbeda.
Sebelum menjalani perawatan, sang ibu harus menjalani tes swab RT-PCR sebagai syarat rawat inap. Hasil swab keluar 1x24 jam. Sembari menanti hasil, Bani dan keluarga memutuskan untuk menunggunya di rumah.
Singkat cerita, sang ibu ternyata dinyatakan positif Covid-19.
Mendapatkan perawatan untuk sang ibu juga bukan perkara mudah. Belok kanan-kiri birokrasi harus dilalui. Sampai akhirnya, ada satu rumah sakit yang menerima namun meminta ada satu perwakilan keluarga yang mendampingi sang ibu di rumah sakit karena keterbatasan perawat. Pihak RS, kata Bani, khawatir akan kondisi sang ibu yang lemah.
 Ilustrasi. Bani dan sekeluarga dinyatakan positif Covid-19 pada Desember lalu. (iStockphoto/oonal) |
Akhirnya, Bani-lah yang menemani sang ibu di RS. Sebelumnya, Bani harus menulis pernyataan di atas materai yang menyatakan bahwa dia dan keluarga tidak akan menuntut jika terpapar dan positif.
"Mungkin terasa aneh kalau dipikir sekarang, kok bisa, pasien Covid-19 diminta ada yang mendampingi. Tapi jujur saat itu tak terpikir segala keanehan, benak saya dan keluarga yang penting ibu segera dapat perawatan," katanya.
Begitu masuk ruang perawatan, Bani baru mengerti maksud dari petugas yang sempat meminta ada perwakilan keluarga yang mendampingi.
Menurutnya, meski perawat terus berjaga 24 jam, tapi mereka tak bisa langsung membantu ketika ada keluhan, di luar jam mereka berkeliling memeriksa.
"Sempat, tuh, ketika infusan tidak mengalir, saya coba hubungi suster beberapa kali untuk memperbaiki. Namun, anjurannya hanya mematikan, mereka enggak bisa langsung datang gitu," katanya.
Berdasar pengamatannya, jumlah perawat yang berjaga memang hanya ada dua hingga tiga orang untuk berkeliling memeriksa pada jam tertentu. Sementara yang ia ketahui ada 60 pasien Covid-19 yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut.
Belum lagi, perawat harus mengenakan alat pelindung diri (APD) lebih dulu sebelum memeriksa pasien.
"Kalau melihat repotnya mereka, pakai APD yang pengap gitu, ya, akhirnya kita paham juga karena mereka pun capai pasti," katanya.
Beberapa hari setelah menemani sang ibu isolasi, Bani pun melakukan tes swab di rumah sakit tersebut. Hasilnya, positif.
Begitu juga seluruh anggota keluarga. Selain ia dan ibu, seluruh anggota keluarganya menjalani isolasi di rumah karena memiliki gejala ringan.
Secara total, Bani dan ibu menjalani perawatan di rumah sakit selama 12 hari. Rutinitas yang dijalani tak jauh dari menanti kunjungan perawat dan dokter yang memeriksa tekanan darah, saturasi oksigen, berolahraga, hingga berjemur bergantian di dekat jendela.
"Olahraganya paling sekadar jalan dan lari kecil di lorong rumah sakit 15-30 menit, lalu jemur terus ngobrol-ngobrol sama pasien lain, cerita," ungkapnya.
Baginya, berjemur adalah momen temu sapa antar-pasien kamar lain. Berbagi cerita tentang awal terkena, kondisi keluarga, canda, hingga tangis pun diakuinya kadang muncul.
"Beberapa yang saya ingat, ada ibu yang baru melahirkan harus terpisah dengan anaknya, bahkan belum sempat bertemu. Dia menangis ingin bertemu hingga ingin segera memberi ASI eksklusif," kenang Bani.
"Lalu ada seorang kakek yang terpisah isolasi dari keluarga karena ada penyakit bawaan. Tak henti mengeluhkan hasil yang masih terus positif dan tak bisa pulang."
Satu lainnya yang membekas yakni sepasang suami istri yang berusaha menyangkal kondisi mereka dari keberadaan Covid-19.
"Setiap cerita dia bilang, 'Saya sudah dua minggu di sini, dibilang masih positif juga. Enggak ngerti apa dia, sudah kayak kandang macan kita di sini. Kita enggak bisa ngapa-ngapain. Saya nyesel tes, masa semua yang tes dibilang positif,' kadang lucu sih dengar itu, tapi ya di balik itu saya lihatnya dia kangen anak-anaknya pengin cepat pulang," tutur Bani menceritakan.
"Bahkan istrinya sempat ingin nekat kabur pulang, jadi anaknya dua yang satu sudah anak SMA, masih sering keluar-keluar. Nah, adiknya kelas 5 SD ditinggal di rumah sendiri, telepon ke ibunya nangis, ibunya jadi pengin pulang."
Ragam ucapan dan dukungan semangat juga diakuinya sudah sering ia terima. Namun, rasa bosan dan kesepian berlama-lama di rumah sakit, tak bisa ia pungkiri terkadang lebih terasa menyakitkan.
"Saya cukup beruntung bisa menemani ibu saat itu. Setidaknya, saya juga cukup tenang melihat perkembangan ibu secara langsung. Enggak kebayang sih kalau harus melepas ibu sendiri. Atau cuma saya isolasi seorang diri di rumah sakit. Mungkin bakal terasa sulit," katanya.
"Jadi kita berdua di sana, ya, saling menguatkan aja, biar cepet pulang dan kumpul lagi sekeluarga."
Berangsur hari, beberapa rekan 'angkatannya' mulai diizinkan pulang. Ada yang dinyatakan negatif, ada yang masih positif dan lanjut isolasi di rumah.
Momen menyaksikan beberapa pasien pulang, dirasakannya tentu menjadi kegembiraan, tapi tak dipungkiri ada sedikit rasa iri.
"Biasanya kita semua suka kumpul jam 7 malam sambil nunggu hasil yang hari itu di-swab. Macam-macam hasilnya. Ada yang kecewa karena lanjut perawatan, ada juga yang terharu karena udah bisa pulang," ungkap Bani.
"Tapi yang cuma nontonin mungkin cuma bisa batin dalam hati, kayak saya sama ibu yang 'Kita kapan pulang ya dek?' Kadang ujungnya ya nangis juga, kangen yang di rumah. Jenuh juga di sana," ungkapnya.
Sampai akhirnya, 26 Desember 2020, Bani dan sang ibu melakukan swab, rontgen, dan cek darah kembali. Itu kali ketiga keduanya melakoni tes swab di rumah sakit, di mana hasil sebelum-sebelumnya masih positif.
Malam harinya, sang ibu akhirnya dinyatakan negatif, tapi Bani masih positif.
"Lega, sih, akhirnya ibu sudah bisa pulang setelah rasanya makin berat di hari-hari terakhir kami karena jenuh banget. Saya pun diizinkan pulang dan lanjut isolasi di rumah karena hasil rontgen dan tes darah cukup baik," paparnya.
Meski bernafas lega bisa keluar dari rumah sakit, tapi dia mengaku bahwa perjuangan melawan Covid-19 masih terus berlanjut.
Dua minggu setelah isolasi mandiri dan hampir satu bulan melawan, Bani sekeluarga dinyatakan negatif Covid-19. Namun, beberapa gejala masih berlanjut.
"Suster pernah bilang bahwa hasil swab hanya untuk memastikan bahwa sudah tidak menularkan ya, tapi gejala masih bisa timbul 8 bulan hingga satu tahun," ujarnya.
"Jadi ya, sampai hari ini, saya sendiri masih mengalami mual, diare, sakit kepala, dan tak nafsu makan. Obat dan vitamin lanjut, tapi ya setiap konsultasi ini dibilangnya post-covid, Entah sampai kapan akan hilang."
Meski demikian, ia tetap bersyukur bahwa dirinya dan keluarga masih diberi kesempatan untuk perlahan pulih dan berkumpul kembali.
"Pas awal semua dinyatakan kena itu panik dan takut banget, paniknya ya karena orang tua kena, ibu dan ayah sudah usia lanjut ditambah ada beberapa penyakit bawaan," kenangnya.
"Di saat yang sama berusaha terima dan jalani gitu, kalau mikirin kena di mana dan siapa yang bawa enggak akan pernah selesai. Dan bersyukur bisa segera dapat perawatan dan Alhamdulillah dikasih kesempatan buat bisa kumpul lagi."
Bani sempat menyampaikan bahwa sebelum terkena, beberapa anggota keluarganya memang sesekali harus ke luar rumah. Ibu yang masih harus kontrol ke dokter dan menjalani terapi kaki, serta ia, ayahnya dan sang kakak yang masih bolak-balik ke kantor.