Rini adalah lukisan karya Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Beberapa seniman memperkirakan, Rini tak lain interpretasi figur Sarinah, salah satu sosok wanita yang dihormati oleh Soekarno.
Menariknya, lukisan ini pada awalnya bukan lahir dari tangan Sang Proklamator, melainkan dari Dullah, pelukis Istana Kepresidenan.
Pada awalnya, era 1952-1957, Soekarno dan Dullah bertandang ke Bali. Mereka berkunjung ke Istana Tampaksiring, yang saat itu masih dibangun. Saat itu, Dullah 'iseng' membuat sebuah sketsa sederhana tanpa detail.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, belum selesai sketsa itu dibuat, Dullah harus kembali ke Jakarta. Kemudian pada 1958, Soekarno kembali mengajak Dullah ke Bali, untuk berlibur selama sepuluh hari. Tak disangka, rupanya lukisan tersebut telah dirampungkan secara apik oleh Soekarno.
Selain cerita di balik pembuatan lukisan yang menarik, teknik yang digunakan Soekarno untuk melukis juga unik. Ia melukis wajah Rini dengan paduan bentuk wajah orang Sasak dan Jawa, dan yang lebih hebatnya lagi, potret Rini bukan lah potret tampak depan, melainkan tampak samping.
Para seniman tentu tahu jika melukis wajah tampak samping sedikit lebih sulit dibanding tampak depan. Apalagi posisi tangan Rini dibuat menyilang di atas pangkuan, itu juga terbilang sulit. Segi pencahayaan harus dipikirkan matang-matang agar terlihat sesuai anatomi.
Ini merupakan satu dari sekian banyak lukisan yang dihasilkan oleh Soekarno. Tapi lukisan bertajuk
Rini inilah yang masih terpelihara dengan baik. Terlebih lagi, lukisan ini selalu disimpan di ruang kerja Istana Bogor hingga kini. Selama tujuh kali pergantian presiden, belum ada yang berani memindahkannya dari ruangan tersebut.
Sebagaimana diceritakan oleh kurator Mikke, Soekarno mulai menunjukkan kegemarannya pada seni sejak usia 25 tahun. Hampir setiap dasawarsa, ia menghasilkan sebuah lukisan.
Awalnya, beliau hanya melukis di kertas ukuran HVS dengan cat air. Kemudian ia mulai menekuni seni lukis cat minyak. Salah satunya dibuat di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 1932.
Saat itu, Soekarno tengah diasingkan kolonial Belanda di sana, namun tetap diberikan pesangon. Uang tersebut digunakannya untuk membeli perkakas lukis. Ia membeli dengan cara menitipkan uang pada awak kapal-kapal yang berlayar dan berlabuh di Ende.
Meski gemar melukis, Soekarno tetap saja memiliki sejumlah pelukis favorit. Ini terlihat dari jumlah koleksi lukisannya. Koleksi lukisan karya Basoeki Abdullah ada sekitar 200 buah. Jumlah itu disusul koleksi karya Dullah sekitar 80 buah.