Washington, CNN Indonesia -- Satu kasus di Mahkamah Agung AS membuat pemerintah Amerika Serikat menghadapi tantangan tak biasa disaat negara itu berupaya berupaya menciptakan kredibilitas sebagai pencipta perdamaian yang netral dalam konflik Israel-Palestina.
Sembilan Hakim Mahkamah Agung Amerika pada Senin (3/11) akan mengambil keputusan apakah pemerintah Barack Obama harus mentaati hukum yang disahkan oleh Kongres yang mengijinkan warga negara Amerika Serikat yang lahir di Yerusalem boleh mencantumkan Israel sebagai tempat kelahirannya di paspor.
Kasus yang kelihatannya seperti hanya pertanyaan hukum biasa ini ternyata menjadi daerah berbahaya bagi kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat yang menolak menerapkan hukum itu sejak diberlakukan pada 2002.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Amerika Serikat mengkhawatirkan hukum itu diartikan sebagai pengakuan atas klaim kedaulatan Israel di Yerusalem, kota suci bagi Agama Yahudi, Islam dan Kristen.
Kasus ini dibawa oleh orangtua Menachen Zivotofsky warga negara AS yang lahir di Yerusalem karena mereka ingin paspornya menetapkan dia dilahirkan di Israel.
Ari dan Naomo Zivotofsky mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah Amerika mewakili putra mereka yang pada 2003 masih bayi.
Pertarungan hukum kasus ini bergulir dalam sistem hukum Amerika Serikat selama satu dekade, perjalanan yang pernah sampai ke Mahkamah Agung pada 2012 yang mengeluarkan putusan mengenai masalah-masalah teknis prosedural.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah hukum itu sejalan dengan undang-undang dasar karena melanggar hak eksklusif presiden untuk mengakui satu negara asing dan persyaratannya.
Ketegangan di Yerusalem semakin meninggi setelah Israel menutup masjid Al Aqsa untuk beberapa saat setelah seorang pegiat agama Yahudi luka ditembak.
Perundingan mengenai status Yerusalem sejak lama dipandang penting sebelum tercapai kesekapatan damai.
Amerika Serikat selalu bersikap netral dalam masalah ini sejak Israel didirikan pada 1948.
"Yang tidak diinginkan adalah Amerika Serikat tiba-tiba muncul dari sisi yang tidak diketahui dan mengecilkan kredibilitas proses damai," ujar Daniel Kurtzer, yang pernah menjadi dutabesar AS untuk Israel dan sekarang pengajar di Universitas Princeton.
Israel menyebut Yerusalem sebagai ibukota, tetapi sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat tidak mengakui klaim tersebut dan menempatkan kedutaan besarnya di Tel Aviv.
Palestina menuntut agar Yerusalem Timur, yang direbut Israel pada perang Timur Tengah 1967, sebagai ibukota negara yang akan dibentuk berdampingan dengan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
"Kerusakan Tak Bisa Diperbaiki"Posisi Departemen luar negeri AS adalah jika pemerintah kalah dalam kasus ini, dunia akan memandangnya sebagai perubahan dalam kebijakan luar negeri yang bisa menyebabkan "kerusakan yang tidak bisa diperbaiki lagi" pada pengaruh pemerintah pada proses perdamaian.
Pemerintah, yang ditentang oleh anggota Kongres, mengatakan kepada pengadilan bahwa Presiden sendiri yang berhak mengambil keputusan dalam kebijakan luar negeri penting.
Jika ditegakkan, hukum itu mengirim pesan "Amerika Serikat telah memutuskan bahwa Israel memiliki kedaulatan di Yerusalem" ujar pengacara pemerintah dalam dokumen kasus ini.
Saat ini pemerintah Amerika Serikat menetapkan bahwa paspor warga negaranya yang lahir di Yerusalem menulis kota itu sebagai tempat kelahiran mereka.
Bahkan sebagian pendukung keluarga Zovotofsky sepakat bahwa keputusan yang memenangkan mereka akan dianggap oleh dunia Islam sebagai pengakuan klaim Israel terhadap Yerusalem, meski mereka menyatakan asumsi itu salah.
"Sulit membayangkan negara-negara Islam tidak memprotes keras hal ini," ujar Marc Stern, pengacara dari Komite Yahudi Amerika, salah satu kelompok Yahudi di AS yang mendukung keluarga Zivotofsky.
Komite Anti Diskriminasi Arab Amerika, satu-satunya kelompok pro-Palestina yang memberi masukan untuk mendukung posisi pemerintah AS, mengatakan hukum itu mendiskriminasi asal usul warga Amerika asal Palestina karena tidak mengijinkan mereka yang lahir di Yerusalem menulis Palestina sebagai tempat kelahiran.
"Hukum itu menguntungkan sekelompok orang, tetapi merugikan kelompok lain," ujar Abed Ayoub, direktur hukum dan kebijakan kelompok itu.
Negara-negara lain, seperti Israel, tidak memasukkan pembelaan untuk kedua kubu yang bertikai.