Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua menyarankan Tim Panitia Seleksi calon pimpinan KPK tidak merekrut pendaftar yang masih aktif menyandang jabatan di lembaga atau instansi.
Hal itu dianggap perlu menjadi bahan pertimbangan Tim Pansel untuk menghindari calon yang memiliki kepentingan terselubung.
Berkaca pada kasus-kasus yang menimpa komisioner KPK pada masa periode kepemimpinan Jilid II dan III, kata Abdullah, pimpinan KPK sebaiknya bukan merupakan pejabat yang masih aktif, baik di kepolisian, kejaksaan, BPKP, atau lembaga lainnya. (Baca:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal ini, Abdullah menilai jajaran komisioner Jilid I merupakan formasi ideal lantaran diisi oleh orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki jabatan alias pensiunan.
"Yang ideal adalah seperti pimpinan KPK edisi 1 di mana mereka adalah pensiunan kepolisian, kejaksaan, BPKP, dan mantan direktur BUMN," ujar Abdullah saat dihubungi Selasa (9/6). (Baca:
Pansel KPK: Mantan Pimpinan KPK Boleh Mendaftar)
Meski demikian, Abdullah menegaskan calon pelamar yang telah pensiun harus mendaftar atas inisiatif sendiri, bukan karena dorongan dari instansi atau lembaga yang mereka tinggalkan. Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari beban moril utang budi terhadap instansi asalnya.
"Jadi, kalau ada pensiunan kepolisian, kejaksaan, BPKP, atau pensiunan instansi lain, mereka tidak boleh diajukan oleh bekas instansinya. Ini untuk menghindari kepentingan ketika harus memproses pejabat terlibat korupsi yang berasal dari instansinya," kata Abdullah. (Baca:
PPATK Minta Pimpinan KPK Terpilih Tak Diganggu Kasus Hukum)
Berdasarkan Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK, kata Abdullah, syarat menjadi pimpinan KPK bukan anggota partai politik dan memiliki batasan usia. Selain itu, mereka yang mendaftar haruslah sarjana hukum atau sarjana ekonomi dan keuangan yang berpengalaman minimal 15 tahun.
"Tapi yang tidak kalah penting adalah mereka harus berintegritas," ujar Abdullah dengan tegas.
(obs)