Jakarta, CNN Indonesia --
Di balik hiruk-pikuk kota-kota besar dan kawasan miskin pedesaan Pakistan, perdagangan narkoba diduga kuat tumbuh subur dengan dampak yang mematikan.
Dahulu dikenal sebagai jalur transit heroin dari Afghanistan, kini Pakistan justru tenggelam dalam epidemi narkotika yang semakin mengakar, yang diperparah kolusi aparat kepolisian, lambannya sistem peradilan, dan mandulnya mekanisme penegakan hukum.
Dari Karachi hingga Peshawar, racun narkotika menyebar ke sekolah-sekolah, penjara, hingga ke jantung komunitas masyarakat Pakistan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun hal yang membuat krisis ini semakin mengerikan bukan hanya soal jenis narkobanya, melainkan karena bisnis haram ini dijalankan secara terang-terangan, tanpa rasa takut, dan seringkali, dengan perlindungan dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Meski beberapa pemerintahan di Pakistan telah berulang kali menyatakan tekad memberantas narkoba, faktanya perdagangan gelap ini telah menjelma menjadi ekonomi paralel. Heroin, ganja, sabu-sabu, hingga opioid sintetis seperti fentanyl beredar luas, seringkali di bawah perlindungan aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan.
Bagi sebagian anggota kepolisian, narkoba bukan lagi ancaman, melainkan peluang.
Di berbagai provinsi, laporan dari whistleblower, jurnalis, hingga aktivis anti-narkoba membuktikan adanya pola yang mengkhawatirkan: para bandar besar dan pengecer narkoba bisa beroperasi leluasa karena 'dilindungi' oleh oknum polisi. Mulai dari meloloskan mereka di pos pemeriksaan, memberi bocoran soal razia, hingga membebaskan pelaku tanpa proses hukum-praktik ini sudah menjadi bagian dari sistem.
Sistem peradilan Pakistan
Di kota-kota besar seperti Lahore dan Islamabad, warga bahkan tahu pasti wilayah mana yang menjadi pusat aktivitas narkoba. "Petugas tertentu mengumpulkan amplop," kata seorang warga, merujuk pada suap agar polisi pura-pura tak melihat.
Dengan gaji rendah dan pelatihan minim, banyak aparat tergoda oleh uang mudah. Sementara itu, mekanisme pengawasan internal nyaris tidak berfungsi-dan jika pun ada, tak jarang juga dikendalikan oleh orang-orang yang sama.
Badan Anti-Narkotika Pakistan (ANF) yang seharusnya menjadi benteng terakhir pun dinilai gagal. Minim personel dan sumber daya, lembaga ini kesulitan menghadapi jaringan narkoba yang memiliki akar kuat di politik dan keuangan.
Sesekali memang ada penyitaan besar-besaran atau penangkapan yang disorot media, tetapi kasus-kasus itu nyaris tak pernah berujung pada vonis. Persidangan berjalan lambat, saksi bisa menghilang sewaktu-waktu, dan jaksa kerap tidak berdaya.
Sistem peradilan Pakistan memang tidak dirancang untuk menghadapi kompleksitas kejahatan narkotika. Hakim takut mengadili bandar besar karena ancaman pembalasan. Penyelidikan kerap gagal sejak awal karena lemahnya kapasitas forensik dan teknis. Akibatnya, para pelaku merasa tak tersentuh hukum-sementara aparat yang sungguh-sungguh ingin memberantas justru kehilangan semangat.
Lanjut ke sebelah...
'Epidemi tak kasatmata'
Hal yang lebih memprihatinkan, penggunaan narkoba di kalangan pemuda semakin dianggap wajar, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa dengan mudah mendapat ganja, ekstasi, hingga sabu di dalam kampus.
Menurut estimasi konservatif, lebih dari 7 juta orang di Pakistan kini kecanduan narkoba-sebagian besar berusia di bawah 30 tahun.
Dua tahun lalu, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) telah memperingatkan tentang "epidemi tak kasatmata" yang menyebar di kalangan anak muda Pakistan, diperparah oleh kegagalan negara dalam menyediakan program rehabilitasi atau pencegahan yang layak.
Di Provinsi Balochistan, situasinya bahkan lebih parah. Daerah yang dulu dikenal sebagai jalur penyelundupan antara Afghanistan dan Iran itu kini menjadi lokasi produksi sabu-sabu.
Laboratorium sederhana tersebar di wilayah terpencil, dilindungi oleh ikatan suku dan bahkan aparat keamanan lokal. Para penyelundup membayar suap di setiap pos, sementara pejabat setempat-beberapa di antaranya terlibat langsung-memastikan agar tak ada gangguan terhadap aliran narkoba.
Uang narkoba juga mulai merusak struktur ekonomi lokal. Di sejumlah distrik di Khyber Pakhtunkhwa dan Sindh, dana haram ini digunakan untuk membeli tanah, membangun properti, hingga membiayai kampanye politik.
Kandidat yang didukung uang narkoba kemudian menggunakan kekuasaan untuk melindungi jaringan mereka. Ketika sindikat narkoba sudah menyatu dengan kekuasaan, penegakan hukum tak hanya menjadi tantangan logistik-tapi juga misi politik yang nyaris mustahil.
Bagi rakyat miskin dan para pecandu, harga dari pembiaran ini sangat mahal: keluarga yang hancur, masa depan yang pupus, dan kematian di usia muda. Pusat rehabilitasi sangat terbatas dan tak terjangkau. Program edukasi pemerintah pun sekadar tempelan, jarang berjalan konsisten.
Jaringan narkoba dan kekuasaan
Sementara itu, narkoba terus membanjiri jalanan, dijual hampir tanpa takut ditangkap. Banyak pengedar tahu bahwa hukuman terburuk yang mungkin mereka terima hanyalah penahanan singkat-dan dalam banyak kasus, tidak pernah ditahan sama sekali.
Pengamat internasional, termasuk Financial Action Task Force (FATF), telah lama mengkritik Pakistan atas kegagalan dalam memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme dari perdagangan narkoba. Tapi perubahan berarti masih jauh dari jangkauan.
Terlalu banyak pihak yang diuntungkan dari status quo. Terlalu banyak karier dibangun dari diam dan keterlibatan. Dan terlalu sedikit suara di dalam tubuh politik atau keamanan yang berani mengungkap fakta menyakitkan: Pakistan kalah dalam perang melawan narkoba bukan karena musuh terlalu kuat, tapi karena para penjaganya terlalu korup.
Jaringan narkoba dan kekuasaan bukan hal baru di Pakistan, tapi skala dan keterbukaan praktik saat ini menunjukkan krisis yang mencapai puncaknya. Ini bukan lagi sekadar persoalan kriminalitas, tapi ancaman keamanan nasional, bencana kesehatan publik, dan dakwaan moral terhadap sistem yang membiarkan keserakahan dan kelalaian menggilas tanggung jawab.
Selama para pelaku terus dibebaskan, selama para pejabat tetap berpaling muka, satu per satu rakyat Pakistan akan terus jatuh ke jurang, sementara republiknya perlahan-lahan membusuk dari dalam.