Jakarta, CNN Indonesia --
Omnibus Law atau Undang-Undang (UU) Cipta Kerja juga melingkupi UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman atau yang biasa dikenal sebagai UU Film.
Seperti pada UU lainnya yang diatur dalam Omnibus Law, sejumlah pasal di UU Film pun mengalami perubahan, terutama terkait aspek perizinan usaha.
Setidaknya ada empat pasal yang mengalami perubahan, sedangkan satu pasal dihapus. Keempat pasal itu antara lain Pasal 14, 17, 22, dan 78. Sementara pasal 79 dihapus, digabung ke dalam pasal 78.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com mendapatkan draf lengkap Omnibus Law. Meski demikian, masih terdapat simpang siur soal keabsahan draf tersebut yang telanjur tersebar di masyarakat.
Apalagi, Wakil Ketua Badan Legislasi/Baleg DPR RI Achmad Baidowi memastikan Draf Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tersebar di masyarakat hingga menimbulkan gelombang protes bukan naskah asli undang-undang tersebut.
"Bukan," kata pria yang kerap disapa Awiek itu saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Kamis (8/10).
Berikut pembahasan perbedaan antara UU Film dengan UU Cipta Kerja berdasarkan dokumen Omnibus Law yang diterima oleh CNNIndonesia.com.
Perizinan Usaha Perfilman
Pada UU Film, perizinan usaha perfilman diatur melalui sembilan ayat dalam Pasal 14. Pasal ini kemudian diringkas dalam UU Omnibus Law menjadi tiga ayat dengan keterangan peraturan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Usaha perfilman sendiri didefinisikan melalui Pasal 8 UU Film berupa: pembuatan, jasa teknik, pengedaran, pertunjukan, penjualan dan/atau penyewaan, pengarsipan, ekspor, dan impor film. Pasal 8 UU Film ini tidak mengalami perubahan apapun dalam Omnibus Law.
Pasal 14 pada Omnibus Law menekankan seluruh usaha perfilman wajib untuk memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat, yang sebelumnya dalam UU Film hanya berupa pendaftaran kepada Menteri dan punya izin usaha kecuali untuk usaha penjualan dan/atau penyewaan film oleh perorangan.
Sementara itu, perizinan usaha perfilman yang dibahas dalam kedua undang-undang ini tidak mencakup atas izin usaha pertunjukan film melalui siaran televisi atau jaringan teknologi informatika. Berikut perbandingan keduanya:
 Ilustrasi syuting film. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Pasal 14 UU Film:
(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan kepada Menteri tanpa dipungut biaya dan diproses dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha, kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh pelaku usaha perseorangan.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri untuk setiap jenis usaha: a. usaha pengedaran film; b. usaha ekspor film; dan/atau c. usaha impor film.
(4) Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap jenis usaha: a. usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau b. usaha pertunjukan film.
(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak termasuk izin usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika.
(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha perfilman yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.
Perubahan Pasal 14 UU Film dalam Omnibus Law:
(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Perizinan Berusaha terkait pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Produksi/Pembuatan Film oleh Lokal
Pasal UU Film kedua yang dibahas oleh Omnibus Law adalah terkait dengan pembuatan film oleh sineas atau perusahaan lokal. Dalam UU Film, ketentuan ini dibahas dalam Pasal 17.
Dalam UU Film, Pasal 17 cukup membahas secara detail terkait pembuatan film oleh sineas lokal, mulai dari pemberitahuan kepada Menteri terkait soal judul hingga isi cerita (ayat 1), durasi dan biaya pencatatan (ayat 2), kewajiban menteri terkait pelaporan tersebut (ayat 3), hingga tenggat waktu pelaksanaan produksi sejak pelaporan (ayat 4 dan 5).
Namun ayat-ayat bersifat teknis tersebut kemudian diringkas dalam UU Omnibus Law menjadi dua ayat dengan penekanan Perizinan Berusaha yang diatur oleh Pemerintah Pusat, yang kemudian akan dirinci lebih detail dalam Peraturan Pemerintah. Berikut perbandingan keduanya:
Pasal 17 UU Film:
(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.
(3) Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film yang tercatat.
(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.
(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4), pemberitahuannya dinyatakan batal.
Perubahan Pasal 17 UU Film dalam Omnibus Law:
(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuat film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pembuatan film diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Produksi/Pembuatan Film oleh Asing
Selain pembuatan oleh sineas lokal, UU Film juga membahas soal pembuatan film oleh pihak asing di Indonesia. Lewat Pasal 22, UU Film hanya mengatur pembuatan film oleh pihak asing bisa dilakukan dengan izin Menteri, dilakukan sesuai undang-undang, dan biaya izin yang gratis.
Sementara dalam Omnibus Law, Pasal 22 ini tak banyak mengalami perubahan dan masih mengacu pada peraturan undang-undang di Indonesia. Salah satu aturan dalam pembuatan film di Indonesia adalah "Pembuatan film wajib mengutamakan insan perfilman Indonesia secara optimal" (Pasal 20 UU Film ayat 1).
Omnibus Law hanya menggarisbawahi bahwa peratutran lebih lanjut, termasuk penggunaan lokasi dan sineas asing, kembali akan dicantum dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22 UU Film:
(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.
(2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Perubahan Pasal 22 UU Film dalam Omnibus Law:
(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Pusat tanpa dipungut biaya.
(2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan penggunaan lokasi dan insan perfilman asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sanksi
UU Film membahas terkait sanksi akan pelanggaran peraturan melalui Pasal 78. Peraturan yang dimaksud di antaranya adalah:
Film dilarang mengandung ajakan kekerasan dan judi, penyalahgunaan narkoba, menonjolkan pornografi, provokasi SARA, penistaan agama, ajakan melawan hukum, serta merendahkan harkat juga martabat manusia (Pasal 6).
Selain itu, UU Film juga mengatur soal penggolongan penonton film, yaitu semua umur, usia 13 tahun, usia 17 tahun atau lebih, dan usia 21 tahun atau lebih (Pasal 7).
Kemudian UU Film menuntut pelaku usaha wajib mengutamakan film Indonesia kecuali khusus impor film, serta pelaku usaha wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal (Pasal 10).
Peraturan lainnya adalah kerja sama antar pelaku harus dilakukan dengan perjanjian tertulis (Pasal 15), pembuatan mengutamakan insan film Indonesia (Pasal 20 ayat 1), penayangan film 21 tahun ke atas di televisi hanya bisa pukul 23.00-03.00 dan tak boleh di ruang terbuka kecuali untuk pendidikan/penelitian (Pasal 31).
UU Film juga mewajibkan pihak pertunjukan film seperti bioskop untuk memberitahukan jumlah penonton setiap judul yang tayang kepada pemerintah (Pasal 33), pelaku usaha film juga dilarang menyulih suara film asing dalam bahasa Indonesia kecuali untuk pendidikan/penelitian (Pasal 43), serta semua film yang tayang wajib lulus sensor (Pasal 57).
Dalam UU Film, pelanggar peraturan tersebut hanya akan dikenakan sanksi administratif. Namun ketentuan itu dirinci dalam Onmibus Law dengan teguran tertulis, denda, penutupan sementara, dan/atau pembubaran atau pencabutan izin usaha.
Pasal 78 UU Film:
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Perubahan Pasal 78 UU Film dalam Omnibus Law:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, atau Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan/atau
d. pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Keterangan: poin-poin dari Pasal 78 dimasukkan dari Pasal 79 yang dihapus di Omnibus Law.