Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak Senin kemarin (1/8), pameran lukisan bertajuk
17|71: Goresan Juang Kemerdekaan telah dibuka di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran yang menampilkan 28 lukisan koleksi Istana Negara ini dapat disaksikan hingga akhir Agustus 2016.
Di pameran kali ini, sebagaimana diungkapkan kurator Mikke Susanto, di antaranya terdapat lima lukisan yang digadang-gadang sebagai ikon, yaitu
Rini karya Ir. Soekarno,
Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh,
Kawan-kawan Revolusi karya S. Sudjojono,
Memanah karya Henk Ngantung, dan
Gadis Melayu dengan Bunga karya Diego Rivera.
Kelima lukisan disebut sebagai ikon pameran lantaran masing-masing memiliki kisah-kisah menarik yang bisa jadi belum pernah diketahui publik. "Maknanya berlapis-lapis. Kualitas cerita juga beragam," Mikke menjelaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika anda ingin lebih memahami makna di balik lukisan tersebut, bisa datang ke Galeri Nasional Indonesia setiap Minggu sepanjang Agustus untuk mengikuti tur galeri bersama kurator, pada pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB serta pukul 15.00 WIB dan 17.00 WIB.
Bagi para pencinta seni, terutama seni lukis, tentu saja tur bersama kurator ini layak diikuti mengingat ada banyak kisah seru di balik sejumlah lukisan yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia. Namun bila anda belum sempat mengikutinya, berikut ini kisah di balik kelima lukisan ikonik tersebut.
Rini adalah lukisan karya Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Beberapa seniman memperkirakan, Rini tak lain interpretasi figur Sarinah, salah satu sosok wanita yang dihormati oleh Soekarno.
Menariknya, lukisan ini pada awalnya bukan lahir dari tangan Sang Proklamator, melainkan dari Dullah, pelukis Istana Kepresidenan.
Pada awalnya, era 1952-1957, Soekarno dan Dullah bertandang ke Bali. Mereka berkunjung ke Istana Tampaksiring, yang saat itu masih dibangun. Saat itu, Dullah 'iseng' membuat sebuah sketsa sederhana tanpa detail.
Namun, belum selesai sketsa itu dibuat, Dullah harus kembali ke Jakarta. Kemudian pada 1958, Soekarno kembali mengajak Dullah ke Bali, untuk berlibur selama sepuluh hari. Tak disangka, rupanya lukisan tersebut telah dirampungkan secara apik oleh Soekarno.
Selain cerita di balik pembuatan lukisan yang menarik, teknik yang digunakan Soekarno untuk melukis juga unik. Ia melukis wajah Rini dengan paduan bentuk wajah orang Sasak dan Jawa, dan yang lebih hebatnya lagi, potret Rini bukan lah potret tampak depan, melainkan tampak samping.
Para seniman tentu tahu jika melukis wajah tampak samping sedikit lebih sulit dibanding tampak depan. Apalagi posisi tangan Rini dibuat menyilang di atas pangkuan, itu juga terbilang sulit. Segi pencahayaan harus dipikirkan matang-matang agar terlihat sesuai anatomi.
Ini merupakan satu dari sekian banyak lukisan yang dihasilkan oleh Soekarno. Tapi lukisan bertajuk Rini inilah yang masih terpelihara dengan baik. Terlebih lagi, lukisan ini selalu disimpan di ruang kerja Istana Bogor hingga kini. Selama tujuh kali pergantian presiden, belum ada yang berani memindahkannya dari ruangan tersebut.
Sebagaimana diceritakan oleh kurator Mikke, Soekarno mulai menunjukkan kegemarannya pada seni sejak usia 25 tahun. Hampir setiap dasawarsa, ia menghasilkan sebuah lukisan.
Awalnya, beliau hanya melukis di kertas ukuran HVS dengan cat air. Kemudian ia mulai menekuni seni lukis cat minyak. Salah satunya dibuat di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 1932.
Saat itu, Soekarno tengah diasingkan kolonial Belanda di sana, namun tetap diberikan pesangon. Uang tersebut digunakannya untuk membeli perkakas lukis. Ia membeli dengan cara menitipkan uang pada awak kapal-kapal yang berlayar dan berlabuh di Ende.
Meski gemar melukis, Soekarno tetap saja memiliki sejumlah pelukis favorit. Ini terlihat dari jumlah koleksi lukisannya. Koleksi lukisan karya Basoeki Abdullah ada sekitar 200 buah. Jumlah itu disusul koleksi karya Dullah sekitar 80 buah. Karya yang tak kalah menarik adalah milik S. Sudjojono berjudul Kawan-Kawan Revolusi. Lukisan ini dibuat oleh Sudjojono begitu ditantang oleh kritikus seni, Trisno Sumardjo, untuk melukis cepat.
Trisno menilai kemampuan melukis realis Sudjojono masih lambat. Lalu, ia menantang, dan Sudjojono menerima dengan sigap. Ia mengerjakan lukisan tersebut saat tengah berada di sanggar Seniman Indonesia Muda cabang Solo, Jawa Tengah.
Di lukisan ini, terlihat ada sejumlah wajah tokoh-tokoh penting di Indonesia, baik dari kalangan pejuang maupun simpatisan pejuang, tak terkecuali pelukis.
Sudjojono pun memulai lukisan itu dengan membuat wajah salah seorang pejuang bernama Dullah. Ia sangat kagum pada sosok Dullah yang heroik. Kabarnya, Dullah pernah berhasil mengebom empat tank serdadu Belanda.
Selain itu, ada wajah anak pertama Sudjojono yang saat itu masih berusia dua tahun, bernama Tedja Bayu. Ada pula wajah Trisno, sang kritikus yang menantangnya.
Beberapa wajah lain yang menghiasi lukisan tersebut adalah Mayor Sugiri, Basuki Resobowo, Soerono, Ramli, Suromo, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Soedibio, Yudhokusumo, dan Kartono Yudhokusumo. Lukisan ini dikabarkan selesai dalam waktu satu hari.
Kisah lain yang menyertai lukisan ini terjadi pada 1947. Saat itu, Kawan-Kawan Revolusi sempat dipajang di Yogyakarta dalam pameran bertajuk Perjoeangan. Di pameran tersebut sekitar 100 karya dipajang, salah satunya karya Sudjojono.
Satu tahun setelahnya, terjadi Agresi Militer yang membuat keadaan sangat genting. Beberapa fasilitas rusak, termasuk lukisan-lukisan yang sedang dipamerkan.
Beruntung, lukisan Kawan-Kawan Revolusi dan beberapa lainnya berhasil terselamatkan. Sebelum terjadi Agresi Militer, Presiden Soekarno terlebih dahulu membeli dan memboyongnya ke Istana.
Meski begitu, lukisan ini pun sempat tertusuk bayonet. Tepatnya, di bagian atas lukisan wajah Bung Dullah. Namun sobekan bayonet itu berhasil direstorasi, walaupun bekasnya masih terlihat. Begitu pun di bagian belakang lukisan, sobekan terlihat jelas. Dullah, sang pelukis Istana, diperkirakan menambal sobekan itu.
Selain penuh kisah, lukisan 'tambal sulam' ini juga menjadi salah satu lukisan kesukaan Soekarno. Sejak 1950, lukisan ini diboyong ke Jakarta dan sempat dipamerkan di hadapan kesebelasan sepak bola asal Uni Soviet, Lokomotif.
Dengan bersemangat, Soekarno menjelaskan perjuangan Bung Dullah di depan pimpinan rombongan, Bubukin. Ini membuat Bubukin dan rombongannya terenyuh dan mereka pun mengheningkan cipta di depan lukisan tersebut.
Salah satu lukisan tertua yang dipamerkan dalam pameran 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan adalah lukisan karya Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Ini merupakan kali ke-tiga lukisan tersebut dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia.
Meski begitu, belum tentu para pengunjung pameran sudah melihat lukisan ini dengan detail. Padahal, sang maestro melukisnya dengan amat sangat rinci. Seolah membubuhkan 'kode rahasia.'
Jika dilihat dengan saksama, detail yang dibubuhkan Raden Saleh sangat lah memukau. Setiap sosok yang dilukis olehnya, memiliki detail-detail unik. Misalnya, cincin batu akik yang dipakai salah satu sosok.
Tak hanya itu, ia juga melukis detail ornamen di baju yang digunakan tentara Belanda dan Indonesia. Dimensi cahaya juga ia perhatikan dengan baik. Ini bisa dilihat dari lipatan kain baju maupun sorban yang digunakan beberapa sosok.
Selain itu, kisah lukisan ini juga menarik. Para seniman sepakat bahwa momen yang dilukiskan adalah penangkapan Pangeran Diponegoro pada 1830 versi Raden Saleh, dan lukisan ini merupakan balasan sebuah lukisan karya warga Belanda, Nicholas Pienemaan, yang dibuat pada 1835.
Jika dibandingkan, terlihat jelas Raden Saleh sangat mendukung Pangeran Diponegoro, sedangkan Pienemaan justru menunjukkan 'sisi lemah' Diponegoro.
Dari judul lukisan saja, kedua seniman ini sudah berseberangan. Raden Saleh memberikan judul Penangkapan Pangeran Diponegoro, dan Pienemaan memberikan judul Penyerahan Diri Diponegoro kepada Letnan Jenderal H.M de Kock, 28 Maret 1830, yang Mengakhiri Perang Jawa.
Perbedaan lainnya adalah posisi kepala dan tubuh Pangeran Diponegoro. Raden Saleh membuat wajah Pangeran Diponegoro seakan menantang Belanda, dengan dadanya yang dibuat condong ke depan. Sedangkan Pienemaan memosisikan Pangeran Diponegoro membelakangi Letjen De Kock.
Kala melukis Letjen De Kock dan tentara Belanda lain, tampaknya Raden Saleh sedikit 'bergurau.' Ia tidak membuat tubuh kolonial Belanda tersebut secara proporsional. Tubuh mereka dibuat pendek dan memiliki kepala besar. Tentu saja, ini dapat diinterpretasikan sebagai ketidaksukaan Raden Saleh pada Belanda.
Lukisan ini rupanya dibuat oleh Raden Saleh di Belanda. Ia menyerahkannya pada Ratu Belanda. Hingga akhirnya pada 1978, lukisan tersebut diserahkan kembali ke Indonesia bersamaan dengan sejumlah warisan budaya yang sempat tinggal di sana. Berbahan triplek dan sudah rusak, begitu lah kondisi karya Henk Ngantung yang dipajang di pameran ini. Anda bisa melihat lukisan dengan judul Memanah karya Henk yang telah bobrok. Meski begitu tetap dapat dinikmati.
Lantaran telah rusak, lukisan ini tidak digantung layaknya lukisan lain, melainkan diletakkan di sebuah kotak kaca. Selain mahal, lukisan berbahan triplek ini memang sangat sulit dan butuh waktu yang lama jika harus direstorasi.
Namun lukisan ini masih dapat dilihat secara utuh. Sekretariat Negara telah menunjuk seniman Haris Purnomo untuk membuat ulang lukisan tersebut.
Untuk memperbaikinya, lukisan harus dibersihkan terlebih dulu dan diberikan cairan khusus agar triplek menjadi lembab. Kemudian serat triplek tersebut harus diambil satu per satu, dan tentunya tidak boleh mengubah warna cat di triplek.
Proses ini harus dilakukan perlahan. Baru lah setelah itu ditempel ke kanvas dengan lem khusus, dan setelah itu dicat ulang. Pengecatan tersebut butuh seorang ahli yang memang paham betul goresan khas Henk.
Tak hanya kerusakan lukisan ini saja yang menarik perhatian, sejarah di balik lukisan ini juga sangat unik. Lukisan Henk ini dipajang di belakang Presiden Soekarno saat membacakan Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.
Tak banyak orang menyadari lantaran dokumentasi pembacaan Proklamasi tak begitu jelas. Ini membuat lukisan tersebut hanya terlihat seperti kotak hitam atau jendela di foto.
Namun, pada September 1945, tepatnya saat konferensi pembentukan kabinet Indonesia pertama, lukisan ini kembali dipajang. Dari dokumentasi itu lah baru terlihat lukisan Memanah sangat bersejarah. Ini juga merupakan salah satu lukisan yang dipilih secara langsung oleh Presiden Soekarno.
Pada 1944, Soekarno 'menemukan' lukisan ini di sebuah pameran yang diadakan pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso di Jakarta.
Usai pameran tersebut, secara diam-diam Soekarno mendatangi studio Henk dan bermaksud membelinya. Namun, Henk tak mengizinkannya lantaran lukisan tersebut belum selesai dibuatnya.
Saat itu, lukisan bagian lengan sebelah kanan pemanah belum selesai. Henk mengaku membutuhkan seorang model untuk membuatnya.
Akhirnya, Soekarno pun bersedia menjadi model. Dalam waktu sekitar 30 menit, lukisan selesai. Jika dilihat lebih teliti, di bagian lengan tersebut terdapat goresan yang salah. Lengan dibuat terlalu lebar, namun kemudian diperbaiki oleh Henk. Tapi tetap saja goresan itu tetap terlihat.
Lukisan ini dibuat pada 1943. Tapi Henk menulisnya dengan '04. Belakangan baru lah diketahui bahwa itu adalah tahun dalam kalender tradisional Jepang.
Lukisan berjudul Gadis Melayu dengan Bunga ini merupakan karya Diego Rivera, seniman asal Meksiko. Dikisahkan oleh Guntur Soekarno, lukisan ini begitu dicintai oleh presiden Meksiko, sehingga sebuah peraturan dibuat untuk melindungi dan menjaganya.
Di peraturan itu dicantumkan bahwa dalam keadaan apa pun lukisan ini tidak dibenarkan keluar dari wilayah negara Meksiko. Saat Soekarno berniat membeli lukisan tersebut, sang presiden Meksiko tidak memperkenankan.
Namun, entah bagaimana caranya, akhirnya Soekarno berhasil merayu Meksiko agar mau memberikan lukisan itu kepadanya.
Dapat dilihat di lukisan tersebut, wajah gadis Melayu tersebut memang sangat cantik. Baju, kain dan selendang yang digunakan juga begitu apik.
Rivera mampu melukiskannya dengan sangat detail, termasuk di bagian selendang. Ia mampu memperlihatkan bahwa selendang itu transparan dan terbuat dari bahan tile. Selain itu, ornamen bahan pun begitu detail.
Tak heran bila Soekarno 'memburunya' begitu rupa sampai dapat.