Jakarta, CNN Indonesia -- Hilangnya AirAsia QZ8501 saat menuju Singapura dari Surabaya memunculkan tanda tanya besar. Terlebih hingga hari ini, Selasa (30/12), pesawat belum ditemukan. Koordinasi antara pilot, Kapten Irianto, dengan pengatur lalu-lintas udara atau air traffic controller (ATC) Bandara Soekarno-Hatta diduga menjadi salah satu penyebab.
Pasalnya sesaat sebelum menghilang, QZ8501 sempat meminta untuk naik ketinggian. Namun izin tak langsung diberikan petugas ATC karena harus mengecek dulu lalu-lintas udara di sekitar QZ8501. Saat itu ada tujuh pesawat lain yang terbang di sekitar QZ8501 dengan ketinggian berbeda-beda. Beberapa terbang bersilangan di tiga jalur. (Baca
Airnav: Kalau Diizinkan Naik, AirAsia Bisa Tabrak Garuda)
Salah satu pilot senior Garuda Indonesia, Abdul Rozaq, mengatakan sistem koordinasi penerbangan di Indonesia memang masih kurang bagus. Kerap terjadi kesalahan komunikasi antara pilot dengan petugas ATC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang kami tiba-tiba diminta untuk belok ke arah tertentu, lalu kembali lagi ke posisi semula. Saya sempat bertanya-tanya 'Mereka itu maunya apa?'" ujar Rozaq di kantor Otoritas Bandara Wilayah 1 Soekarno-Hatta, Jakarta, Senin malam (29/12).
Pria 58 tahun tersebut membandingkan koordinasi penerbangan di Indonesia dengan Singapura. Di Singapura, kata Rozaq, koordinasi antara pilot dan ATC amat harmonis. Bahkan bisa dikatakan, ATC-lah yang membimbing pilot sepanjang perjalanan.
"Kami tinggal mengikuti instruksi yang diberikan oleh ATC. Beda dengan di Indonesia yang menjadikan pilot sebagai orang yang bertanggung jawab atau
pilot in command," ujar Rozaq.
Menurut Rozaq, kemampuan petugas ATC di Singapura membimbing pilot disokong oleh peralatan yang jauh lebih canggih, salah satunya radar cuaca. Teknologi ini memungkinkan ATC mendeteksi posisi pesawat yang sedang berada di udara. Dengan radar tersebut, ATC juga lebih tahu kondisi cuaca yang akan dihadapi pesawat dalam rute perjalanannya.
Hal tersebut berbeda dengan di Indonesia. Rozaq mengatakan peralatan radar di ATC Indonesia belum secanggih negara lain. Radar milik ATC di Indonesia, menurut Direktur Safety dan Standard AirNav Indonesia Wisnu Darjono, baru bisa melihat posisi pesawat.
"Jika radar kami memperlihatkan kondisi cuaca, maka radar akan mengeluarkan warna putih dan menghalangi gambar pesawat lain," ujar Wisnu.
Selain masalah teknologi, perilaku petugas ATC juga disoroti Rozaq. Pengawasan oleh ATC ia nilai masih terlalu lunak. "Di Indonesia, jika pesawat geser tanpa izin, tidak akan ditegur keras. Tapi di Singapura, kami geser sedikit saja langsung diteriaki," kata pria yang menjadi pilot sejak tahun 1980-an itu.
Minggu pagi (28/12), AirAsia QZ8501 hilang dari radar ATC pukul 06.18 WIB setelah tidak menjawab panggilan sejak empat menit sebelumnya, 06.14 WIB. Sebelum hilang kontak, pesawat jenis Airbus 320 itu minta izin untuk melakukan manuver ke kiri karena cuaca buruk. Permintaan tersebut disampaikan pada 06.12 WIB dan langsung diizinkan oleh ATC.
Selanjutnya pilot minta naik ke ketinggian 38 ribu kaki dari semula 32 ribu kaki. Izin diberikan hanya untuk naik ke 34 ribu kaki, tapi ketika itu komunikasi QZ8501 dan ATC terputus. (Baca:
Awan Badai Hadang 8 Pesawat, QZ8501 dan Garuda Terbang Rendah)