Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fajriadinur kaget bukan buatan. Saat itu, Oktober dua tahun lalu, empat anggota tim Komisi Pemberantasan Korupsi menyambangi kantornya.
"Kok KPK sudah terlibat? Terkait apa? BPJS Kesehatan kan belum jalan," ujar Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Pribowo menceritakan reaksi Fajriadinur saat itu.
Dalam perbincangan dengan CNN Indonesia, 10 Maret lalu, Johan Budi menerangkan tujuan empat punggawa KPK itu ternyata ingin memastikan bahwa pelaksanaan progoram jaminan kesehatan yang dimulai persis 1 Januari 2014 oleh BPJS Kesehatan dijalankan tanpa korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah poin utama yang akan dikaji yaitu regulasi, mekanisme sanksi atas layanan buruk, potensi fraud dalam layanan asuransi, realisasi penggunaan dana kapitasi untuk puskesmas dan sistem klaim untuk rumah sakit, serta penyusunan tarif untuk fasilitas kesehatan.
Pencegahan korupsi, menurut Johan, merupakan salah satu agenda penting KPK menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Terutama kebijakan yang menghabiskan anggaran sangat besar seperti program jaminan kesehatan.
Tugas BPJS Kesehatan diakui besar dan berat. Lembaga ini dituntut harus mampu membayar seluruh tagihan kesehatan bagi warga yang sakit, tanpa terkecuali. Lewat anggaran yang dikucurkan ke BPJS Kesehatan, publik diharapkan dapat menikmati fasilitas kesehatan yang selama ini masih minim.
Dalam perhitungannya, selama tahun 2014, BPJS Kesehatan menganggarkan duit negara untuk membayari asuransi kesehatan 86,4 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) dengan premi Rp 19.225 per orang. Itu berarti, jumlah yang disetorkan pemerintah kepada BPJS Kesehatan melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan mencapai Rp 19,9 triliun setiap tahun. Untuk itulah KPK menemui Fajriadinur pada Oktober 2013.
Usai bertemu Fajriadinur, KPK melakukan dua kajian terkait pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan yaitu pada Oktober 2013 dan 2014. Pada tahun pertama kajiannya menyoroti "Potensi Fraud dalam Pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional”, kemudian dilanjutkan pada 2014 tentang "Pengelolaan Dana Kapitasi pada Puskesmas".
Fokus perhatian KPK adalah: apakah benar seluruh anggaran BPJS Kesehatan telah digunakan hanya untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit? Atau masih adakah pintu masuk untuk mengelabui uang negara demi kantong pribadi? CNN Indonesia berkesempatan untuk bisa menengok kajian itu. Beberapa masalah ternyata ditemukan.
Sejumput potensi fraud, menurut kajian KPK, datang dari berbagai aspek mulai dari manajemen rumah sakit, tenaga medis, sistem pembayaran, sistem klaim, sistem tarif, efisiensi penggunaan obat, dan dari sisi pelayanan.
KPK memerkirakan, BPJS Kesehatan dalam operasionalnya mengelola dana sebesar Rp 38 triliun hingga Rp 40 triliun selama tahun 2014. Jumlah itu terdiri dari Rp 19,9 triliun yang ditransfer pemerintah untuk peserta PBI dan sisanya merupakan premi dari para peserta mandiri dengan total peserta 133 juta orang pada akhir tahun 2014.
Potensi korupsi yang besar di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, membuat KPK bersiap. Mengutip European Health care Fraud and Corruption Network 2009, sekitar US$ 260 miliar atau 5,59 persen dari total pengeluaran kesehatan di dunia menguap lantaran kecurangan.
Di Amerika Serikat misalnya, dengan pengawasan ketat dari Federal Bureau of Investigation (FBI), risiko fraud jaminan sosial kesehatan di negara itu mencapai 5-10 persen. "Jika diasumsikan risiko fraud kita juga 5-10 persen seperti di Amerika, berarti potensi loss dalam dana BPJS Kesehatan 2014 mencapai Rp 2 triliun hingga Rp 4 triliun," kata Johan Budi.
Potensi loss sebesar itu dapat terjadi karena sejumlah hal yaitu peningkatan jumlah klaim yang tidak wajar dari beberapa RS dan tidak ada kewenangan BPJS Kesehatan melakukan rekam medis pasien yang dicurigai tidak wajar. Sedari awal beroperasi, BPJS Kesehatan telah menggelontorkan duit sebesar Rp 7,5 triliun untuk membayar dana kapitasi kepada 17 ribu lebih fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di seluruh Indonesia. Yang termasuk FKTP yaitu puskesmas, klinik, dan dokter praktik yang langsung melayani masyarakat.
Dana kapitasi adalah biaya bulanan yang harus dibayar BPJS Kesehatan kepada puskesmas berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. BPJS Kesehatan akan tetap membayar uang sebesar itu setiap bulan meski tidak semua peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar di puskesmas mengalami sakit di bulan tersebut.
"Penggunaan dana kapitasi untuk apa saja? Apalagi ada dokter dan petugas kesehatan di puskesmas yang enggak melayani, hanya merujuk ke rumah sakit saja," kata Johan.
Untuk menyempurnakan pengelolaan dana kapitasi oleh puskesmas milik pemerintah daerah, KPK melakukan kajian terhadap total 21 puskesmas yang menyebar di Jakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bangka Belitung, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Ende.
Salah satu temuan KPK dalam kajian tersebut yaitu peserta PBI tidak dilayani dengan baik dan dirujuk ke FKTP milik swasta. Rujukan yang diberikan petugas puskesmas itu bukan bebas biaya, melainkan ada imbalan yang akan dibayar petugas FKTP swasta kepada petugas puskesmas.
"Praktik fraud seperti ini tentu saja sangat merugikan bagi puskesmas," ujar Johan.
Perpindahan peserta PBI dari puskesmas milik pemda ke FKTP swasta akan berdampak pada peningkatan beban anggaran dana jaminan kesehatan yang akan ditanggung BPJS Kesehatan. Pasalnya, nilai kapitasi FKTP pemerintah lebih kecil dibanding milik swasta.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga berarti mengeluarkan dobel anggaran untuk membiayai satu pasien. Biaya pertama adalah dana kapitasi yang sudah pasti dibayarkan kepada puskesmas. Kedua adalah biaya yang dibayar atas klaim dari FKTP atau bahkan rumah sakit rujukan.
Pemberian imbal jasa atas tindakan puskesmas merujuk pasien ke RS maupun klinik swasta terjadi di salah satu puskesmas di Kabupaten Bandung. Seorang petugas puskesmas di Kabupaten Bandung yang enggan disebutkan namanya, kepada CNN Indonesia menuturkan, dirinya mendapat satu unit mobil baru dari petugas di klinik swasta dan RS.
Mobil baru itu dia dapat sebagai hadiah atas tumpukan surat rujukan yang dia buat untuk setiap pasien yang berobat di puskesmas tempatnya bertugas. Selain ada oknum petugas puskesmas yang nakal, KPK juga menemukan bahwa petugas puskesmas rentan menjadi korban pemerasan dari sejumlah pihak, terutama petugas Dinas Kesehatan. Cara yang dilakukan para oknum dinkes untuk memeras petugas cukup halus dengan dibungkus biaya tertentu seperti memaksa puskesmas membayar biaya penggandaan dokumen, uang transportasi, dan cetak dokumen.
"Biaya penggandaan dokumen sampai Rp 100 ribu per lembar dan tidak ada tanda bukti pembayaran," uangkap Johan.
Penjelasan Roni sejalan dengan kisah yang dituturkan dokter Ida Fitri Setiyowati yang bertugas di sebuah puskesmas di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kepada CNN Indonesia, dokter Ida membeberkan, dana kapitasi untuk seluruh puskesmas di Kabupaten Blora dipotong 25 persen oleh pemerintah daerah setempat selama periode Januari-April 2014.
Hal itu diperburuk dengan keharusan bahwa seluruh puskesmas yang berjumlah 26 di Kabupaten Blora untuk menyetor uang sebesar 2 persen dari total dana kapitasi yang diterima kepada Dinas Kesehatan. Untuk puskesmas tempat Ida bekerja, seharusnya menerima dana kapitasi Rp 150 juta per bulan yang dirinci dengan Rp 90 juta untuk jasa pelayanan dan Rp 60 juta untuk operasional dan pengadaan barang serta obat.
"Kalau Rp 90 juta dikali empat bulan berarti seharusnya kami terima Rp 360 juta. Tetapi periode itu hanya menerima Rp 100 juta. Berarti dipotong sampai 70 persen," beber Ida.
Ida yang berpraktik sebagai dokter gigi itu mengaku pernah memprotes penyimpangan dana kapitasi tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan Blora dan Bupati Blora. Namun dia malah masuk daftar hitam lantaran dianggap terlalu kritis.
Ketidakberesan pengelolaan dana kapitasi untuk 26 puskesmas di Blora makin terkuak ketika hingga 23 Februari 2015, anggaran untuk Januari-Februari tahun ini belum disalurkan ke puskesmas. Padahal Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 tahun 2014 memerintahkan agar pembayaran dana kapitasi kepada FKTP dilakukan paling lambat setiap tanggal 15 bulan berjalan.
"Kepala Dinas datang ke puskesmas dan bilang belum boleh dibagi. Saya enggak tahu apa alasannya," ujar Ida. Pusaran persoalan dana kapitasi tak berhenti sampai di situ. Berdasarkan kajian, KPK mengelompokan potensi korupsi dana kapitasi dari empat aspek yaitu regulasi, keuangan dan pembiayaan, tata laksana dan sumber daya, serta pengawasan.
Untuk aspek regulasi, KPK menyoroti Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tahun 2014 yang menyebutkan, sekurang-kurangnya 60 persen dari dana kapitasi digunakan untuk jasa pelayanan kesehatan dan sisanya utuk dukungan biaya operasional layanan kesehatan.
"Kata 'sekurang-kurangnya' dalam regulasi berpotensi menimbulkan ketidakwajaran dan moral hazard dalam pelaksanaan di daerah," tutur Johan.