Washington, CNN Indonesia -- Pada November 2011, ketika pemberontakan musim semi Arab sedang mencapai puncaknya dan Eropa dilanda krisis hutang, Presiden Obama terbang ke Asia untuk mempromosikan perubahan arah militer, diplomatik dan aset bisnis negara itu ke wilayah.
Hillary Clinton, menteri luar negeri Amerika saat itu, menyatakan bahwa abad ke-21 adalah "abad Amerika Pasifik."
Kini, Presiden Obama terbang ke Asia pada Minggu (9/11) dan 'perubahan arah" Washington ke wilayah semakin jelas terlihat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah-langkah yang diambil adalah pengerahan Marinir Amerika di Darwin, Australia, peningkatan kunjungan AL As ke Filipina dan banyak latihan bersama dengan militer negara-negara Asia, serta pencabutan larangan penjualan senjata ke Vietnam.
Tetapi ketika Washington berupaya memperluas pengaruhnya di Asia untuk melawan pengaruh Tiongkok yang semakin besar, sejumlah mitra AS tidak memperlihatkan kemauan kuat untuk menentang Beijing.
Hal ini bisa berarti Tiongkok akan memiliki kemampuan untuk mengukuhkan otoritasnya di Laut Cina Selatan yang diperebutkan oleh Taiwan dan empat negara Asia Tenggara.
Kekalahan yang dialami oleh partai Demokrat dalam pemilihan umum sela baru-baru ini, yang menurut banyak pihak disebabkan oleh kepemimpinan Obama, tidak akan memperkuat posisi presiden AS ini ketika bernegosiasi dengan Tiongkok atau negara sekutu Asia lain.
Obama tidak akan memiliki banyak ruang untuk melakukan manuver pada kebijakan luar negeri negaranya karena dia harus berhadapan dengan Senat yang dikuasai oleh Partai Republik, dan perhatian politik di Washington sekarang sudah mulai mengarah ke pemilihan presiden 2016.
Meski sejumlah negara, terutama Filipina dan Vietnam, berupaya memiliki hubungan lebih dekat AS sebagai upaya membela diri dari perilaku yang mereka pandang sebagai agresi Tiongkok dalam mengklaim Laut Cina Selatan, sekutu-sekutu lamanya menjadi lebih renggang.
Alasan utamanya adalah pengaruh ekonomi Beijing yang semakin kuat. Perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara naik empat kali lipat dalam satu dekade menjadi US$350 miliar tahun lalu dan diperkirakan mencapai US$1 triliun pada 2020.
Reformasi Dalam NegeriIndonesia, yang secara tradisional merupakan sekutu kuat AS di Asia Tenggara, telah mengindikasikan perubahan kebijakan luar negeri dari peran aktif internasional setelah Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya menegaskan akan memusatkan perhatian pada masalah-masalah dalam negeri.
 Presiden Obama berupaya mengukuhkan pengaruh AS di ASEAN setelah pertemuan APEC. (Reuters/Jonathan Ernst) |
Rizal Sukma, penasehat Presiden Jokowi untuk politik luar negeri, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa akan ada perubahan dalam prioritas diplomasi tingkat tinggi, meski Indonesia akan terus memainkan peran di Laut Cina Selatan dan mendukung kebebasan navigasi dan perdagangan.
Dalam masalah Laut Cina Selatan, Presiden Joko Widodo tidak akan bertindak jika tidak ada krisis," kata Greg Fealy, pakar Indonesia dari Unviersitas Nasional Australia.
"AS akan kesulitan untuk meminta satu imbal balik," katanya.
Di Thailand, kudeta militer pada bulan Mei telah mengganggu hubungan dengan Washington karena negara itu mengurangi hubungan diplomatik dan latihan militer bersama.
Dan Malaysia, yang akan menjadi ketua ASEAN tahun depan, mendapat keuntungan dari perdagangan dan investasi dengan Tiongkok dan saat ini bekerja sama dengan Beijing untuk meningkatkan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok.
"Menurut saya wajar jika ada kekhawatiran apakah ASEAN akan melawan Tiongkok atau tidak," ujar Joseph Liow, pakar Asia Tenggara dari Brooking Institution di Washington.
Dalam kunjungan kali ini, Obama akan menghadiri pertemuan Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasific, APEC, di Beijing dan Pertemuan Puncak Asia Timur di Myanmar.
Dan yang lebih penting lagi adalah dia akan melakukan pertemuan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Para pejabat AS mengatakan Obama berencana menekan Xi mengenai perilaku agresif negara itu dalam mengklaim wilayah kelautan di Asia.
"Kami akan berbicara dengan terus terang mengenai kekhawatiran kami dan juga ketidaksetujuan kami di berbagai bidang," ujar seorang pejabat pemerintah AS.
Kemajuan ASWashington sendiri berhasil mencapai kemajuan di wilayah baru-baru ini.
Pada April, AS dan Filipina menandatangani traktat pertahanan 10 tahun yang baru yang mengijinkan kehadiran militer AS di negara itu.
 Kapal induk AS di Teluk Arab. Militer AS menambah kehadiran di ASEAN terutama di Filipina dan Australia. (Reuters/US Navy/Korrin Kim) |
Pada Juli, Jepang mengubah pengertian atas undang-undang dasarnya sehingga tentara Jepang diperbolehkan membantu negara sahabat yang diserang negara lain.
Dan Washington juga sepakat untuk meningkatkan kerjasama pertahanan dengan Australia dan mencapai kesepakatan dengan India untuk membicarakan perpanjangan kerjasama militer bilateral selama 10 tahun.
Mungkin keberhasilan yang paling menarik adalah Amerika Serikat mencabut sebagian larangan penjualan senjata ke Vietnam untuk membantu Hanoi meningkatkan keamanan maritimnya.
Langkah itu diambil setelah terjadi ketegangan antara Tiongkok dan Vietnam pada bulan Mei setelah perusahaan minyak negara itu, CNOOC, memasang anjungan minyak lepas pantai di laut Vietnam yang dianggap negara itu sebagai bagian dari zona ekonomi ekslusifnya.
Latihan militer antara AS dan Filipina meningkat empat kali lipat dalam dua tahun terakhir dan pelabuhan Subic Bay dikunjungi oleh 100 kapal AL Amerika dalam 10 bulan pertama tahun ini.
Pentagon mengatakan saat ini di Darwin, Australia Utara, terdapat 1.150 marinir, meningkat dari 200 pada April 2012 dan berencana menambah hingga 2.500 dalam dua tahun jika disetujui oleh pemerintah Australia.
Komponen penting dalam upaya menyeimbangkan pengaruh yang dilakukan Obama - traktat perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik- masih belum terbentuk.
Obama mengatakan ingin TPP terbentuk setelah kunjungan ini, tetapi para pejabat AS mengatakan hal itu tidak akan terwujud karena ada masalah besar yang belum terpecahkan. Tiongkok tidak termasuk dalam TPP tetapi siap bergabung di masa depan.
"Tidak ada satupun negara di wilayah yang bukan pendukung kuat langkah strategis Amerika untuk tetap terlibat di sana," kata Russell Trood, dari universitas Sydney.
"Tetapi jika mereka diminta untuk berterus terang, tidak banyak yang siap melakukan hal itu agar Washington merasa pasti."