Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mendalami kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang menjerat Muhammad Nazaruddin. Perkara yang menyeret bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu merupakam pengembangan dari korupsi proyek Wisma Atlet yang telah lebih dulu memaksanya mendekam di balik terali besi.
Dalam pengembangan penyidikan kali ini, KPK memanggil bekas Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Isran Nur. Tiba sekitar pukul 10.05 WIB, Isran mengamini dirinya dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dalam kasus pengembangan Wisma Atlet. "Saya mau menjadi saksi kasus pencucian uang Nazaruddin," ujarnya.
Menurut Kepala Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa, pemanggilan Isran merupakan jadwal ulang pemeriksaan karena yang bersangkutan berhalangan hadir dalam agenda pemeriksaan sebelumnya. "Dia dipanggil dalam penjadwalan ulang dari tanggal 16 Desember terkait kasus TPPU MN," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Priharsa mengatakan Isran dipanggil dalam kapasitasnya sebagai saksi lantaran keterangannya dibutuhkan oleh penyidik KPK. Pendalaman kasus ini terbilang lamban mengingat rentang waktu yang cukup lama sejak Nazaruddin dijerat pasal pencucian uang, 13 Februari 2012.
Dalam persidangan kasus Wisma Atlet yang menjerat Nazaruddin pada 2012, terungkap bahwa Permai Grup, perusahaan induk milik Nazarudin, membeli saham perdana PT Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar. Hal itu diutarakan oleh mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Grup Yulianis saat bersaksi di persidangan. Menurutnya, duit yang digunakan dalam pembelian saham tersebut menggunakan laba yang diperoleh Permai Grup dari proyek-proyek di pemerintah.
Menurut Yulianis, uang pembelian saham Garuda diperoleh dari lima anak perusahaan Permai Grup. Yakni, PT Permai Raya Wisata membeli 30 juta lembar saham senilai Rp22,7 miliar; PT Cakrawaja Abadi 50 juta lembar saham senilai Rp 37,5 miliar; PT Exartech Technology Utama sebanyak 150 juta lembar saham senilai Rp 124,1 miliar; PT Pacific Putra Metropolitan sebanyak 100 juta lembar saham senilai Rp 75 miliar; dan PT Darmakusuma sebanyak 55 juta lembar saham senilai Rp 41 miliar rupiah.
Atas dugaan tersebut, KPK menjerat Nazaruddin dengan sangkaan Pasal 12 huruf a subsidair Pasal 5 dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga Pasal 3 atau Pasal 4 jo Pasal 6 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.